HGN, Tentang Realitas Guru

  • Whatsapp
banner 768x98

Oleh : Dr. Dudung Nurullah Koswara, M.Pd.
(Ketua DPP AKSI)

Kalau kita mau jujur, di semua bangsa pun nasib guru masih harus terus diperjuangkan. Terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena realitas guru di Indonesia jauh lebih kompleks.

Apa kompleksitas entitas guru di Indonesia? Berikut diantaranya. Pertama terkait kesejahteraan guru masih harus terus diperjuangkan. Nasib guru honorer terutama masih menjadi masalah klasik.

Kedua terkait kompetensi guru. Guru guru di Indonesia masih jauh dari harapan. Kompetensi guru, mulai dari hasil UKG, hasil karya, realitas di lapangan, masih membutuhkan guru-guru kompeten. Guru-guru kita masih jauh dari profesional.

Ketiga terkait martabat dan perlindungan profesi. Masih ada pihak-pihak yang menganggap profesi guru adalah profesi yang bisa diintimidasi dan dipersekusi. Fakta di lapangan menunjukan masih terjadi penganiayaan pada sejumlah guru.

Keempat terkait karir guru. Masih tak mudah mengukir karir misal menjadi pengawas dan kepala sekolah, entitas guru menganggap masih adanya “pihak tertentu” yang meminta syarat lain kalau ingin menjadi kepala sekolah atau pengawas sekolah.

Sampai saat ini masih ada regulasi yang “menurunkan” jabatan kepala sekolah kembali menjadi guru. Padahal dalam dunia pengawas sekolah pun tidak ada pengawas sekolah kembali menjadi guru. Apalagi dalam karirs struktural.

Kelima politisasi guru. Masih kuatnya sejumlah modus politik yang dilakukan “oknum” penguasa daerah. Politisasi atau “KKN” dalam versi lokal diduga masih terjadi dimana-mana. Ungkapan anomalis mengatakan, “relasi dan loyalitas” lebih utama dari kompetensi dan prestasi.

Keenam modus organisasi profesi guru. Faktanya hanya di level sekolahan dan kecamatan, organisasi guru mainstream masih murni memperjuangkan nasib guru. Pengurus organisasi guru, terutama ketua, di level kokabprov dan pusat sudah bukan guru lagi.

Ketujuh terkait lembaga pendidikan atau perguruan tinggi pencetak guru. Sangat dibutuhkan guru-guru terbaik untuk melayani anak didik. Tak mudah menjadi guru kompeten. Jangan sampai ada sejumlah perguruan tinggi yang “sembarangan” mewisuda calon guru.

Kedelapan rekrutmen guru harus benar-benar objektif dan sesuai kebutuhan sekolahan. Kepala sekolah bisa dijadikan penentu utama rekrutmen guru. Tentu dengan aturan yang ketat, berintegritas dan akuntabel. Kepala sekolah lebih tahu kebutuhan dan kualitas keseharian guru.

Kesembilan terkait masa depan putra putri guru. Idealnya ada afirmasi dari pemerintah secara khusus bagi putra putri guru yang mau menjadi guru. Khusus yang mau menjadi guru. Faktanya banyak putra putri guru tak sanggup jadi sarjana sebagaimana orangtuanya.

Di Hari Guru Nasional (HGN) tahun ini yang bertema “Transformasi Pendidikan melalui Merdeka Belajar Wujudkan Insan Berkarakter dan Berwawasan Global”, sangatlah baik dan memerlukan dukungan semua pihak.

Bersama Mendikbud Ristek Nadiem Makarim dan Ditjen GTK, dunia guru terus bertransformasi. Tentu saja masih banyak kekurangan dan menuntut pembenahan yang lebih baik. Tidak ada gading yang tak retak, semua hal ada retaknya.

Transformasi pendidikan yang lebih merdeka dalam era Nadiem Makarim semoga terus merambat ke masa depan. Siapa pun pengambil keputusan pasca pesta demokrasi, pastikan dunia entitas guru dan pendidikan lebih baik.

Dan semoga, guru guru di pendidikan dasar lebih diperhatikan. Lebih diperhatikan kualitas, kesejahteraan dan masa depannya. Jangan sampai para pendidik di jenjang yang lebih tinggi lebih dihargai dan lebih sejahtera.

Bila perlu predikat “guru besar” dan tunjangannya “dipindah” ke pendidikan dasar atau menengah. Tentu dengan syarat-syarat yang bisa disosialisasikan. Faktanya lebih berat tanggung jawab penguatan karakter dibanding intelektualitas. Mengapa tidak?

banner 728x90

Pos terkait

banner 728x90