Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Praktisi Pendidikan)
Sampai detik ini ranking kelas dan nilai tinggi di raport masih menjadi impian para orangtua dan siswa. Ini tidak terlalu salah karena memang angka masih dianggap indikator keberhasilan studi seorang siswa. Bahkan di PT pun IPK masih menjadi kejaran. Kita masih menjadi bangsa pemuja angka.
Sebenarnya ada hal yang berharga diatas angka yang berbau intelektual. Apa itu? Attitude! Sikap yang non kuantitatif tidak berbau angka sangatlah penting. Nilai senyum. Nilai menyapa. Niai membantu orang lain. Nilai menghormati orang lain. Nilai mengapresiasi orang lain. Nilai kepedulian dan kemanusiaan sebaiknya menjadi prioritas diatas angka-angka indikator kognitif.
Orang baik dan peduli itu lebih penting kehadirannya dibanding orang pintar yang apatis. Masyarakat peduli itu jauh lebih utama dibanding masyaraat pintar. Orang Baduy menyimpulkan bahwa orang pintar itu bisa minteran orang lain. Artinya mereka punya persepsi bahwa orang pintar itu punya peluang menjahati orang lain melalui kepintarannya.
Orientasi generasi orang Baduy bukan untuk menjadi orang pintar melainkan menjadi orang bener. Orientasinya menjadi orang yang peduli pada sesama manusia, alam dan Tuhannya. Manusia peduli itu sangat dibutuhkan saat ini dan selamanya. Hanya manusia peduli yang mampu menempatkan kehormatan diri dan orang lain dalam berkehidupan.
Pola pendidikan harus diubah. Kurikulum pendidikan kita harus menghadirkan orang peduli. Bukan hanya menghadirkan orang pinter, cerdas dan terampil semata. Para pemikir pendidikan dan pemerintah harus memiliki sebuah formula yang tepat bagaimana mencetak generasi muda yang lebih baik. Tidak hanya pintar tetapi memiliki attitude yang baik.
Pemerintah bersama para pemikir pendidikan harus mampu menghadirkan generasi bangsa yang peduli. Pandai mengapresiasi, cerdas melayani, gesit membantu orang lain. Ubah pola pendidikan dari mengusung kecerdasan intelektual menjadi kecerdasan melayani sesama. Hidup pada dasarnya lebih membutuhkan kepedulian dibanding kecerdasan.
Faktanya karena kepedulian sangat buruk dalam diri masyarakat kita maka dengan mudah kita akan melihat berbagai perilaku menyimpang. Sampah dibuang ke sungai, menumpuk di trotoar dan bahkan membuang sampah sambil berkendaraan di tengah jalan raya. Rambu-rambu lalu lintas dipilok. Tembok dan pagar dicoreti nama-nama geng motor dll. Merokok di kendaraan umum, bahkan guru pun ada yang merokok di sekolah.
Penguatan pendidikan karakter dan revolusi mental memang sangat penting ditekankan. Presiden Jokowi sudah sangat tepat mengusung visi revolusi mental. Para orang dewasa dimulai dari Presidennya dan para pemimpin di negeri ini. Generasi muda dimulai sejak dini di pendidikan. Regim yang baik dan pendidikan yang baik harus kolaboratif ciptakan wajah baru Indonesia yang lebih baik. Tentu akan sangat sulit namun harus tetap dipaksakan.
Pendidikan yang baik akan meminimalisir radikalisme, intoleransi dan berbagai tindak kekerasan. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kepedulian pelan tapi pasti akan mengubah pola tindak dan perilaku bangsa kita. Meletakan kepedulian, penghormatan dan perilaku bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan sebagai prioritas dalam proses pendidikan sangatlah baik.
Para Nabi diutus untuk “memperbaiki akhlak”. Para Nabi diutus bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia Tuhan hadirkan untuk memperbaiki akhlak. Bila pendidikan polanya berorientasi pada prestasi akhlak bukan angka, maka akan sangat baik. Ranking siswa berdasarkan akhlak jauh lebih baik dibanding berdasarkan angka yang bahkan bisa dicontek. Ubah pola pendidikan dari angka ke akhlak.
Penanaman nilai-nilai kepedulian yang mengusung good attitude sebaiknya terlahir dari keluarga, sekolah, teman sebaya anak didik dan dunia medsos. Bila keluarga sibuk, sekolah menjadi industri pendidikan, teman sebaya bermasalah dan dunia medsos penuh hoaxs plus “narkolema” bahaya. Waspadalah! Bukan bonus demografi di tahun 2045 yang akan kita dapatkan malah bisa jadi hangus demografi.