Kamis, Mei 15, 2025

Berpikir Kritis Mengenai Potret Kekejaman Kota Metropolitan & Kehidupan Sosial

Penulis: Dede Hartini

Siang itu aku dan saudaraku memasuki kawasan pasar baru yang padat merayap. Setelah mendapat tempat parkir yang sempit, kita melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri trotoar untuk singgah di restoran cepat saji yang lokasinya bersebelahan dengan tempat parkir.

Di koridor luar restoran itu tampak sesak oleh lalu lalang masyarakat dan para pedagang yang menggelar lapaknya. Ada yang menarik perhatianku kala itu sekaligus terenyuh, tampak seorang lelaki dewasa kira-kira berusia tiga puluhan yang mempunyai sepasang tangan tidak sempurna, hanya sebatas siku, entah karena riwayat kecelakaan atau kodrat dari lahir, aku tidak tau. Dia tampak duduk lesehan tanpa alas sambil mengemis.

Aku bertanya dalam hati, mengapa di kota tercinta ini masih saja ada pengemis? Kota yang dulunya asri dan sekarang sudah menjadi metropolitan. Kota yang kaya akan tempat wisata dan pusat perbelanjaan. Maksudku … kemanakah keluarganya? Apa dia tidak punya keluarga? Lalu di mana dia tinggal, selain di jalanan?

Andaikan dia saudaraku, tak akan kubiarkan dia meminta-minta. Aku menangis dalam hati, bagaimana perasaan lelaki itu ketika diserang ribuan pasang mata meremehkan dari manusia-manusia yang merasa dirinya sangat sempurna? Meski kenyataan itu ada benarnya. Apakah hatinya sudah hancur? Sama seperti keadaanku sekarang, hanya seonggok daging yang terus berpikir mengapa ruh ini begitu betah bersemayam?

Aku duduk di meja pojokan restoran yang masih kosong, karena meja-meja lain sudah penuh oleh mereka yang beruntung. Aku melihat ke samping di mana sebagian besar bangunan ini berdinding kaca. Aku bisa melihat dengan jelas pedagang lapak jalanan itu sedang berjejer bahkan bersandar di dinding bangunan kokoh ini. Yang paling dekat dengan dinding kaca adalah pedagang batu ali yang sekarang tidak sebuming dulu. Lalu di seberang dekat pinggir jalan, seorang kakek yang masih tampak gagah dan berpenampilan necis bersandar di pilar sambil menjaga buah salak yang dijajakannya.

Aku memperhatikan mereka diam-diam. Mereka seolah saling berebut calon pembeli, meski kenyataannya kebanyakan orang merasa risih saat diasongkan dagangan mereka. Sama sepertiku yang tidak suka saat ada pedagang yang mengasong-ngasong dan bahkan memaksa. Meski begitu, di satu sisi aku kasihan pada mereka, namun sebenarnya tidak perlu dikasihani toh mereka bekerja.

Aku dan sodaraku memutuskan untuk pindah tempat ke tempat di mana seharusnya rekanku mengajak ketemuan. Di jalan koridor tadi kita berdua dihadang tukang lap keset yang mengasong-ngasong. Seorang lelaki dewasa tapi belum terlalu tua tampak bersimbah keringat di siang bolong yang terik ini. Berlalu-lalang ke sana ke mari, menghampiri jutaan orang tetapi hanya diacuhkan.

Lalu aku duduk di balkon sederhana depan pusat perbelanjaan. Lumayan nyaman, terdapat kursi rotan sintetis dan meja kaca. Aku kembali memperhatikan kondisi jalanan yang agak semrawut, banyak kendaraan memenuhi sebagian jalan meski tertata rapi. Di seberangnya terdapat toko-toko kelontong, kuliner hingga pakaian dan barang-barang lainnya yang berjenis kaki lima.

Lagi-lagi ada yang menarik perhatianku. Tampak seorang kakek renta menenteng banyak kantong kain tipis bermotif kekinian. Ditawarkannya pada setiap orang yang berpapasan dengannya, tidak ada satu pun yang peduli. Langkah kakinya sudah tidak selincah pedagang lain yang masih muda. Sementara matahari makin angkuh di puncak singgasananya. Beberapa pedagang asongan lainnya tampak memilih istirahat sejenak di tempat yang teduh.

Oh Tuhan … kenapa dunia ini begitu kejam?

Kemanakah anak cucu kakek pedagang itu?

Aku kembali fokus pada rekan-rekanku di meja sambil minum-minuman dingin dan ngemil. Kami sedang membahas skenario film yang membuatku tak henti-hentinya belajar, otakku cukup lemot untuk meresap ilmu. Aku merasa penulis paling payah di antara rekan-rekanku yang sudah jago dan tinggi kapasitas ilmunya, bahkan satu persatu dari mereka sudah naik honor. Sementara honorku malah turun karena kualitas tulisanku yang bukannya ada kemajuan malah semakin memburuk.

Aku menoleh lagi ke jalanan, kali ini hatiku berteriak di seantero jiwa. Seorang lelaki tua tampak merangkak dipinggir jalan. Kedua kakinya seperti terkena polio sehingga tidak bisa berjalan normal, melainkan merangkak menggunakan lututnya yang beralaskan kain tebal untuk melindungi dari kasarnya kontur jalanan. Kedua tangannya juga turut menelapak di jalan agar dirinya bisa melaju meski sangat lamban.

Kulihat semua orang tampak menatap tajam ke arahnya. Seolah-olah seseorang itu paling hina di muka bumi ini. Aku benar-benar terpaku melihatnya dari kejauhan. Banyak orang yang berpapasan tampak acuh melewatinya. Meski begitu muka bumi ini masih menyimpan satu-dua orang yang berhati mulia berniat ingin membantunya, setidaknya memberikan jalan agar tidak tersenggol oleh orang lain.

Lagi-lagi aku bertanya, kemanakah keluarganya? Aku tidak tau. Sunggguh tega jika ada sanak keluarganya yang membiarkan seseorang itu sendirian saja di tengah ganasnya kota metropolitan. Beberapa saat kemudian seseorang itu sudah hilang dari pandanganku, terhalangi oleh gedung-gedung pencakar langit.

Aku merenung sejenak, rekan-rekanku tidak menyadari apa yang sedang kulakukan atau pun apa yang sedang kulihat. Masih pantaskah aku kufur nikmat hanya karena honor yang berkurang dan uang yang pas-pasan, sementara mereka tampak pontang-panting di jalanan mengharapkan sesuap nasi?

Saat menulis ini aku menangis.

Padahal aku masih bisa bersantai di tempat yang teduh dan nyaman. Aku masih memiliki banyak sanak saudara dan rekan-rekan yang selalu peduli. Aku masih bisa menggunakan sebagian penghasilanku untuk modal bisnis. Terlebih caraku mendapatkan uang tidak perlu panas-panasan di luar sana. Tidak perlu menghitung receh. Tidak perlu memikirkan sesuap nasi karena masih diayomi oleh orang tua dan keluarga. Lantas kenapa aku masih saja marah-marah karena tidak bersyukur?

Sesekali aku tertawa saat berbaur dengan rekan-rekan yang tidak sekedar membahas topik-topik berat yang memeras otak, tetapi juga membicarakan hal-hal ringan yang menggali sisi humoris dari dalam diri kita masing-masing yang menyeruak bagai kepulan awan yang menampung kesedihan sementara. Begitulah, kadang bahagia, kadang sedih.

Tapi dibandingkan kami, ada mereka yang jauh masih kurang beruntung. Disaat kami berteduh sambil meminum-minuman warna-warni, justru mereka tampak sibuk mondar-mandir menawarkan barang dagangan di bawah terik matahari yang menghardik.

Setelah semua hal yang kulihat lalu kurenungkan, aku sadar jika setiap manusia wajib menempuh pendidikan agar berilmu, karena ilmu itu sendirilah yang akan menjadi jaring dari segara sumber rezeki yang membuih bagai angin, melesat-lesat, siapa yang sigap makan akan mendapatkannya. Dan kesigapan selalu berasal dari pola pikir yang benar, dan pola pikir yang benar selalu terasah dari ilmu yang beragam.

Entah itu pendidikan formal atau pun informal. Bedanya adalah kalau formal selalu dilengkapi oleh titel, gelar dan semacamnya di mana kita mendapatkan ijazah sebagai bukti konkrit bahwa kita berilmu dan diakui sebagai kaum intelek. Tetapi mungkin untuk orang yang tingkat perekonomiannya sederhana sepertiku yang hanya bisa melanjutkan ke tingkat SMA saja, agaknya terlalu mahal untuk kuliah dan sulitnya mendapatkan beasiswa yang cocok akan lebih baik jika menempuh pendidikan informal saja seperti banyak membaca, rajin latihan dalam kreatifitas apa yang kita sukai, kursus, workshop, seminar dan lain sebagainya yang penting dapat ilmu yang berguna bagi diri kita sendiri juga bermanfaat untuk kehidupan orang lain.

Seperti halnya diriku, secara fisik memang sempurna layaknya manusia lain. Orang-orang asing akan mengira jika aku masih anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, tanpa mereka ketahui jati diriku sebenarnya jika aku adalah gadis remaja yang beranjak dewasa. Tapi aku senang, mereka tidak mengenaliku. Tapi hal ini pula yang membuatku ketakutan jika suatu saat nanti jati diriku akan diketahui banyak orang, karena aku paling tidak suka diperhatikan. Aku benci ditatap oleh pasang-pasang mata yang kejih, menatap dari ujung kepala hingga ujung kakiku, entah apapun yang mereka pikirkan, aku tidak tau, intinya aku selalu tersinggung.

Obat penawar rasa takutku adalah dengan melihat mereka yang sejak tadi kuceritakan di sini, mereka pejuang hidup sesungguhnya, jelas-jelas ditatap remeh oleh khalayak ramai tetapi masih memilih untuk tetap bernapas. Padahal aku saja ada kalanya di situasi tertentu yang menyakitkan ingin sekali mengakhiri hidup meski tidak sudi merasakan sakaratul maut. Aku hanya selalu berharap jika malaikat maut mencabut nyawaku sekilas agar tidak merasakan sakit.

Sekarang aku memiliki impian baru selain ingin menulis film layar lebar, membangun banyak villa dan sederet kos-kosan, keliling dunia, mengelola kafe dan hal gila lainnya … aku ingin membangun sebuah yayasan di mana menjadikan para disabilitas sebagai target utama yang ingin kudidik dengan ilmu dan keterampilan.

Sejak kecil aku memang sudah rajin belajar banyak  hal seperti merajut benang, menjahit, memayet gaun pengantin, membuat kue, membuat asesoris dan lainnya. Akan tetapi sekarang lebih memfokuskan diri di dunia sastra. Dulu aku sering berpikir bahwa semua temanku yang memiliki postur ideal bisa bekerja, sementara aku tidak. Jadi aku akan mengasah banyak keterampilan untuk modal utama mewujudkan mimpi sebagai orang yang sukses. Karena hidup ini sangat logis, siapa yang lemah maka akan tergilas kekejaman dunia.

Tapi sekarang aku merasa sayang, mengapa orang-orang yang sempurna tampaknya lebih banyak mengeluh? Sementara di luaran sana banyak orang-orang kurang beruntung sepertiku yang memperjuangkan hidup dalam keadaan kodratnya yang berbeda. Di sini aku sadar, jika semangat yang tinggi adalah sesuatu yang paling berharga yang ada di dalam diri manusia. Dan aku sangat takut kehilangan semangat yang akhir-akhir ini mulai berkurang kadarnya.

Tuhan …

Aku tau jika Engkau berlaku sebagaimana pikiran hamba-Mu, tapi tidak semua manusia menyadari hal itu, jadi kumohon … berilah mereka yang kurang beruntung, sebuah pelajaran hidup di mana yang akan membuat pikirannya secara otomatis akan mencitpakan pola pikir yang baik.

Begitu pun juga aku, jangan biarkan sedikit pun kadar semangatku menipis.

Oh iya sebelum mengakhiri cerita ini, aku ingin menceritakan secara singkat tentang salah satu temanku yang seorang disabilitas. Meski banyak kekurangan, akan tetapi dia sangat kuat dan selalu berjuang menggapai kesuksesannya. Berkat usahanya, dia kini menjadi salah satu penulis yang berpengaruh di Indonesia, selain itu juga dia adalah seorang CEO penerbitan indie yang berkualitas dan memiliki banyak karyawan yang membantunya dalam mengelola perusahaannya yang sudah bercabang di banyak kota-kota yang tersebar di Indonesia.

Jadi, tetap semangat ya kamu siapa pun yang baru saja menyelesaikan bacaan ini, terimakasih, dan sini biar kuramal … kamu akan menjadi orang yang hebat, percaya atau tidak, buktikan kata-kataku ini … dan jangan lupa untuk menghubungiku jika hal itu terjadi.

media cetak & Online
media cetak & Online
Sungguh-sungguh, semangat, hati-hati, berkarya, bekerjasama & Berdo'a

Related Articles

Media Sosial

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Berita Terbaru