Sabtu, Maret 22, 2025

Trend dan Isue Layanan Spiritual Care; Meningkatkan Coping Positif Menuju Kesembuhan Pasien

Oleh: Ahmad Husaini, Dr., M.Ag.
(Praktisi Spiritual Care RSUD Al Ihsan Prov. Jawa Barat)

Manusia adalah individu atau kelompok memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini untuk menetapkan pilihan dan melakukan tindakan. Leininger mengungkapkan manusia memiliki kecenderungan mempertahankan budayanya setiap saat dan dimanapun ia berada, agama adalah suatu sistem simbol yang mengakibatkan pandangan dan motivasi yang realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi kuat sekali untuk menempatkan kebenarannya di atas segalanya bahkan di atas kehidupannya sendiri.

Agama dan keberagamaan adalah dua kata yang maknanya berbeda satu dengan lainnya. Secara morfologis, masing-masing ungkapan tentu punya artinya sendiri. Sesuai dengan kaidah kebahasaan, perubahan bentuk dari kata dasar agama menjadi keberagamaan semestinya sudah cukup untuk mengingatkan bahwa keduanya harus dipakai dan diberi makna yang berbeda. Adalah kekeliruan yang mesti dihindari bila kedua kata ini diberi arti atau makna yang sama. Pemakaian kata ini dalam arti yang jelas bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang semestinya. Agama merupakan kata benda dan keberagamaan adalah kata sifat atau keadaan.

Agama sebagai sistem keyakinan menjadi sumber nilai inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Ketika pengaruh ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem nilai dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, maka sistem nilai kebudayaan itu terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama dan menjadi kerangka acuan. Dalam keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan dari berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya; dan terwujud dalam kegiatan warga masyarakat sebagai tindakan dan karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci.

Kata kepercayaan (belief) dalam studi agama biasanya selalu bersanding dengan kata agama (religion), sehingga frasa religion and belief atau religion or belief kerapkali ditemukan dalam referensi atau dokumen hak asasi manusia di Barat. Dalam The World University Encyclopedia pengertian religion dijelaskan sebagai sebuah terma yang menunjukkan hubungan antara manusia dengan satu atau lebih Tuhan. Beberapa bahasa mengaitkan religion dengan kata relegere, to gather, together (berkumpul bersama), atau juga dikaitkan dengan kata religare, yang artinya mengikat kembali (to bind back) atau mengikatkan (to fasten).

Adagium ‘kesehatan adalah kekayaan’ menjelaskan pentingnya kesehatan bagi kesejahteraan manusia. Di samping hak atas pangan, sandang dan perumahan, hak atas kesehatan dan perawatan medis juga secara khusus disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai unsur-unsur standar kehidupan yang layak bagi individu dan keluarganya. Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya juga menerangkan bahwa kesehatan adalah ‘hak asasi manusia yang tidak bisa diabaikan demi memanfaatkan hak asasi manusia yang lain’ dan bahwa setiap manusia ‘layak menikmati standar tertinggi kesehatan yang menghasilkan kehidupan bermartabat’. Jadi, Pasal 12 (1) mengakui ‘hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental’ dan Negara-negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan hak ini secara penuh. Komentar Umum No. 14 yang menyeluruh dari Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya memperluas perspektif hak atas kesehatan dengan mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup manusia dalam hubungan dengan penikmatan kesehatan yang baik.

Konteks ke-Indonesia-an, hak kesehatan menjadi amanat konstitusi dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diejawantahkan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam undang-undang tersebut diatur juga tentang hak, kewajiban serta tanggung jawab pemerintah akan ketersediaan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat.

Landasan konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28A ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya,” Pasal 28 B ayat (2) ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Provider Quality Controler sebagai skala internasional adalah JCI (Joint Commision International) yang sudah dipergunakan di 92 negara hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit sedangkan skala nasional adalah KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) pada tahun 2011 menteri kesehatan mewajibkan semua rumah sakit berstandar internasional bagi rumah sakit besar maupun kecil. Dari 2.300 rumah sakit di Indonesia, baru 1.300 yang terakreditasi nasional menurut standar lama dan 65 rumah sakit terakreditasi sesuai dengan standar baru atau internasional.

Persfektif HPK (Hak Pasien dan Keluarga) SNARS Edisi 1 2018 (Standar Nasional Rumah Sakit) pasien dengan populasi yang beragam dalam memeluk agama, keyakinan, dan memiliki nilai-nilai pribadi maka beragam pula dalam menerima proses asuhan. Beberapa agama, keyakinan, dan nilai-nilai pribadi berlaku umum bagi semua pasien serta biasanya berasal dari budaya dan agama. Ada keyakinan yang bersifat individual. Rumah sakit melakukan identifikasi agama, keyakinan, dan nilai-nilai pribadi pasien agar dalam memberikan asuhan selaras dengan agama, keyakinan, dan nilai-nilai pribadi.

Asuhan pasien yang menghargai agama, keyakinan, dan nilai-nilai pribadi akan membantu kelancaran proses asuhan serta memberikan hasil asuhan yang lebih baik. Setiap profesional pemberi asuhan (PPA) harus melakukan identifikasi agama dan memahami agama, keyakinan, nilai-nilai pribadi pasien, serta menerapkan dalam asuhan pasien yang diberikan.

Jika pasien atau keluarga ingin berbicara dengan seseorang terkait kebutuhan agama dan spiritualnya maka rumah sakit menetapkan proses untuk menjawab permintaan ini. Proses ini dilaksanakan melalui staf kerohanian di rumah sakit. Proses ini menjadi kompleks bila rumah sakit atau negara tidak mengakui secara resmi atau mempunyai sumber terkait sebuah agama, tetapi bila ada permintaan ini maka rumah sakit dapat mengambil sumber di luar rumah sakit atau dari keluarga. Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan keperawatan dan pengobatan yang diberikan. Dengan peran ini dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik klien.

Prospek bisnis kesehatan di Indonesia kian menjanjikan dengan penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) mulai tanggal 01 Januari 2014, semua warga Indonesia bisa mengakses layanan kesehatan. Dengan jumlah penduduk lebih dari 240 juta jiwa, bisa dibayangkan besarnya pasar kesehatan negeri ini. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menyebutkan, diawal program Jaminan Kesehatan nasional (JKN), jumlah orang miskin menerima bantuan iuran dari pemerintah mencapai 86,4 juta. Dengan program Indonesia Sehat yang digagas oleh Presiden Joko Widodo, cakupan kepesertaan penerima terus diperluas.

Langkah awal pemerintah dalam merespon akan pemenuhan kebutuhan religiusitas di rumah sakit dengan membuat undang-undang baik dalam skala nasional maupun lokal sebagai quality control terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat termasuk penghormatan terhadap nilai-nilai keyakinan (agama) yang dianut oleh pasien di rumah sakit.

Perkembangan ilmu kedokteran modern, para psikolog dan agamawan mulai memandang penyakit dari sudut pandang yang berbeda. Di dunia Barat, ternyata sejak abad pertengahan gereja mulai mengidentifikasi adanya hubungan antara keyakinan beragama dengan penyakit non fisik. Mereka mencoba menggunakan sumber-sumber spiritual sebagai cara untuk men-diagnosa penyakit yang berhubungan dengan gangguan rohani manusia.

Sejak awal abad kesembilan belas para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik disebabkan oleh gangguan mental (soma psikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan gangguan fisik (psikosomatis). Dan diantara faktor mental yang diidentifikasikan sebagai potensial yang dapat menimbulkan gejala tersebut adalah keyakinan agama. Hal ini antara lain disebabkan sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali tak ada hubunganya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuhan penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.

Kepmenkes RI Nomor 812 tahun 2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif merupakan dasar pendekatan dari pelayanan rohani. Esensi kebijakan ini bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan, peniadaan, identifikasi dini dan penilaian serta penyelesaian masalah-masalah fisik, psikososial, dan spiritual. Sedangkan kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan sesuai dengan konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya.

Kebijakan pemerintah pada skala nasional belum muncul secara detail pada tataran petunjuk teknisnya tentang regulasi kebutuhan religiusitas, diera akreditasi tahun 2012 mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 Tahun 2012 Tentang Akreditasi Rumah Sakit dengan tujuan untuk: 12 (a) meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit (b) meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit (c) meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya (d) manusia rumah sakit dan rumah sakit sebagai institusi (e) mendukung program pemerintah di bidang kesehatan.

Adapun dasar kebijakan pemerintah daerah Jawa Barat termaktub dalam SK Gubernur Jawa Barat No. 451.05/Kep.755-Yansos/2002 tentang Tim Pembina Pelaksana Kegiatan Pelaksana kegiatan Perawatan Rohani Islam (Warois) tanggal 22 Juli 2002. 13
Agama tidak berarti hanya digolongkan dalam konteks kepercayaan terhadap Tuhan tetapi termasuk didalamnya kemungkinan adanya kesaksian manusia. Tidak terhitung banyaknya bentuk agama yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia. Pertanyaan yang terkait dengan fetishism, totemisme dan penyembahan terhadap berhala selalu terkait dengan agama. Satu fakta psikologis tentang manusia adalah bahwa kebanyakan manusia membutuhkan pengakuan terhadap eksistensi Yang Maha Kuasa.

Ketika umat manusia masuk pada abad ke-21 yang sekaligus merupakan millenium baru. Secara popular era yang kita masuki ini disebut dengan era informasi dan era globalisasi. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, sejak aspek ekonomi hingga aspek nilai-nilai dan moral. Secara sederhana, era global dapat diilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang ekonomi dan politik, kemajuan sains dan teknologi, arus informasi yang sangat cepat, dan perubahan sosial yang sangat tinggi.

Penelitian yang berkaitan dengan religiusitas di dunia rumah sakit salah satu subjek dari pemberi layanan adalah petugas yang langsung berhubungan dengan pelayanan pasien, banyak waktu untuk berkomunikasi intens bersama pasien sebagai objek layanannya sehingga lebih banyak informasi yang dapat digali. Dalam hal ini, bagaimana kebutuhan yang harus dimiliki oleh perawat dan petugas rohaniwan dalam meng-advokasi, membina suasana, memberdayakan serta menjalin kemitraan bersama pasien dan keluarga tentunya membutuhkan pemahaman religiusitas yang mumpuni.

Bila petugas mempunyai religiusitas tinggi akan mampu meningkatkan perilaku prososial terhadap para pasiennya, sebaliknya jika perawat mempunyai religiusitas rendah akan menurunkan perilaku prososial terhadap para pasiennya. Religiusitas yang meliputi, kepercayaan seseorang akan adanya kehidupan dan kematian, kemampuan seseorang dalam mengerjakan kewajiban ritual agamanya, penghayatan seseorang akan menjalankan agama yang pernah dialaminya, kemampuan seseorang berupa pengetahuan tentang agama dan kemampuan seseorang dalam mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sosial. 15

Pengetahuan tentang sasaran dan tujuan syariat (maqashid al-syari’ah), yang telah diidentifikasi sebagai peningkatan kemaslahatan manusia (mashlahah) dan pencegahan kerusakan (mafsadah), adalah pendekatan holistis yang penting untuk mewujudkan lingkup yang tepat dan luhur dari hukum Islam. Dalam pembahasannya soal teori al-Syatibi tentang sasaran dan tujuan Syariat, Hallaq menekankan, antara lain, pandangan al-Syatibi bahwa ‘maksud awal Allah dalam mewahyukan hukum (ialah) untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia (baik duniawi maupun ukhrawi)’. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, ‘Untuk tiap-tiap diantara kalian, Kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan yang terang (minhaj)’, yakni pendekatan untuk menerapkannya. Dengan demikian, pendekatan maqashid dalam menafsirkan dan menerapkan syariat adalah jaminan keadilan penuh (full equity) dalam hukum Islam.

Kebutuhan spiritual adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi karena sebagai semangat, atau motivasi untuk hidup, kebutuhan untuk mempertahankan, mengembalikan keyakinan, dan membantu memenuhi kewajiban agama. Sebagai negara berdasar Pancasila, Indonesia mengakui enam agama sebagai agama yang sah untuk dipeluk oleh warga negaranya, disamping kepercayaan lokal yang tumbuh subur di negeri ini. Indonesia adalah negara majemuk dalam agama. Karena keenam agama tersebut merupakan agama-agama besar dunia, maka Indonesia pun memperoleh predikat “The Meeting Place of Religion”.

Nilai-nilai memberikan arahan dan arti bagi hidup dan memandu proses pengambilan keputusan. Dalam profesi keperawatan, panduan untuk praktisi diterbitkan oleh organisasi keperawatan negara bagian dan nasional, dan menjadi panduan bagi profesional sebagai deklarasi publik mengenai standar profesi. Tujuan dari semua panduan, prinsip etis, dan undang-undang legal adalah untuk melindungi pasien. Menggabungkan panduan profesional dengan prinsip etis dan nilai-nilai pasien memungkinkan asuhan keperawatan yang unik, penuh rasa hormat, dan efektif bagi setiap pasien.

Agama memberi makna pada kehidupan individu, kelompok, dan memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat dijadikan sarana bagi manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan dan mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-norma kolompok, sanksi moral untuk perbuatan perseorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat.
Pelayanan spiritual yang dimaksud identik dengan pelayanan rohani kepada pasien. Hal ini menjadi penting karena pasien merasa terbantu dengan adanya perhatian (attention), dukungan (sustaining), perdamaian (reconciling), bimbingan (guilding), penyembuhan luka batin (inner-healing), serta do’a (praying). Apabila pasien terlayani aspek rohaninya maka terjadi keseimbangan dalam hidup dan berdampak positif untuk menjalani pengobatan penyakitnya.

Pasien-pasien yang mengidap penyakit berat mengalami berbagai kecemasan, ketakutan, demikian juga pasien ketika menghadapi operasi dan pasca-operasi, pasien yang menghadapi saat-saat kritis seperti menghadapi kematian (terminal), sakaratul maut (naza’, dying), sudah bukan ranah persoalan perawatan medis semata, melainkan sangat memerlukan pendampingan, layanan, dan bantuan spiritual. Karena itu salah satu kebutuhan mendesak bagi pasien rawat inap di rumah sakit adalah perlunya bantuan dan layanan spiritual untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi agama bagi manusia yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamat, fungsi perdamaian, fungsi pengawasan sosial, fungsi pemupuk solidaritas, fungsi transformatif, fungsi kreatif dan fungsi sublimatif. Agama mempunyai peran penting dalam mengelola stres, agama dapat memberikan individu pengarahan atau bimbingan, dukungan, dan harapan, seperti halnya pada dukungan emosi. Melalui berdo’a, ritual dan keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam koping pada saat mengalami stres kehidupan, peristiwa yang menekan, kepercayaan umum dalam beragama dan pengamalannya harus diubah menjadi bentuk koping yang spesifik. Bentuk koping yang spesifik inilah yang tampak memiliki implikasi langsung terhadap kesehatan individu dalam ketika pada masa sulit.

Seberapa jauh religiusitas seseorang, maka dapat dilihat bagaimana melaksanakan dimensi-dimensi religiusitas. Menurut Glock dan Stark yang dikutip oleh Ancok dan Suroso ada 5 dimensi religiusitas diantaranya:

1. Dimensi Peribadatan; dimensi religiusitas ini mencakup tentang sejauh mana individu mengerjakan kewajiban ritual dalam agama mereka mencakup upacara-upacara, pemujaan, ketaatan, sembahyang, puasa, berdoa, dan lain-lain.
2. Dimensi Keyakinan; dimensi religiusitas ini berisikan tingkat sejauh mana individu berpegang teguh pada neraka, malaikat dan lain-lain.
3. Dimensi Pengalaman; berisikan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan sebagai keajaiban yang datang dari Tuhan, misalnya perasaan bersyukur kepada Tuhan, perasaan mendapatkan teguran dari Tuhan, dan lain-lain.
4. Dimensi Pengetahuan Agama; tingkat sejauh mana individu mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya dan seberapa jauh aktifitasnya dalam menambah
pengetahuan agama, misalnya pengetahuan tentang isi kitab suci, pokok ajaran agama, dan lain-lain.
5. Dimensi konsekuensi; pandangan teologis dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut, seperti surga, tingkat sejauh mana individu dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya didalam kehidupan sosialnya, seperti, suka menolong, tidak korupsi, dan lain-lain.

Berdasarkan uraian tersebut, dimensi religiusitas yang meliputi peribadatan atau praktek agama, keyakinan, pengalaman, pengetahuan agama, memberikan konsekuensi individual aspect, collective aspect dan actional aspect. Hal ini dikarenakan aspek-aspek tersebut dinilai dapat mewakili aspek-aspek yang telah dikemukakan Pyne dan Pitard. Selanjutnya aspek-aspek religiusitas Glock dan Stark digunakan oleh peneliti sebagai dasar teoritik untuk membuat alat ukur religiusitas.

Fenomena bangkitnya semangat religius telah menggeser peta pemasaran dari titik pasar rasional ke arah pasar emosional bahkan spiritual. Pola nilai konsumen akan ikut pula berubah. Konsumen tidak lagi mempertimbangkan fungsi, harga cita rasa, ataupun prestise, namun juga mempertimbangkan baik buruk, halal-haram yang berhubungan dengan keyakinannya. Pakar marketing dunia, Kotler dan Clarke menjelaskan secara pasti tentang pentingnya secara pasti apa yang menjadi “needs” dan “wants” dari konsumen yang akan dibidik sebagai target pasar. Needs diartikan sebagai kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus terpenuhi sebagai teori hierarki kebutuhan yang digambarkan oleh Abraham Maslow, mencakup mulai dari kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri atau self esteem. Seharusnya seorang pemasar mempelajari sistem nilai yang ada di suatu masyarakat agar dapat memahami perilaku konsumen, termasuk diantaranya semangat spiritual serta kecenderungan nilai dan norma yang diyakini. Sementara wants adalah ketertarikan terhadap produk yang spesifik dengan terdapatnya atribut-atribut produk sesuai dengan keinginan konsumen.

Dewasa ini perkembangan terapi di dunia kedokteran sudah berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial. Organisasi kesehatan sedunia (WHO), pada tahun 1984 telah menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah satu dari empat unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan sehat spiritual. Pendekatan baru ini telah diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat (American Psychiatric Association/APA) pada tahun 1992, yang dikenal dengan “bio-psycho-sosio-spiritual”.

Sebenarnya salah satu kebutuhan dasar manusia adalah rasa aman dan terlindung (security feeling), yang artinya manusia memerlukan ‘pelindung’ yaitu Tuhan yang dapat memberikan rasa ketenangan dalam hidup ini dan memberikan petunjuk dalam bentuk taufik dan hidayah dalam penyelesaian dalam berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial. Dengan beribadah yaitu berdo’a dan berdzikir maka Tuhan akan memudahkan yang mudah dan memudahkan yang sukar.

Larson pada tahun 1992 dalam penelitiannya yang dimuat dalam “Religion Commitment and Health,” menyatakan antara lain bahwa komitmen agama sangat penting dalam pencegahan agar seseorang tidak mudah jatuh sakit, meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit serta mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Larson dan kawan-kawan melanjutkan studi banding pada pasien lanjut usia dengan pasien muda usia yang akan menajalani operasi. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa pasien-pasien lanjut usia dan religius serta banyak berdo’a dan berdzikir kurang mengalami ketakutan dan kecemasan, tidak takut mati dan tidak menunda-nunda jadwal operasi, dibandingkan dengan pasien-pasien muda yang tidak religius.

Matthews pada tahun 1996 dari Universitas Georgetown dalam pertemuan tahunan ‘the American Psychiatric Association”, mengatakan antara lain bahwa suatu saat ketika para dokter akan menuliskan do’a dan zikir pada kertas resep, selain menuliskan resep obat untuk pasien. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa dari 212 studi yang telah dilakukan oleh para ahli, ternyata 75% menyatakan bahwa komitmen agama (do’a dan dzikir) menunjukkan pengaruh positif pada pasien. Dari hasil penelitian ilmiah yang berkaitan dengan terapi medis yang digabung dengan terapi psiko-religius sebagaimana telah diuraikan dimuka. Snyderman pada tahun 1996, dekan fakultas Kedokteran Universitas Duke, menyatakan bahwa terapi medis saja tanpa disertasi do’a dan dzikir tidaklah lengkap; sebaliknya terapi do’a dan dzikir saja tanpa terapi medis tidaklah efektif.

Parson memandang masyarakat sebagai sesuatu sistem sosial yang dapat disamakan dengan ekosistem. Bagian-bagian unsur sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik yang memberi kontribusi terhadap kesehatan dan vitalitas sistem sosial dan menjamin kelangsungan hidupnya. Parsons berada dalam tradisi sosiologi yang disebut fungsionalisme. Ia mengonseptualisasi masyarakat sebagai sistem sosial dari struktur sosial yang paling berkaitan, yang setiap struktur sosial itu memainkan suatu fungsi spesifik dalam membangun stabilitas dan integrasi individu-individu dan peranan-peranan sosial mereka. Masyarakat adalah hasil dari berbagai pelaku yang menjalankan peranan sosial mereka-misalnya, ibu, guru, dokter-dalam institusi sosial spesifik keluarga, ruang kelas, dan rumah sakit. Institusi menjalankan fungsi spesifik yang diperlukan bagi kelangsungan kehidupan sosial. Keluarga menyosialisasikan generasi berikutnya, guru menyiapkan pekerja yang akan datang, dan dokter memulihkan dan merehabilitasi, memungkinkan individu-individu untuk menjalankan peranan sosial masing-masing.

Mengikuti Durkheim tentang agama, dapat didefinisikan agama sebagai seperangkat keyakinan dan praktek-praktek, yang berkaitan dengan yang sakral, yang menciptakan ikatan sosial antar individu. Agama dapat memberikan harapan, ganjaran dan dukungan. 32 Freud telah menyuguhkan bentuk-rinci penjelasan tentang agama yang telah mempengaruhi pemikiran abad 20 ini. Sebuah pendekatan yang dinamakan oleh teoretikus sekarang dengan fungsionalis reduksionisme. Setelah dengan radikal ia menelanjangi agama, Freud mengklaim bahwa yang ia lakukan bukan saja menjelaskan agama, tapi juga memberikan cara untuk mengatasi dan menyingkirkannya. Dalam pandangannya agama secara utuh dapat “direduksi” menjadi sebatas bentuk ketertekanan psikologis, menjadi sekumpulan ide dan keyakinan-keyakinan bila telah diresapi penampilan luarnya akan bisa memenuhi ilusi-ilusi yang dilahirkan oleh alam bawah sadar.

Sekumpulan ide dan keyakinan tidak lepas dari perilaku manusia yang merupakan hasil interaksi beberapa faktor internal dan eksternal. Namun dapat disimpulkan perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh faktor fisik, psikis, lingkungan dan sosial. Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem layanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Agama dipeluk dan dihayati oleh manusia, praktek dan penghayatan agama tersebut diistilahkan sebagai keberagamaan (religiusitas). Keberagamaannya, manusia menemukan dimensi terdalam dirinya yang menyentuh emosi dan jiwa. Oleh karena itu, keberagamaan yang baik akan membawa tiap individu memiliki jiwa yang sehat dan membentuk kepribadian yang kokoh dan seimbang.

Becker, menjabarkan ada empat komponen yang terlibat dalam tindakan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan kesehatan yang biasa disebut Health Believe Model, yakni; (a) kerentanan yang dirasakan (perseived suscetibility) (b) keseriusan yang di rasakan (perseived Seriousness) (c) manfaat dan hambatan yang dirasakan (perseived benefits and barriers) (d) isyarat atau tanda-tanda (cues). Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan manfaat tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal misalnya pesan-pesan media massa. Dengan adanya kebutuhan dalam diri seseorang maka akan muncul motivasi atau penggerak sehingga individu beraktifitas atau berperilaku, baru tujuan tercapai dan individu mengalami kepuasaan.

Kelman mengkategorikan teori atau cara agar terjadinya perubahan disebabkan karena:

  1. Karena terpaksa (compliance), pada cara ini individu mengubah perilakunya karena mengharapkan akan:
  • Memperoleh imbalan, baik materi ataupun non materi
  • Memperoleh pengakuan dari kelompoknya
  • Terhindar dari hukuman
  • Tetap terpelihara hubungan baik
  1. Karena ingin meniru atau ingin dipersamakan (identification), pada cara ini karena individu mengunah perilakunya karena ingin disamakan dengan orang yang dikaguminya.
  2. Karena menyadari manfaatnya (internalization), pada cara ini perubahan benar-benar mendasar, artinya benar-benar menjadi bagian hidupnya.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi di atas, masalah utama dalam penelitian yang pada umumnya rumah sakit belum banyak memahami kebutuhan agama dan spiritualitas yang sangat mendasar bagi keberlangsungan kehidupan pasien. Sebagai hipotesis penelitian kualitatif dalam hubungan sebab dan akibat adalah kehadiran pasien ke rumah sakit secara umum bersifat fisik, tidak ada hubungan kehendak dengan kebutuhan agama dan spiritualitas, tetapi keharusan mengamalkan agama adalah wajib hukumnya.

Kemudian, perantara untuk mengamalkan kewajiban agama tersebut wajib adanya. Peran agama hadir dalam konsep sehat dan sakit hingga masalah kematian. Hadirnya peran dan fungsi agama dalam kehidupan dapat dirasakan kenikmatannya oleh individu, inilah yang dimaksud spiritual dalam kontekstual adanya “spirit dan ritual.” Dalam penelitian terdahulu bahwa agama dan spiritualitas dapat meningkatkan koping untuk menuju kesembuhan atau keikhlasan dan kepasrahan kepada Sang Pencipta.

Dinamika transformasi religiusitas kebutuhan pasien, sebagai intervensi perawatan spiritual care sebagai berikut:

  1. Menyediakan lingkungan yang aman dan mendengarkan dengan penuh perhatian, pasien dapat mengekpresikan perasaan dan pengalaman yang berhubungan dengan penyakit, masalah, dan kematiannya
  2. Menyediakan kesempatan bagi pasien untuk meng-ekpresikan kesedihan, kemarahan, keputusasaan, penderitaan, kegembiraan, kesenangan dan kebingungan.
  3. Menyarankan pentingnya suatu hubungan yang dapat membantu pasien (keluarga, penasihat, pendeta, ustadz).
  4. Merujuk pada penyedia pelayanan spiritual yang profesional (para rohaniwan, ustadz, pendeta).
  5. Latihan spiritual seperti yoga, relaksasi, zikir, atau meditasi.
  6. Ritual keagamaan
  7. Do’a, sembahyang atau kebaktian lainnya.
  8. Membaca kitab suci (Al Qur’an, bibel, Taurat).
  9. Membaca bacaan yang reflektif dari puisi, biblioterapi atau literatur lain.
  10. Catatan harian pasien atau keluarga.

Pasien atau keluarga terkadang meminta perawat untuk berdo’a bersama. Perawat dan petugas kerohanian melihat keintiman ini sebagai suatu penghargaan dan penyertaan petugas ke dalam acara spesial keluarga. Penolakan terhadap acara ini dapat menyinggung pasien. Menerima ajakan dengan sangat ramah dan berdiri dengan tenang di samping keluarga keluarga dapat menjadi pilihan. Petugas sebaiknya mencari bantuan dari para pendeta atau petugas bimbingan rohani rumah sakit jika keluarga meminta seseorang untuk memimpin sebuah do’a karena ini membutuhkan kemampuan khusus.
Ajaran Islam telah mengintegrasikan pendekatan psikologis dan spiritual dalam menghadapi berbagai penyakit. Dzikir kepada Allah dengan berbagai pilihan ritual yang dilakukan, merupakan sumber kekuatan bagi seorang mukmin. Islam memberikan dukungan sistem untuk membantu pasien untuk hidup seaktif mungkin. Kegiatan religius yang seharusnya menjadi tema kehidupan bagi orang mukmin, dapat ditingkatkan dalam menghadapi penyakit. Ketika menghadapi diagnosis penyakit terminal, seorang mukmin untuk melihat sisa hidupnya sebagai kesempatan akhir untuk menebus dosanya dan memperbanyak amal ibadah yang baik, terutama yang bersifat kemasyarakatan.

Titik pangkal kajian ini dilakukan melalui sejauh mana kehadiran petugas kerohanian dan keterlibatan peran kesatuan rumah ibadah dengan pihak rumah sakit. Salah satu lembaga yang terlibat dalam penelitian adalah the American Hospital Association Annual Survey of Hospital, yang melakukan survey mengenai program spiritual care antara tahun: 1980-1985, 1992-1993, dan 2002-2003 dengan range 4.946-6.253 rumah sakit. Dari hasil survey ini diketahui antara 54%-64% rumah sakit di AS menggunakan jasa pastoral dan gereja dalam spiritual care antara tahun 1980 hingga 2003. Dari hasil survey ini juga menunjukkan terdapat tiga faktor yang mempengaruhi bagaimana rumah sakit memberikan layanan spiritual, tiga faktor tersebut yaitu; (1) ukuran atau kapasitas rumah sakit (2) lokasi dan letak rumah sakit (3) afiliasi rumah ibadah dan rumah sakit.

Khusus untuk program layanan spiritual care di rumah sakit mereka mendidik Chaplin profesional dengan nama “hospitalist”, dengan skill, abilitas, dan tanggung jawab yang diawasi secara ketat oleh gereja, kompetensi seorang hospitalist adalah; (a) chaplin profesional (b) memiliki pendidikan formal keagamaan (b) bersertifikat khusus untuk spiritual care di rumah sakit (c) memahami betul seluk beluk keperawatan dan manajemen rumah sakit.

Konseling rumah sakit akan dikembangkan dalam bentuk konseling yang khas disebut brief focused counseling dengan single session, yaitu model konseling yang dilakukan dalam sessi yang singkat dan fokus kepada kebutuhan inti pasien. Jenis layanannya meliputi (1) Bimbingan, (2) Konseling, (3) Kolaborasi dan konsultasi, (4) Psikoterapi. Dalam kaitannya dengan spiritual care, maka ke empat jenis layanan ini menjadi kerangka umum konseling kolaboratif, dimana spiritual care berada di dalamnya.

Terkait dengan tren kedepan tersebut maka terdapat beberapa kompetensi yang harus disiapkan oleh perawat, kompetensi tersebut meliputi: (1) Kompetensi akademis. (2) kompetensi teknis, (3) kompetensi etis. Kompetensi akademis adalah kompetensi formal akademis yang dimiliki oleh perawat dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat pendidikan, latihan, atau kursus mengenai ilmu berbagai disiplin ilmu tambahan yang relevan untuk spiritual care seperti: Bimbingan dan Konseling, dan penguasaan bidang Ilmu Agama Islam untuk kepentingan layanan spiritual care yang dikeluarkan oleh lembaga yang kompeten dibidangnya. Bukti ini penting untuk legalisasi penguasaan sebuah disiplin keilmuan berikut keahliannya.

Dengan teratasinya masalah dan koping meningkat ditandai dengan; (a) banyak pasien menyadari akan agamanya atau latar belakang spiritualnya (b) keyakinan agama yang dianutnya dan mengatasi masalah mereka (c) pasien merasa terisolasi dari komunitas agamanya dan sebagai alternatifnya adalah memberikan layanan kebutuhan spiritual (d) keyakinan beragama dapat mempengaruhi keputusan medis yang adakalanya menjadi konflik, dengan petugas kesehatan, serta mempengaruhi hubungan petugas kesehatan dan pasien dalam pemenuhannya (e) keyakinan beragama dan pengamalannya berpengaruh terhadap kesehatan mental dan fisik (f) kebutuhan agama dapat memberikan dorongan yang baik dan pasien diterima dalam sebuah komunitasnya. Hal tersebut tidak lepas dari dukungan dalam upaya pemenuhan kebutuhan agama dan spiritualitas, yang merupakan bagian dukungan (support) kebutuhan manusia secara utuh, dapat dipenuhi apabila petugas dan keluarga memiliki, pengetahuan, kemampuan, dan kemauan yang mumpuni. Dengan diketahuinya faktor yang mempengaruhi transformasi kebutuhan spiritual tersebut, maka fokus layanan bimbingan kerohanian di rumah sakit niscaya adanya. Wallaahu ‘alam.

Related Articles

Media Sosial

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Berita Terbaru