Pewarta : Bo’ip & Wartono SP

Koran SINAR PAGI, Kota Banjar,- Huhu & Popo Band asal Kota Banjar berhasil melibas pesaingnya dari berbagai daerah di Indonesia. Kompetisi yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu mendapatkan respon positif. Ini dibuktikan saat Huhu & Popo menjalani serangkaian seleksi dari tingkat daerah. Huhu & Popo (Jabar) dinobatkan sebagai juara ketiga dari lima peserta hasil seleksi setiap kota se Indonesia. Sedangkan juara satu UNIKU (Surabaya), kedua FILSAFATIAN (Medan).

“Saya ikut audisi di Bandung sebagai perwakilan Jawa Barat. Pesertanya pun ternyata banyak, hampir ada 40 peserta. Kami Huhu & Popo menjadi juara dan diamanahkan untuk mewakili Jawa Barat,” kata Dayat, Minggu (05/11).

Menurut Dayat dan Bayu dua personil Huhu & Popo juga seorang Munsyid grup Nasyid Madany asal kota Banjar ini mengemukakan bahwa lagu adili bapakku merupakan lagu yang menggunakan reverse psikologi. Dimana liriknya menggunakan pendekatan rasa bersalah dengan pola “what if” (bagaimana jika). Sebuah analogi pengandaian yang mengajak semua orang berpikir “bagaimana jika kita ada di posisi itu.

“Sejauh saya tahu, tidak ada keluarga koruptor yang kondisi keluarganya harmonis. Pasti ada kecacatan dalam hubungan keluarganya. semua itu memang karena korupsi sendiri merupakan penyakit penyimpangan norma”.

Bagi mereka, Indonesia merupakan negara dengan spektrum budaya yang beragam. Setiap budaya membawa muatan norma yang juga beragam. Celah-celah dalam perbedaan norma itulah yang membuat budaya korupsi masuk dan berkembang. Selain itu, lagu adili bapakku berisi satir yang menyindir masyarakat kita. masyarakat yang masih bangga pada budaya korupsi, asalkan masih bisa hidup bermewa-mewahan.

“Saya (Dayat) dan Bayu, Asa merupakan orang daerah yang menjadi masyarakat urban di kota besar. Dimana disana keterbukaan sangat diberi ruang. Sementara di daerah untuk membicarakan soal korupsi saja, mungkin akan sangat sulit. Kita sering dibenturkan pada “suasana kekeluargaan” yang dianggap biasa dalam praktek KKN budaya feodal yang menganggap, tidak apa-apa anak pemimpin memegang proyek atau pantaslah dia banyak uang, anak pejabat. Dan praktek seperti ini sering terjadi di daerah-daerah. Dengan kesempatan untuk terbuka, kami coba merespon lingkungan kami lewat lagu,” imbuhnya.

Penyanyi senior yang populis dengan nuansa lagu kritik sosial, Opie Andaresta mengaku terhanyut dalam lirik lagu yang dibuat Huhu & Popo. Dia mengacungi jempol jika lirik lagunya sangat beda ini diambil dari sisi psikologis seorang keterunan dari koruptor.

Bahkan dalam liriknya menceritakan bagaimana sang anak jutru mengaku berdosa menjadi keturunan dari seorang koruptor. Keketiran dia tercurah dalam bait lirik “Jika menjadi anakmu adalah dosa untuku/mati aku/dineraka manakah tempat untukku”. Penggalan lirik tersebut menggambarkan kekecewaan yang mendalam dari seorang anak. Kemudian, sang anak pun bukanya membela ayahnya justru menyuruh hakim untuk adili bapaku.

Lagu yang unik. Liriknya dalem, ngambil dari angle yang bener-bener ga kepikiran sebelumnya,” terang Opie Andaresta.