Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Praktisi Pendidikan)
Hidup ini indah bagi para pembelajar. Bisa belajar dari ayat ayat qauliyah/tertulis, dokumen tertulis, mushaf atau apa pun yang tertulis. Bisa pula belajar pada ayat ayat kauniyah, berbagai fenomena dan kejadian di sekitar kita.
Semua ayat, baik tertulis atau pun fakta keseharian memberikan pembelajaran bagi kita. Kita sebagai umat manusia adalah mahkluk paling subjektif, bahkan so tahu.
Dihadapan manusia, ayat qauliyah (tertulis) dan ayat kauniyah (kejadian) bisa mendatangkan tafsir yang tak sama, terutama ayat qauliyah. Itulah subjektifitas manusia.
Subjektifitas manusia itu adalah “vibrasi” yang menghidupkan dinamika dan dialektika berfikir. Allah memberikan akal pikir agar kita berdialektika sehingga melahirkan proses belajar.
Masalah benar dan salah adalah urusan no 2. Urusan no 1 adalah belajar dan belajar, untuk mencari kebenaran. Kebenaran hanya milik Allah, belajar milik kita. Allah tak belajar, kita manusia wajib belajar.
Termasuk kisah sejarah yang layak kita maknai dan dalami, terkait paman Nabi Muhammad SAW. Paman Nabi Muhammad SAW yang sangat baik hati, pelindung dan penjaga Nabi Muhammad SAW bernama Abu Thalib.
Prof. Dr. KH Buya Syakur mengatakan, “Sampai akhir hayatnya Abu Thalib tidak mau mengucap syahadat”. Mengapa Ia tidak mau mengucap syahadat? Ini sebuah realitas kauniyah dalam kehidupan manusia (kita).
KH Buya Syakur menelaah, mengapa Abu Thalib sangat baik kepada Nabi Muhammad SAW? Ia sangat baik kepada Nabi Muhammad SAW bukan karena ajaran mulianya, melainkan karena etika pada keponakannya.
Nabi Muhammad SAW adalah putra terbaik dari adiknya Abu Thalib. Etika keluarga dan kehormatan leluhur, wajib melindungi, sayang dan menjaga keponakan. Keluarga atau leluhur Nabi Muhmmad SAW terkenal orang orang berkarakter, berakhlak mulia.
Ini identik dengan kisah Prabu Kian Santang dan Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi sangat sayang sama anaknya (Kian Santang) dan Kian Santang pun sangat sayang pada orangtuanya. Namun keduanya tidak seiman secara syariat tetapi secara substantif punya misi yang sama.
Agama, ajaran, atau apa pun yang dibawa tokoh sejarah membawa nilai nilai universal yang sangat positif. Termasuk ajaran para leluhur di sebuah bangsa, bangsa mana pun, identik secara substantif membawa tujuan memperbaiki akhlak manusia.
Tidak lah heran Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengatakan, “Secara substantif nilai nilai islami yang di bawa Nabi Muhmmad SAW, walau pun secara syariat belum sampai di tanah Sunda, secara substantif sudah di praktekan oleh leluhur orang Sunda”.
Silih asah, asih, asuh dan hidup penuh harmonis dengan sesama dan semesta yang dilakukan para leluhur Sunda, seirama dengan ajaran agama Islam, walau pun saat itu belum datang.
Panggilan Allah bagi orang Arab Islam dan panggilan Sang Hiyang Kersa, bagi orang Sunda sebelum Islam datang esensinya identik. Manusia selalu “melabeli” apa pun, termasuk Tuhannya.
Memberi nama pada Tuhan diberikan semua umat manusia sesuai bahasa dan budayanya. Makhluklah yang butuh nama, plus butuh memuliakan Tuhan dengan nama tertentu dalam versinya.
Mari kita untuk terus belajar dan belajar melihat sejarah dan menangkap maknanya. Ungkapan bijak mengatakan, “Tidaklah penting kejadian besar atau kecil, kecuali kita mampu mengambil maknanya”.




