Pewarta: Dwi Arifin
(Koran SINAR PAGI)-, International Women’s Day yang berlangsung setiap 8 Maret merupakan hari yang diperingati sebagai upaya agar perempuan diakui atas prestasi mereka. Tanpa memandang perbedaan gender, agama, kebangsaan, etnis, bahasa, budaya, ekonomi, maupun politik. Sejak ditetapkan Hari Perempuan Internasional telah membuka dimensi global yang baru bagi perempuan di negara maju dan berkembang.
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional tahun 2025. Organisasi profesi Jurnalis Independen Bersatu mengadakan dialog secara khusus bersama Dr. Ida Rohayani S.Pd, M.Pd. Seorang ahli dibidang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, aktif sebagai akademisi atau dosen Pendidikan Pancasila di Telkom University Bandung.
Narasumber ulama dari kalangan perempuan yang dikenal sebagai pejuang kesetaraan gender dan aktif di Divisi Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, Dr. Nyai. Hj. Umnia Labibah S.Th.i, M.Si
Serta Ketua Nawaning Jam’iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighoh / JPPPM Nusantara, Ning Fetra Nurhikmah, S.Psi, M.Pd yang juga aktif sebagai kordinator bidang ekonomi di Pengurus Wilayah (PW) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Semua narasumber telah membahas tentang “Arah Perjuangan Kaum Perempuan & Konsep Women’s Empowerment” melalui interaktif jarak jauh atau online.
Winsati Melida, Wartawati Media Cetak dan Online Koran SINAR PAGI sebagai Kordinator Divisi Advokasi Pusat Pengembangan Relasi Media Massa Organisasi Profesi Jurnalis Independen Bersatu menyampaikan dari hasil berbagai dialog bersama narasumber ada 9 kesimpulan.
Pertama pemerintah di Indonesia memiliki kepeduliaan khusus kepada kaum perempuan dengan menghadirkan kebijakan atau aturan yang mendukung dan melindungi kaum perempuan. Seperti contohnya upaya afirmatif dari pemerintah yaitu dengan pemberian kuota 30% bagi kaum perempuan untuk berkiprah di politik sejak Pileg pertama tahun 1999. Serta adanya undang-undang yang khusus untuk melindungi kaum perempuan dalam rumah tangganya.
Kedua pemerintah diharapkan dapat peduli melalui fasilitas umum atau sarana publik dengan memberikan fasilitas khusus untuk perempuan. Seperti transportasi, tempat ibadah hingga pembalut dan obat penahan sakit saat datang bulan atau menstruasi. Serta ketika mengahadapi bencana ada yang melayani khusus kebutuhan dari kelompok perempuannya.
Ketiga di negara maju sudah banyak organisasi masyarakat yang dipimpin oleh kaum perempuan dan mereka diajak menjadi mitra kerja pemerintah untuk agenda pembangunan daerahnya.
Keempat perempuan berharap dalam menjalani kehidupan keluarganya saling melengkapi berbasis kesepakatan atau musyawarah untuk keputusan jangka panjang, bukan saling mendominasi.
Kelima perihal upah buruh perempuan yang lebih murah, sudah semestinya tidak membeda-bedakan perihal upah kerja antara laki-laki dan perempuan. Sebab antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama ketika menjadi pekerja.
Keenam berharap semakin banyak tokoh masyarakat atau nasional yang peduli dengan mengedukasi perempuan dari segi mental, keahlian atau kemampuan advokasi untuk dirinya.
Ketujuh bagi perempuan perjuangan mereka untuk meraih cita-citanya terkadang lebih sulit dan berat, karena juga harus berhadapan dengan kultur masyarakat yang masih patriarki. Maka harus ada keyakinan bahwa untuk mencapai kehidupan yang bermakna / baik (Hayatan Thayyibah) manusia harus terus mengupayakan hal-hal baik dalam hidupnya.
Kedelapan perempuan hari ini masih mempunyai banyak tantangan dan persoalan. Di antaranya masih sering dijumpainya kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, hingga persoalan rendahnya kemandirian perempuan. Masih dominan juga perempuan yang rendah pendidikanya, minim pemahaman literasinya atau mudah sekali mengalami eksploitasi. Serta tidak memiliki daya untuk memperjuangkan hak-haknya. Itulah yang sampai hari ini harus terus diupayakan, agar bagaimana perempuan lebih mandiri dan terdidik, sehingga lebih berdaya.
Kesembilan sebagai seorang istri atau ibu bagi anak-anaknya. Sudah semestinya jika memiliki waktu luang dapat ikut berupaya membantu suami dalam bidang ekonominya dengan profesi yang dijalaninya untuk kesejahteraan keluargnya atau keberlangsungan jenjang pendidikan bagi anak-anaknya. Namun sebagai kaum perempuan harus tetap memprioritaskan fitrahnya atau jati dirinya. Mereka harus tetap memfungsikan rahimnya untuk hamil, payudaranya untuk menyusui dan fokus merawat anak-anaknya. Serta berupaya maksimal menjalankan tugasnya “Al-ummu madrasatul ula” yang artinya “ibu adalah sekolah pertama dan utama”
Dari berbagai kesimpulan itu, perjuangan kaum perempuan di Indonesia terpengaruhi oleh arah perjuangan yang bersumber dari mayoritas agama di Indonesia. Warisan budaya nusantara dan perjuangan global atau yang muncul dari berbagai negara lain. Serta pengaruh warga pendatang dari Timur dan Barat yang berkunjung atau menetap di Indonesia.
Winsati Melida, wartawati yang memiliki rutinitas jurnalistik dibidang hukum, mengingatkan agar kaum perempuan pandai mengelola emosi dalam dirinya. Jangan sampai melanggar hukum negara yang nantinya akan berujung pidana atau terjerat hukuman di Dunia. Serta jangan melanggar syariat agama yang nantinya akan menjadi dosa dan siksa di Akhiratnya.
Media Cetak Diprediksi Lebih Menyehatkan Akal Pikiran Dibandingkan Media Sosial