Oleh: Heni Ruslaeni
Sejumlah kepala sekolah di Kabupaten Bandung mengeluhkan dugaan pemaksaan pembelian whiteboard atau papan informasi dengan harga yang jauh lebih mahal dibanding harga pasaran. Harga satu unit whiteboard berukuran 100 cm x 120 cm mencapai Rp1,3 juta, sedangkan di pasaran hanya sekitar Rp400-500 ribu. Skema distribusinya diduga mewajibkan sekolah membeli berdasarkan jumlah siswa, yang semakin menambah beban sekolah.
Hingga saat ini, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan ini. DPRD Kabupaten Bandung menyatakan masih mengumpulkan informasi untuk memverifikasi laporan tersebut dan akan meminta klarifikasi jika terbukti valid.
Laporan menyebutkan bahwa sekolah-sekolah di Kabupaten Bandung merasa terpaksa membeli whiteboard dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga pasaran. Pemaksaan ini diduga berasal dari pihak tertentu yang memiliki kewenangan dalam distribusi barang sekolah. Jika benar ada unsur pemaksaan, maka ini bisa dikategorikan sebagai bentuk abuse of power atau penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan anggaran pendidikan serta di anggap sebagai pungutan liar (pungli) atau korupsi. Oleh karena itu, diperlukan audit independen dan pengawasan lebih ketat terhadap pengadaan barang di sekolah. DPRD dan aparat penegak hukum perlu segera bertindak untuk memastikan transparasi dan akuntabilitas dalam sistem pendidikan daerah.
Pengadaan barang di sekolah saat ini masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Jika tidak ada perbaikan dalam mekanisme transparansi, pengawasan dan audit, kasus serupa bisa yerus terjadi di masa depan. Pemerintah DPRD perlu turun tangan untuk menegakan regulasi yang lebih ketat dalam pengelolaan dana pendidikan.
Faktanya, dalam sistem pendidikan saat ini, masih banyak kasus di mana sekolah-sekolah mengalami tekanan dalam pengadaan sarana dan prasarana (sarpras), termasuk kasus penjualan whiteboard secara paksa yang dikeluhkan oleh kepala sekolah di Kabupaten Bandung. Hal ini menunjukkan adanya praktik kapitalistik dalam dunia pendidikan, di mana barang atau layanan yang seharusnya difasilitasi oleh negara justru menjadi ladang bisnis bagi pihak tertentu.
Dalam sistem sekuler-kapitalis, negara lebih berperan sebagai regulator dan bukan penyedia utama layanan pendidikan secara gratis dan berkualitas. Banyak sekolah, terutama yang berada di bawah naungan pemerintah, masih harus mencari pendanaan sendiri atau bahkan dibebani dengan kewajiban membeli barang/jasa tertentu dari pihak tertentu dengan harga yang tidak wajar. Selama sistem kapitalis masih diterapkan,pendidikan akan terus menjadi bisnis dan tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Sebaliknya, dalam sistem Islam, pendidikan adalah hak dasar masyarakat yang wajib difasilitasi oleh negara tanpa pembebanan biaya kepada sekolah atau individu. Pendanaan pendidikan dalam sistem Islam tidak bergantung pada pungutan dari rakyat tetapi berasal dari sumber-sumber seperti pengelolaan kekayaan alam oleh negara, fai, kharaj, jizyah, dan lainnya yang penggunaannya diperuntukkan bagi kepentingan umum, termasuk pendidikan.
Tanpa sistem yang adil dan berpihak kepada rakyat, kasus-kasus seperti penjualan paksa whiteboard dan berbagai praktik komersialisasi pendidikan akan terus terjadi. Solusi mendasarnya adalah penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah, di mana negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat tanpa membebani sekolah atau individu dengan praktik-praktik kapitalistik. Wallahu a’lam bish-shawab