Penulis: Pontjo Sutowo (Ketua Aliansi Kebangsaan)
Pada tanggal 2-3 Februari 2025, Aliansi Kebangsaan melaksanakan Rapat Kerja untuk merumuskan Rencana Kerja Organisasi tahun 2025 dengan tema “Penguatan Nalar Bernegara dan Rasa Kebangsaan”. Tema ini diangkat, didasari oleh keprihatinan Aliansi Kebangsaan atas berbagai fenomena kebangsaan yang terjadi belakangan ini yang mengindikasikan bahwa nalar bernegara dan rasa kebangsaan yaitu konstruksi berpikir bangsa Indonesia yang seharusnya berdasarkan paradigma nasional: Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Wawasan Nusantara, sedang bermasalah bahkan sudah jauh dari “cita (konsepsi) Negara Indonesia” yang hendak dibangun oleh para pendiri bangsa.
Setiap bangsa memiliki suatu konsepsi (ide, cita) mengenai hakikat yang paling dalam dari negara (Staatsidee) serta konsepsi mengenai hakikat yang paling dalam dari tatanan hukum negara (Rechtsidee). Konsepsi kenegaraan dan hukum setiap negara bangsa tentu memiliki kekhasannya masing-masing sesuai dengan latar kesejarahan, kondisi sosial-budaya, serta karakteristik bangsa yang bersangkutan. Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan dan kemajemukannya.
Di atas segala kebesaran, keluasan dan kemajemukan itulah, bangsa Indonesia merumuskan konsepsi tentang dasar negara yang dapat meletakkan segenap elemen bangsa di atas suatu landasan yang statis (“meja statis”), sekaligus dapat memberi tuntunan yang dinamis (bintang penuntun). Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan tersebut dengan melahirkan konsepsi negara persatuan (kekeluargaan) yang berwatak gotong-royong, bukan negara perseorangan seperti dalam konsepsi liberalisme-kapitalisme atau negara golongan (kelas) seperti konsepsi komunisme.
Dengan semangat kekeluargaan itu, konsepsi tentang dasar (filsafat) negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama sebagai “titik temu” (yang mempersatukan keragaman bangsa), “titik tumpu” (yang mendasari ideologi dan norma negara), serta “titik tuju” (yang memberi orientasi kenegaraan-kebangsaan) negara- bangsa Indonesia. Kelima prinsip utama atau nilai dasar yang kemudian disebut dengan Pancasila itu adalah: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun sayangnya, Pancasila yang merupakan “konsensus moral” bangsa Indonesia dan kita yakini mampu berfungsi sebagai pemersatu, pembentuk identitas bangsa, tumpuan yang kokoh bagi bangunan ke-Indonesia-an, pemberi arah dan tuntunan, mengatasi berbagai konflik dan ketegangan sosial, serta penangkal segala macam bentuk ancaman, belum sepenuhnya menjadi rujukan utama dan menjelma ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila juga belum sungguh-sungguh didalami dan dikembangkan menjadi “ideologi kerja (working ideology)” dalam praksis pembangunan yang memandu kebijakan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan. Dengan kata lain, ideologi Pancasila itu belum dijadikan sebagai kerangka paradigmatik dalam pembangunan nasional. Karenanya, hari ini kita masih menghadapi berbagai problematik nalar bernegara dan rasa kebangsaan yang melemahkan ke-Indonesiaan kita. Problematik nalar bernegara merujuk pada situasi dimana logika di balik eksistensi, fungsi, dan penyelenggaraan negara kerapkali diabaikan. Sementara problematik rasa kebangsaan merujuk pada situasi semakin pudarnya kesadaran dan perasaan sebagai bagian dari suatu komunitas sosio-kultural dan sosio-politis bernama Indonesia.
Dengan penghayatan yang jernih terhadap konsepsi tentang dasar (filsafat) Negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa sebagaimana diuraikan di atas, dan melalui diskusi yang cukup dalam, maka dalam Rapat Kerja Aliansi Kebangsaan tahun ini dihasilkan antara lain hal-hal sebagai berikut:
1. Rencana Kerja Aliansi Kebangsaan yang berisikan berbagai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada Tahun 2025 mencakup “Tiga Ranah Pembangunan Peradaban”, yaitu: Ranah Tata Nilai, Ranah Tata Kelola, dan Ranah Tata Sejahtera. Berbagai program dan kegiatan tersebut dirancang untuk mengembangkan, memperdalam, dan mensosialisasikan pemikiran, penalaran, pemahaman, serta gagasan tentang Pancasila sebagai ideologi kerja (working ideology) sebagai ikhtiar Aliansi Kebangsaan untuk ambil peran dalam menjawab berbagai problematik dan tantangan kebangsaan utamanya penguatan nalar bernegara dan rasa kebangsaan yang saat ini dirasakan sedang bermasalah.
2. Mendalami berbagai fenomena/isu strategis yang mengemuka dan berpotensi menyebabkan terjadinya problematika kebangsaan dan kenegaraan kita, antara lain adalah:
a. Pertama, Hukum sebagai Alat Kekuasaan.
Dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara sudah seharusnya hukum ditujukan untuk melindungi hak-hak warga negara dan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Hukum dilaksanakan dengan menjaga prinsip-prinsip hukum yang jelas dan transparan. Oleh karena itu, fungsi hukum harus dikembalikan dan dijaga sebagai instrumen untuk membatasi kekuasaan dan bukannya digunakan sebagai alat kekuasaan. Sistem hukum nasional harus dikembalikan pada nalar bernegara yang semestinya sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
b. Kedua, Lemahnya Etika Penyelenggara Negara.
Persoalan etika dalam penyelenggaraan bernegara sedang berada pada titik nadir. Apabila masalah etika tidak segera direspons dengan baik dan bijak, maka dampaknya akan merambat ke semua aspek di berbagai bidang, terutama: (a) terjadinya penyalahgunaan kekuasaan; (b) semakin mewabahnya korupsi; dan (c) semakin pudarnya kepercayaan (trust) rakyat kepada penyelenggara negara. Aliansi Kebangsaan memandang pentingnya diambil langkah sistemik untuk membangun kembali etika aparatur negara, memperkuat meritokrasi dan menumbuhkan kultur melayani rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
c. Ketiga, Politik Luar Negeri tidak Mengutamakan Kepentingan
Nasional dan Menjauh dari Doktrin Politik Luar Negeri Bebas Aktif. Dalam menghadapi perkembangan geopolitik global yang kompleks, Indonesia perlu mengutamakan kepentingan nasional dengan tetap berpegang pada politik luar negeri yang bebas dan aktif. Hal ini sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945, khususnya Alenia 1 bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” dan Alenia 4, yang menyebutkan “…..ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”. Dengan secara konsisten menerapkan doktrin politik luar negeri bebas aktif dan mengutamakan kepentingan nasional, Indonesia dapat mempertahankan kemandirian dan kedaulatannya dalam geopolitik internasional dan kawasan. Pada saat yang sama, politik luar negeri yang bebas dan aktif memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan dan menjalin hubungan dengan berbagai negara dan kelompok kepentingan tanpa harus terikat oleh ikatan ideologi atau kepentingan satu negara tertentu.
d. Keempat, Penaklukan Dunia Akademis dan Merosotnya sikap Kritis Masyarakat Ilmiah.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan bagaimana dunia akademis telah ditaklukkan oleh berbagai kepentingan yang tidak selalu sejalan dengan sikap profesionalisme dalam menjaga nilai-nilai ilmiah akademis dan bahkan tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Hal ini telah menyebabkan menurunnya nalar kritis masyarakat ilmiah dan melemahnya kemampuan untuk melakukan analisis yang objektif dan kritis. Oleh karena itu kebebasan akademis untuk belajar, mengajar, meneliti serta kebebasan untuk mengemukakan pendapat keilmuan harus selalu dijaga dan dirawat untuk menjaga marwah dunia akademis dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
e. Kelima, Keserakahan dan Kerakusan melahirkan Kesenjangan dan Merusak Simpul-Simpul Pengikat Kebangsaan Indonesia.
Keserakahan dan kerakusan telah menimbulkan berbagai implikasi yang luas. Keserakahan dan kerakusan mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi baik yang disebabkan karena adanya kegiatan pemburu rente, penggelembungan biaya, penyelewengan anggaran, korupsi, maupun malpraktik pembangunan lainnya. Keserakahan dan kerakusan juga memantik terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Keserakahan dan kerakusan pada akhirnya menciptakan kesenjangan antara si kaya dengan si miskin, menyebabkan kemiskinan, serta semakin memperburuk ketimpangan sehingga peningkatan kesejahteraan tidak dirasakan rakyat secara berkeadilan. Kondisi ini dapat menyebabkan rusaknya simpul- simpul pengikat kebangsaan yang muncul dalam bentuk ketimpangan antar wilayah, antar kelompok sosial, maupun antar golongan ekonomi.
f. Keenam, Merosotnya Wibawa Aparatur Negara di bawah Kendali Oligarki.
Oligarki merupakan segelintir elite ekonomi yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar dalam pengambilan keputusan publik baik di bidang politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lainnya untuk menghimpun dan mempertahankan kemakmuran mereka sendiri (wealth defense). Kendali oligarki terhadap aparatur negara merupakan hal yang memprihatinkan dan menyebabkan malpraktik pembangunan. Sekelompok kecil elite politik dan bisnis telah memonopoli kekuasaan dan sumber daya alam. Tata Kelola yang bersifat ekstraktif para oligark dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi, yaitu semakin memburuknya tingkat kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat. Selain itu, oligarki juga telah merusak tatanan sistem
demokrasi di Indonesia. Dengan oligarki sebagai pengendali partai-partai politik maka proses konsolidasi demokrasi semakin jauh dari harapan. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan sesuai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 mempunyai posisi tawar yang lemah dalam proses demokrasi terutama dalam pemilu. Rakyat mempunyai posisi yang lemah dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan kepentingan mereka.
g. Ketujuh, Melemahnya Kewaspadaan Nasional Berkembangnya sikap abai (ignorance), ketidakpedulian, bahkan apatis di sebagian besar masyarakat kita terhadap perkembangan lingkungan strategis yang terjadi, mengindikasikan menurunnya kesadaran kolektif bangsa Indonesia akan pentingnya “Kewaspadaan Nasional” yaitu kualitas kesiapsiagaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk mendeteksi, mengantisipasi sejak dini dan melakukan aksi pencegahan terhadap berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI. Dari beberapa kajian, rendahnya tingkat pendidikan memiliki dampak signifikan terhadap kewaspadaan nasional. Rata-rata tingkat pendidikan warganegara kita dewasa ini hanyalah setingkat pelajar kelas 3 SMP ( 9 tahun pendidikan formal). Berarti ada problem pendidikan yang berkontribusi terhadap tingkat kewaspadaan nasional kita.
Kewaspadaan kolektif bangsa Indonesia sangat diperlukan agar bangsa ini tetap survive di tengah-tengah dinamika global yang begitu cepat dan seringkali terjadi tiba-tiba tanpa terduga sebelumnya, disrupsi teknologi, serta berkembangnya konsep perang modern dewasa ini yang menyebabkan spektrum ancaman menjadi semakin luas. Ancaman terhadap sebuah Negara dewasa ini sudah merambah pada semua aspek kehidupan yang menyentuh ranah geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan nasional. Ancaman yang dihadapi, tidak lagi ancaman tradisional belaka, tetapi sudah non tradisional, tidak lagi yang simetris semata, tetapi juga pada tingkat asimetris. Agar bangsa ini mampu menghadapi segala bentuk ancaman tersebut, sudah seharusnya setiap perkembangan kita cermati, antisipasi, dan hadapi dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadaan.
Sebagaimana selalu diingatkan oleh tokoh pertahanan Almarhum Jenderal TNI (Pur) Widjojo Soejono, kita tidak boleh abai (ignorance) apalagi kehilangan kewaspadaan (alertness) karena sesungguhnya “Kewaspadaan adalah harga sebuah Kemerdekaan”. George Ritzerz dalam bukunya “The Globalization of Nothing” juga mengingatkan kita bahwa globalisasi terutama globalisasi budaya sangat berbahaya karena dapat menghilangkan identitas seseorang atau suatu bangsa.
h. Kedelapan, Pelanggaran Serius Kaidah Agraria dalam Kasus Pemagaran Laut.
Kasus pemagaran laut yang kini sedang marak diperdebatkan secara luas merupakan isu penting yang harus direspons secara serius oleh pemerintah. Kasus ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap kaidah agraria yang menempatkan laut itu sebagai domain publik kemudian dirubah menjadi domain privat dengan memberikan hak-hak khusus kepada individu ataupun korporasi tertentu. Tentu kasus ini sangat mencederai “nalar bernegara dan rasa kebangsaan” segenap bangsa Indonesia karena Laut menurut amanat Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber daya alam yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan individu, kelompok, ataupun golongan. Oleh karena itu, kasus ini harus diselesaikan dengan memperhatikan UUD 1945 dan berbagai peraturan perundangan terkait lainnya serta mengutamakan kepentingan nasional.
i. Kesembilan, Problem Etik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Akhir-akhir ini persolaan etik muncul kembali menjadi perdebatan publik karena ditengarai bahwa etika kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya berbagai krisis. Banyak problem etik yang menimpa pejabat dan proses pengambilan keputusan di Negara ini. Dengan meluluhnya dimensi etik, Indonesia sebagai bangsa majemuk kehilangan basis dan simpul rasa saling percaya. Tanpa basis integritas, cita persatuan menjelma jadi perseteruan. Oleh karena itu berbagai upaya untuk penguatan etik kehidupan berbangsa dan bernegara sangat diperlukan. Mencermati berbagai fenomena dan persoalan-persoalan serius di atas, Aliansi Kebangsaan berpendapat bahwa:
1. Berbagai fenomena tersebut, bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, akan tetapi kegagalan sistemik utamanya terkait dengan nalar bernegara dan rasa kebangsaan. Kegagalan sistemik yang terjadi sudah jauh dari “cita (konsepsi) Negara Indonesia” berdasarkan Pancasila yang hendak dibangun oleh para pendiri bangsa. Oleh karena itulah, Aliansi Kebangsaan menawarkan untuk “Kembali kepada Fitrah Cita Negara Pancasila”.
2. Perlu segera dilakukan langkah-langkah perbaikan sistemik untuk mengatasi problematik nalar bernegara dan rasa kebangsaan yang berkembang saat ini.
3. Indonesia berada di “Pusat Gravitasi dan Kawasan Masa Depan Dunia”, di mana pertumbuhan dunia, permasalahan dunia, bahkan kejahatan dunia, akan pindah ke kawasan ini. Satu fakta lainnya yang tidak bisa dihindari, bahwa Indonesia berada dalam kawasan yang menjadi ajang kontestasi dominasi (hegemoni) dua kekuatan besar dunia yaitu Amerika Serikat dan China. Mereka terus berusaha meningkatkan hegemoninya di kawasan Indo-Pasifik yang dipandang sebagai pusat pertumbuhan dunia. Oleh karena itu, segenap bangsa Indonesia tidak boleh bersikap masa bodoh, abai, apalagi kehilangan kewaspadaan (alertness) terhadap perkembangan lingkungan strategis serta setiap kemungkinan ancaman yang dihadapi bangsa dan Negara. Untuk itu, upaya membangun dan meningkatkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia akan pentingnya kewaspadaan nasional perlu dilembagakan ke dalam “Sistem Keamanan Nasional” yang komprehensif dengan membentuk “Dewan Keamanan Nasional”. Tata kelola keamanan nasional kita dewasa ini, dirasa masih banyak kelemahan dalam upaya membangun kewaspadaan nasional.
4. Sistem Pendidikan Nasional kita saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2003 lebih menekankan pada kompetensi global, namun sangat lemah dalam pendidikan karakter sosial budaya dan karakter Kebangsaan. Oleh karena itu, mendesak kebutuhan akan revisi undang-undang Sisdiknas kita sehingga memungkinkan penekanan pendidikan karakter dan pendidikan kebangsaan dimulai sejak Paud sampai SMA.
Berbagai fenomena yang mengindikasikan problematik nalar bernegara dan rasa kebangsaan yang sudah jauh dari “konsepsi/cita” negara, sangat merugikan perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaannya termasuk mewujudkan visi “Indonesia Emas” pada tahun 2045, bahkan bisa mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara yang kita cintai. Oleh karena itu, Aliansi Kebangsaan sebagai “minoritas kreatif (creative minority)” mendesak Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah sistemik yang diperlukan guna memperkuat “nalar bernegara dan rasa kebangsaan” sesuai dengan cita (konsepsi) Negara yang dikehendaki dengan melibatkan partisipasi seluruh rakyat Indonesia. Partisipasi masyarakat dalam upaya ini sangatlah penting guna menjamin “rasa memiliki (ownership)” dan membentuk “sense of citizenship” yang sangat diperlukan dalam proses pembangunan. Partisipasi juga merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowerment) dalam rangka membangun rasa tanggung jawab masyarakat.
Mudah-mudahan apa yang Aliansi Kebangsaan lakukan dan perjuangkan ini, dapat berkontribusi dalam mengawal konsepsi (cita) negara yang ingin diwujudkan oleh para pendiri bangsa untuk mencapai cita-cita “Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur” berdasarkan Pancasila.
Wanita Ulama Banyumas Ungkapkan Fundamental Pengendalian Diri Menjelang Masa Panen Umat Islam