Sabtu, Februari 8, 2025

Urgensi Kepemimpinan Islam Terkait Kenaikan Pajak

Oleh : Nia Umma Zhafran (Aktivis Muslimah)

Gelombang penolakan kenaikan PPN menjadi 12% per 1 januari 2025 pun terus berlanjut hingga saat ini. Dari rakyat biasa, mahasiswa hingga influencer menyuarakan penolakan. Dilansir dari Kontan.co.id (30/12/2024), terpantau banyak aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, bahwa kebijakan PPN 12% hanya akan dikenakan khusus untuk barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN. Fakta dilapangan harga-harga barang lain tetap naik. Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, agen wisata dan lainnya. Hal ini bisa terjadi karena ketidakjelasan di awal akan barang yang akan terkena PPN 12%, sehingga penjual memasukkan PPN 12% pada semua jenis barang ketika harga sudah naik.

Tak bisa dikoreksi meski aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja. Sementara negara tampak berusaha untuk cuci tangan dengan didukung media partisan, bagaimana PPN yang diperuntukkan untuk barang mewah.

Pemerintah mengklaim program bantuan tersebut untuk meringankan hidup rakyat. Tampak sekali negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak kepada rakyat. Namun sejatinya, abai terhadap penderitaan rakyat. Padahal sudah maklum diketahui kenaikan pajak pasti akan membuat ekonomi rakyat tertekan. Bantuan-bantuan pemerintah hanya bersifat pragmatis yang sama sekali tidak menghilangkan beban masyarakat.

Kebijakan yang ada menunjukkan profil penguasa yang populis otoriter. Seperti inilah profil pemimpin dalam sistem Kapitalisme. Kapitalisme membuat negara menjadi pebisnis untuk rakyat. Konsep kepemimpinan ini menghasilkan penguasa krisis empati dan kasih sayang kepada rakyat. Mereka tega mengeluarkan kebijakan yang menambah penderitaan rakyat.

Sistem Kapitalisme telah nyata membuat masyarakat hidup dalam kesengsaraan dan jauh dari kata sejahtera. Realitas kehidupan seperti ini menuntut adanya sebuah perubahan atas profil penguasa yang salih sebagai pemimpin. Tentu saja bukan pemimpin yang dicitrakan baik dan mengurus rakyat layaknya sistem Kapitalisme hari ini.

Profil penguasa yang akan mampu mengemban amanah sebagai raa’in (pengurus) rakyat seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Sehingga kepemimpinan dalam sistem Islam. Akan membawa kerahmatan untuk rakyat. Syekh Taqiyuddin an Nabhani seorang ulama pendiri islam ideologis dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyah jilid 2 pada bab “Tanggung Jawab Umum” menjelaskan bagaimana tanggung jawab seorang pemimpin terhadap dirinya sendiri dan rakyat agar menjadi sosok pemimpin yang salih.

Tanggung jawab penguasa yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dipenuhi dalam diri seorang penguasa. Dia harus memiliki ketakwaan, kekuatan, kelemahlembutan terhadap rakyat dan tidak menimbulkan antipati. Maksud dari kekuatan yang harus dimiliki penguasa adalah kekuatan kepribadian Islam (Syakhshiyyab Islamiyah) yakni pola pikir (aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang dipengaruhi oleh Islam. Kekuatan ini akan melahirkan seorang pemimpin yang memiliki kekuatan akal yang mumpuni, juga sikap kejiwaan yang tinggi yaitu sabar, tidak emosional ataupun tergesa-gesa dalam membuat kebijakan.

Dengan demikian ketika dia membuat kebijakan, dia akan fokus pada kemaslahatan yang mampu menyejahterakan rakyat. Sikap yang juga harus dimiliki seorang penguasa adalah ketakwaan. Kekuatan kepribadian Islam yang dibalut dengan ketakwaan membuat pemimpin selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Penguasa seperti ini cenderung untuk taat pada aturan Allah SWT.

Semisal terkait pajak, pemimpin dalam Islam akan mengikuti aturan Islam. Pemimpin hanya diperbolehkan memungut pajak (dharibah) pada kondisi tertentu yang sifatnya temporer sebagaimana yang telah ditentukan oleh syariat.

Kesadaran pemimpin dalam melayani rakyat atas dasar dorongan keimanan membuat penguasa akan bersikap lembut terhadap rakyatnya. Dia tidak akan bersikap antipati pada rakyat dan tidak membuat rakyat menderita sebagaimana pemimpin Kapitalisme hari ini. Apalagi syariat Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan aturan Islam saja.

Allah mengancam penguasa yang melanggar aturan Allah SWT dan berhukum selain hukum Allah dengan sebutan sebagai orang-orang kafir (lihat TQS. Al Maidah ayat 44), sebagai orang-orang fasik (TQS. al Maidah ayat 45) dan sebagai orang-orang dzalim (TQS. al Maidah ayat 47). Dengan profil pemimpin seperti ini dia akan dicintai rakyatnya dan dia pun mencintai rakyatnya. Beginilah sosok pemimpin yang lahir dalam sistem Islam, negara Khilafah. Bukankah pemimpin seperti ini yang diinginkan oleh rakyat?

WalLaahu a’lam

Related Articles

Media Sosial

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Berita Terbaru