Oleh : Sri M Awaliyah (Guru SD di Kab. Bandung)
Perkumpulan mahasiswa hingga K-Popers bakal turun ke jalan menyuarakan aksi mereka menolak kenaikan PPN 12% yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2025. Massa aksi mulai dari mahasiswa, akademisi, pecinta anime jepang (wibu) hingga penggemar KPop atau budaya Korea akan berdemo didepan istana. Sebelumnya diberitakan, pemerintah resmi menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025 sesuai UU nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).(kompas.com)
Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak yang mati. Begitulah gambaran wacana pemerintah yang akan menaikkan Pajak Perambahan Nilai (PPN). Pasalnya, hari ini ramai perbincangan di media sosial mengenai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Tidak sedikit pro kontra muncul atas hal tersebut. Di kala ekonomi rakyat sudah ngos-ngosan, kenaikan PHK, sulitnya mencari pekerjaan. Maka, kenaikan PPN ini jelas dapat menambah beban rakyat. Tetapi, di pihak pemerintah sendiri, memang sedang membutuhkan pemasukan kas negara. Lantas, apakah dengan kenaikan PPN dan pemberian tax amnesty jilid dua mampu menjawab kebutuhan pemasukan yang diinginkan pemerintah? Apakah ini adalah kebijakan yang memihak rakyat atau justru memihak para kapitalis? Tentunya ini menjadi pertanyaan besar dan inilah yang menjadi polemik rencana kebijakan tersebut.
Apabila kita menganalisis , maka akan ditemui beberapa hal. Pertama, inilah bukti kegagalan kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan. Karena, tidak dipungkiri, kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Kedua, ini bentuk ketidakadilan nyata yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Rakyatnya dicekik dengan rencana kenaikan pajak PPN, tetapi di sisi lain, para kapitalis diberi diskon pajak yang seharusnya mereka bayar.
Ketiga, ini bentuk kepandiran pemerintah. Padahal, Indonesia negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Anehnya, mengapa rentetan pajak senantiasa dibebankan kepada rakyat. Seharusnya, dengan potensi SDA yang melimpah, negeri ini mampu mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga, tidak perlu utang kepada asing atau pun menarik pajak aneka rupa kepada rakyatnya.
Keempat, inilah kebijakan yang lahir dari mulkan jabariyan yaitu penguasa sombong yang diktator. Selama ini, umat Islam, ulama, para aktivis, tidak henti-hentinya menyeru penguasa untuk kembali kepada syariat Islam. Tetapi, karena kesombongannya, tawaran solusi yang diberikan para aktivis dakwah Islam tidak didengarkan. Terlebih, para aktivis dakwah Islam, banyak mendapatkan perlakuan tidak adil. Dari persekusi dakwah, hingga kriminalisasi.
Andai saja, pemerintah dan pemangku kebijakan mau mendengarkan nasihat dan tawaran solusi Islam. Niscaya, negeri ini memiliki pengaturan ekonomi yang kuat. Sehingga, tidak perlu utang kepada asing yang berbunga tinggi dan tidak perlu menarik pajak ini dan itu. Karena sistem Islam, memiliki sumber pemasukan negara yang kuat dan tidak menzalimi rakyatnya.
Wallahu a’lam bishowwab