Oleh : Sri M Awaliyah (Guru SD di Kab. Bandung)
Penunjukkan sejumlah politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai komisaris di perusahaan perusahaan pelat merah dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan. Penempatan jabatan di sejumlah badan usaha milik negra (BUMN) yang tidak didasarkan pada profesionalisme dan kompetensi yang memadai diyakini akan mempengaruhi tata kelola perusahaan, merusak budaya profesionalitas, dan menimbulkan spekulasi bisnis yang negatif. Pandangan itu disampaikan Deputi Sekretaris Jenderal TraKoordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan fenomenar “balas budi” terhadap partai politik atau aktor di parpol yang memberi dukungan kemenangan sudah lama terjadi, terutama pasca pemilu. Seharusnya, dengan organisasi yang semakin “modern,” perlu diterapkan merit system, yaitu penempatan seseorang di jabatan publik, termasuk di BUMN, berdasarkan kompetensi mereka melalui proses seleksi terbuka. (https://www.voaindonesia.com)
Pendukung presiden terpilih ditunjuk menjadi komisaris BUMN walaupun tidak memiliki kompetensi yang memadai adalah hal yang biasa terjadi dalam polotik demokrasi. Jabatan komisaris adalah jabatan yang menggiurkan karena lahannya yang basah, honorarium komisaris BUMN bias mencakup tunjangan, fasilitas, insentif kinerja/khusus dan insentif jangka panjang. Parahnya pendukung presiden memang kerap dipilih menjadi komisaris, seolah olah BUMN milik negara yang bias dinikmati oleh rezim yang berkuasa dan pendukung-pendukungnya. Seperti kue yang di bagi-bagi untuk merayakan kemenangan. Demokrasi hidup bersama kapitalisme yang menekankan hidup individualis, mementingkan kepentingan para capital, sedangkan politik dilakukan untuk mengejar kepentingan individu dan ujung-ujungnya rakyat makin menderita dan terabaikan.
Sudah sangat jelas terlihat dan kita saksikan bersama bahwa bagi-bagi kursi komisaris dan transaksi politik lainnya dalam sistem demokrasi kapitalis yang menjadi mabda negeri ini menyuburkan kecurangan dan pengkhianatan terhadap rakyat. Tidak bias berharap sama seklai kepada demokrasi karena memang dialah yang membuka lebar pintu pengkhianatan. Karena demokrasi telah dimenangkan oleh mereka yang mempunyai modal atau pengusaha bukan rakyat jelata.
Sedangkan dalam Islam kekuasaan adalah amanah dari Allah SWT, sehingga penguasa itu sudah seharusnya dengan sungguh-sungguh dan benar-benar menjaga amanahnya. Karena Allah akan menghisab amanah itu, maka setiap penguasa harusnya memiliki ketakwaan yang kuat sehingga mereka takut untuk sengaja melakukan kecurangan dan kezaliman kepada rakyatnya sendiri. Sangat besar pertanggungjawaban kepemimpinan di akhirat kelak membuat para penguasa sangat takut menyelewengkan kekuasaan, sehingga tidak kita jumpai dalam Islam praktik politik transaksional yang notabene selalu terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis.
Wallahu ‘alam Bishowwab