Oleh : Imas C Aslamia
ketika memasuki ahir bulan Juni atau awal bulan Juli bagi orang tua yang memiliki anak untuk melanjutkan sekolah baik dari tingkat SD ke SMP, dari SMP ke SMA, atau dari SMA ke perguruan tinggi, sungguh merepotkan.
Terlebih semenjak diberlakukannya sistem zonasi yang merupakan aturan PPDB berdasarkan wilayah tempat tinggalnya. Jika antara tempat tinggal dan sekolah jaraknya hanya beberapa meter saja maka berhak mendaftar disana, tetapi sebaliknya jika antara tempat tinggal dan sekolah jaraknya mencapai beberapa kilometer maka tidak berhak untuk mendaftar di sekolah tersebut, hal ini bardasarkan permendikbud no 14 tahun 2018 tentang regulasi baru PPDB.
Pemerintah berharap pemberlakuan sistem ini bisa menghilangkan stigma sekolah favorit, bisa memeratakan layanan pendidikan, memberikan kesempatan pada sekolah yg bukan favorit agar bisa berkualitas lebih unggul. karena sebelumnya kita ketahui bahwa di sekolah-sekolah baik itu SD, SMP, SMA terbentuk adanya stigma sekolah favorit, biasanya sekolah itu berada di kota.
Semua orang tua berharap anak-anaknya bisa di terima di sekolah favorit tersebut, demi mendapatkan pelajaran yang bagus, guru-guru yang berkualitas, sarana dan prasarana yang baik, itu semua di upayakan orang tua demi semata-mata untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Akibatnya peserta didik di sekolah favorit jadi membludak sementara sekolah-sekolah yang bukan favorit akhirnya ditinggalkan.
Setelah tujuh tahun sejak sistem ini diberlakukan, ditahun pertama saja banyak masalah-masalah yang ditimbulkan, yang lebih jadi penomena adalah banyaknya terjadi praktek kecurangan mulai dari pemalsuan KK, jual beli bangku sekolah, sogok menyogok ke pihak sekolah, dan mirisnya lagi aktivitas ini ahirnya dianggap menjadi hal yg lumrah di masyarakat .
Jelaslah sudah didalam sistem kapitalisme, solusi untuk pemerataan pendidikan yang diberikan masih meninggalkan banyak masalah.
Karena di dalam sistem kapitalisme negara fungsinya hanya sebagai regulator saja, yang justru memberikan seluas-luasnya kepada pihak swasta untuk berperan aktif dalam pendidikan dan negara justru berlepas tangan. SDA yang juga merupakan milik dari masyarakat di berikan juga seluas-luasnya pada swasta sehingga negara tidak memiliki lagi dana untuk menyediakan sarana dan prasarana yang berkualitas yang dampaknya masyarakat sendiri bisa merasakan ketika menginginkan pendidikan yang berkualitas dan bagus, kita harus mengeluarkan uang sendiri yang jumlahnya tidak sedikit, pendidikan jadi barang komoditas yang mahal harganya tidak semua masyarakat bisa mendapatkannya, karena dibenturkan dengan biaya yang sangat mahal.
Berbeda dengan Islam sebagai agama yang sempurna pasti bisa memberikan solusi dalam setiap permasalahan.
Pemimpin dalam Islam adalah pemelihara dan pengatur urusan umat, yang akan di mintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya.
Maka negara akan bertanggung jawab memberikan sarana dan prasarana yang bagus dalam pendidikan, akan menyiapkan guru-guru yang mumpuni dengan gaji yang pantastis kepada semua guru yang ada diseluruh wilayah sistem Islam, prasarana tersebut akan dibiayai oleh negara dan kurikulum yang digunakan berdasarkan pada akidah Islam sehingga bisa membentuk kepribadian sebagai hamba Allah yg beriman dan bertakwa.
Adapun anggaran negara itu didapatkan dari baetul mall dari pos-pos pa’i dan kharaj atau dari kepemilikan umum milik rakyat berupa sumber daya alam yang begitu melimpah yang dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Sehinga pendidikan yang merata akan terealisasi, semua bisa menikmati pendidikan yg berkualitas dan gratis baik untuk orang yang mampu maupun yang tidak mampu. bukan hanya dikota besar saja tapi merata di seluruh wilayah .
Maka hanya sistem Islam saja satu-satunya sistem yang menjadi mercusuar dunia. Saat nya kembali kepada sistem yang bersumber dari sang khalik.