Oleh: Yuni Irawati (Ibu Rumah Tangga)
Dari situs Kemenkes, dilihat dari detikjabar sebanyak 29 orang meninggal dunia akibat terserang kasus DBD. Sementara jumlah kematian mencapai 21 orang peringkat kedua di Kabupaten Jepara.
Sekarang tercatat di Kementerian kesehatan (Kemenkes) kasus angka kematian tertingi akibat demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia. Di Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang banyak jumlah kematiannya.
Memang telah menginstruksikan Dinkes Kabupaten Bandung untuk segera bergerak menangani kasus tersebut. Memang dibenarkan oleh
Bupati Bandung Dadang Supriatna adanya kematian akibat DBD dengan jumlah sebanyak 29 kematian.
Data kasus terbanyak DBD sementara tercatat sebanyak 3.468 di Kota Bandung. Kabupaten Tangerang ada di urutan kedua, Banten dengan 2.540 kasus dan Kota Bogor pada peringkat ketiga yakni 1.944 kasus.
Juga terdapat di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara dengan 1.659 kasus. Sementara di urutan kelima kasus DBD tertinggi merupakan Kabupaten Bandung Barat dengan 1.576 kasus.
Memang kebersihan menjadi faktor pemicu terciptanya wabah DBD. Makanya penting melakukan pencegahan harus dimulai sejak dini, agar tercipta lingkungan yang bersih dan sehat. Salah satu cara agar tidak merebaknya wabah DBD adalah dengan melakukan PSN 3M yaitu Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menguras tempat penampungan air, Menutup tempat penampungan air dan Mendaur ulang barang yang berpotensi menjadi sarang tempat berkembang biak nyamuk Aedes. Semua ini dilakukan tentu harus terpadu oleh keluarga, masyarakat dan negara.
Meskipun demikian ketika berbagai upaya telah dilakukan, dimulai dari fogging atau pengasapan dengan bahan insteksida untuk membunuh nyamuk DBD, hingga sosialisasi pentingnya PSN 3M. Wabah DBD faktanya masih kian meningkat. Kenapa bisa begitu?
Itu semua terjadi karena akar permasalahan DBD memang tidak bisa dilepaskan dari penetapan kebijakan yang kapitalistik. Contohnya, Kebijakan ekonomi yang kapitalistik, menjadikan rakyat kian miskin. Seluruh rakyat sulit mendapatkan kebutuhan dasarnya, termasuk rumah yang layak huni. Bagaimana mungkin rakyat bisa hidup layak, sehat, menjaga asupan makanan dan menjaga lingkungannya, jika terjadinya sistem perekonomian yang lemah?
Jangankan untuk membersihkan genangan air, akses untuk mendapatkan air bersih saja sulit. Terus ditambah kebijakan kesehatan yang kapitalistik, akses menjadikan kesehatan hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang tertentu. Sementara itu penderita DBD harus segera ditangani agar terhindar dari risiko kematian.
Sangat berbeda dengan sistem islam dalam naungan khilafah, dimana Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan yang mendasar yang wajib dipenuhi negara atas rakyatnya.
Di sistem Islam kebijakan kesehatan diarahkan agar terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Perencanaan dan tata kota ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi dan drainase. Hal tersebut sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, sebagai berikut:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ, نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ, كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ, جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ, فَنَظِّفُوا بُيُوْتَكُمْ وَ أَفْنِيَتَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُودِ
Sesungguhnya Allah Maha indah dan mencintai keindahan, Maha bersih dan mencintai kebersihan, Maha mulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
Hanya dengan sistem kesehatan Islamlah yang kuat dan tangguh, setiap warga negara menjadi bisa mengakses fasilitas kesehatan dengan gratis tanpa membedakan latar belakang pasien, termasuk pembiayaan pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai hingga ke pelosok negeri-negeri.
Sistem Islamlah yang benar-benar tulus dalam melayani kepentingan kesehatan masyarakat dengan mutu pelayanan yang terbaik.
Wallahu’allam bishawab