Oleh : Lili Guntur (Jurnalis)
Pada pertengahan 2023 sejumlah media online dan kanal youtube menayangkan berita tentang rencana DPR RI merevisi Undang-undang No 4/2014 tentang Desa. Hal tersebut dilakukan atas desakan sejumlah Kepala Desa yang tergabung dalam APDESI , untuk menguatkan sistem dan lembaga desa. Juga sebagai pekerjaan rumah DPR untuk bisa mengakomodasi semua masukan dan seluruh kepentingan dari para Kepala Desa. Karena dalam perjalanan ketatanegaraan, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat,maju, mandiri dan demokratis.
Maka melalui sidang paripurna, DPR akan menetapkan perubahan RUU Nomor 6/2014 tentang Desa. Salah satu agendanya adalah menetapkan perubahan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun per periode menjadi 9 tahun per periode (selama 2 kali masa jabatan ,yakni 18 tahun jika terpilih kembali). Dan salah satu poin yang menarik untuk dikritisi yakni naiknya anggaran Dana Desa.
Wacana tersebut sontak mengundang reaksi dari sejumlah kalangan. Tak terkecuali penulis mencoba mewawancarai sejumlah Kepala Desa untuk dimintai komentar dan tanggapannya.
Opini yang berhasil dihimpun cukup beragam. Namun ada satu hal yang kurang mengenakan, ketika penulis bertanya kepada salah seorang Kepala Desa tentang bagaimana tanggapannya perihal adanya wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun per periode menjadi 9 tahun? Sang Kepala Desa malah “nyorongot” dan balik bertanya: “Naon sababna bet nanya kitu? Keur saya mah teu penting rek 6 taun rek 9 taun,nu penting mah kapake ku masarakat!”
Poin yang ingin penulis sampaikan di sini adalah pentingnya menjaga etika dalam berbicara. Bukankah Nabi SAW dalam haditsnya yang soheh diriwayatkan oleh Iman Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah Rodialloohu ‘Anhu,beliau bersabda : Mankaana yu’minu billaahi wal yaumil aakhiri falyaqul khoiron auliyashmut (Siapa yang beriman kepada Alloh dan hari kiamat,maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam).
Disadari memang,menjalani profesi jurnalis atau wartawan di saat sekarang ini bagaikan berada di titik nadir. Konon profesi wartawan oleh sebagian (pejabat) kurang dihargai akibat banyaknya oknum wartawan yang di dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai kode etik jurnalistik.
Namun yang perlu diketahui ,Undang – undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999,Bab I,ayat 1 mengisyaratkan bahwa tugas peranan pers adalah membangun wacana,yakni sebagai media wahana komunikasi massa.
Dalam pasal 6 hurip “c” disebutkan bahwa peranan pers adalah mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,akurat dan benar.
Alhasil gawe wartawan adalah mengembangkan wacana dengan cara bertanya, atau wawancara! Itu adalah amanat undang-undang pers!
Maka pejabat tidak perlu alergi ketika didatangi wartawan! Wartawan bekerja manjalankan amanat undang-undang pers dan kode etik jurnalistik. Tidak perlu apriori ketika wartawan datang untuk melaksanakan konfirmasi atau minta wawancara. Pasal 6 Undang-undang nomor 40/1999 tentang Pers menyebut, peranan pers adalah ;
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Azasi Manusia,serta menghormati kebhinekaan
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,akurat dan benar
d. melakukan pengawasan,kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Semoga artikel ini bermanfaat!***
#penulis adalah Direktur Kantor Berita CLN,tinggal di Bandung