Oleh : Nia Umma Zhafran (Ibu Rumah Tangga)
Dorong kemandirian perekonomian pesantren, Bupati Bandung Dadang Supriatna meluncurkan program One Pesantren One Paranje (OPOP) (kandang ayam), di Pondok Pesantren Bustanul Wildan, Kecamatan Cileunyi, Kab. Bandung, Sabtu (17/6/2023).
Program ini juga disosialisasikan Kartu Wirausaha Bandung Bedas dari BPR Kerta Raharja Kab. Bandung, yang kedepannya akan ada dana bergulir Bandung Bedas PT. BPR Kerta Raharja, kepada para pelaku UMKM Binaan Pengurus Cabang Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PC RMI NU) Kab. Bandung yang bekerjasama dengan PT ASPM sebagai offtaker. (Balebandung.com)
Program One Pesantren One Product (OPOP) merupakan suatu program yang bertujuan untuk menciptakan kemandirian umat melalui para santri, masyarakat dan Pondok Pesantren itu sendiri, agar mampu mandiri secara ekonomi, sosial serta untuk memacu pengembangan skill, teknologi produksi, distribusi, pemasaran melalui sebuah pendekatan inovatif dan strategis dari Pemprov Jabar bersama Dinas KUKM Provinsi Jawa Barat, serta memastikan seluruh Pondok Pesantren di Jawa Barat dapat memperoleh akses atas program pemerintah dalam sektor pemberdayaan ekonomi, teknologi dan produksi yang efisien, tepat serta modern di era digital saat ini. (OPOP Jabar 2023)
Pemerintah berharap pengembangan ekonomi terus dilakukan, termasuk di kalangan santri. Apakah kebijakan ini tepat dalam memandirikan serta memajukan pesantren?
Pesantren bertujuan untuk membina kepribadian Islami, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Alloh SWT. Berakhlak mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada umat (khadim al-ummah). Pesantren merupakan aktor penting pelaku perubahan sesuai tuntunan syariat. Dalam mengusir penjajah di tanah kaum muslimin pun telah menjadi bagian hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (baca: QS. Al Hajj: 39-40).
Kini, kapitalisme membajak potensi santri sebagai penegak Islam. Program OPOP hanya akan berpotensi menyibukkan para santri dengan mencari uang, bukan menempa diri dengan ilmu dan dakwah yang seharusnya menjadi poros aktifitas Pesantren. Pesantren sungguh tidak layak “dibelokkan” menjadi pion penggerak roda ekonomi ini, sebagaimana kacamata kapitalisme dimana segala aspek harus berorientasi profit. Sejatinya, hal ini merampas potensi para santri sebagai calon penegak agama.
Semestinya dengan kelebihan yang mereka miliki yakni “tsaqafah Islam” baik dari kalangan santri ataupun ulama diharapkan lahir gelombang perubahan dalam menentang segala bentuk penjajahan berdasarknn tuntunan islam.
Tsaqafah Islam layaknya amunisi di dada mereka untuk melwnyapkan jahiliyah modern seperti sekulerisme, kapitalisme dan liberalisme yang tengah menjajah pemikiran umat muslim saat ini.
Sekulerisme, kapitalisme dan liberalisme saat ini menjadikan kondisi syariat Islam terabaikan, dan malah mencari solusi dari selain Islam. Padahal Islam adalah solusi kehidupan dalam segala aspek. Baik itu akidah, akhlak, sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Disinilah kebutuhan kiprah para santri. Umat yang buta dan kabur perihal agama Islam butuh pencerahan dan para ulama lulusan pesantren.
Tsaqafah Islam dari para santri inilah yang kemudian akan mereka bagikan kepada umat agar ber-akidah yang lurus dan tidak sekuler. Mengajarkan tafsir Al- qur’an agar umat memahami isi kandungan agar segera menjalankannya, serta mengajarkan fiqih agar umat paham syariat Islam Kaffah dan tergugah menerapkannya.
Para santri mempunyai tanggung jawab besar dalam mewujudkan kebangkitan di tengah-tengah umat. Yaitu bangkit dengan ideologi Islam bukan sebagai pemberdayaan ekonomi umat yang sejatinya adalah tugas penguasa.
Ketika penguasa gagal dalam menyediakan lapanga kerja untuk rakyat, sehingga bangak pengangguran yang harus mereka lakukan adalah evaluasi diri bukan menyuruh rakyat yakni santri dalam membuka lapangan kerja. Para santri hnnya memiliki tanggung jawab pribadi yakni mencari nafkah jika dia laki-laki.
Meski banyak lulusan pesantren yang menjadi pengusaha dan membuka banyak lapangan kerja bagi banyak orang, tetapi itu merupakan amal shaleh mereka tidak untuk menggeser tugas dan tanggung jawab penguasa.
Sayangnya, tugas tersebut tidak akan bisa dilakukan oleh pemimpin dalam sistem sekuler-kapitalis. Karena mereka adalah regulator kepentingan kapital bukan pe-riayah(pengurus) rakyat. Kita lihat banyaknya tenaga kerja asing (TKA) padahal masih banyak rakyat di negeri ini yang membutuhkan. Alasannya, para TKA tersebut bagian dari syarat yang investor asing kehendaki. Para TKA yang menyerbu Indonesia bukan hanya yang memiliki keahlian tapi juga buruh kasar. Rakyat sendiri malah jadi pengangguran.
Tugas penguasa yang mampu menempatkan posisi para sntri dan para ulama pada posisi strategisnya seperti yang dijelaskan sebelumnya serta menjalankan kewajibannya sebagai pe-riayah hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang berada dalam sistem yang shahih yaitu sistem Islam (Khilafah). Dalam Islam, pemerintah adalah penguasa yang mengurusi rakyatnya termasuk lapangan kerja.
“Pemimpin masyarakat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya”. ( HR. Bukhari dan Muslim)
WalLaahu a’lam