Oleh : Dr. Dudung Nurullah Koswara, M. Pd.
(Ketua DPP Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia)
Bab I Pasal 1 Permendikbud Ristek No 40 tahun 2021 menjelaskan bahwa “Kepala Sekolah adalah guru yang diberi tugas untuk memimpin pembelajaran dan mengelola satuan Pendidikan”. Jelas sudah kepala sekolah bukan tugas tambahan lagi.
Definisi jadul dan tidak relevan menjelaskan kepala sekolah adalah tugas tambahan. Definisi ini menyesatkan secara implementatif dan tidak elok terkait martabat profesi kepala sekolah. Kepala sekolah itu bukan tugas tambahan melainkan tugas utama yang strategis.
Memimpin pembelajaran dan mengelola satuan pendidikan itu bukan tambahan pekerjaan, pekerjaan tambahan, melainkan amanah strategis dalam mengelola GTK dan menciptakan layanan pembelajaran yang optimal pada setiap anak didik.
Mengelola sejumlah GTK, memantau semua anak didik, mendampingi Komite Sekolah, penanggung jawab anggaran, kolaborasi dengan pihak eksternal (LSM, Ormas, Jurnalis dll), menjawab pengaduan eksternal, menguatkan hubungan birokratik terkait dan menjawab tuntutan prestasi sekolah.
Kesemua di atas bukanlah tugas tambahan melainkan tugas utama, tugas berat dan strategis seorang kepala sekolah. Tentu saja tugas strategis ini sangatlah mulia bila dijalankan dengan penuh prestatif dan tanggung jawab.
Tugas mulia kepala sekolah sangatlah tidak ringan. Jabatan kepala sekolah adalah jabatan karir. Sejatinya jabatan karir itu naik berjenjang. Tidak boleh turun atau dikembalikan menjadi guru. Karir itu esensinya harus naik, tidak turun. Kepala sekolah itu jabatan karir dan martabat profesi.
Guru terbaik naik jadi wakasek. Wakasek terbaik naik jadi kepala sekolah. Kepala sekolah terbaik naik jadi pengawas sekolah. Pengawas sekolah terbaik naik berkarir di birokrasi pendidikan. Idealnya demikian, bergerak naik, bukan turun, itulah karir dan martabat profesi.
Martabat kepala sekolah bila kembali menjadi guru, secara psikologis, sosiologis, dan penghargaan pada martabat profesi kepala sekolah menjadi aneh. Karir dan jabatan pengawas sekolah saja tidak ada yang kembali menjadi guru.
Permendikbud Ristek No 40 Tahun 2021 harus objektif diberlakukan. Jabatan kepala sekolah itu kalau pun dibatasi bisa sampai 16 tahun. Jangan sampai ada “terjemahan lain” yang memangkas masa jabatan dan menggembalikan kepala sekolah menjadi guru.
Jelasnya Pasal 8 ayat (1) berbunyi, “Jangka waktu penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah pada satuan pendidikan dilaksanakan paling banyak 4 (empat) periode dalam jangka waktu 16 (enam belas) tahun dengan setiap masa periode dilaksanakan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun.
Dalam pasal 2 pun dijelaskan seorang kepala sekolah bisa bertugas paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 2 (dua) masa periode dengan jangka waktu 8 (delapan) tahun. Untuk kepentingan strategis sekolah, seorang kepala sekolah bisa bertugas selama 8 tahun di satu sekolahan. Untuk kepentingan strategis sekolah.
Kepala sekolah adalah jabatan karir yang harus dihargai. Pengawas sekolah saja tidak kembali menjadi guru. Mengapa kepala sekolah dikembalikan menjadi guru? Padahal jabatan kepala sekolah bukan tugas tambahan?
Kecuali mengundurkan diri, atas permintaan sendiri dan prestasi yang buruk, wajar bila kepala sekolah dikembalikan menjadi guru. Bila faktanya punya nilai kinerja minimal baik. Pastikan setiap kepala sekolah dihoramti dengan masa tugas 16 tahun.
Catatan dan pesan entitas AKSI, “Jangan sampai ada sejumlah kepala sekolah aktivis organisasi/asosiasi (seperti di daerah Pelawan) dikembalikan menjadi guru”. Padahal kontribusi di satuan pendidikan dan organisasi/asosiasi yang merupakan amanah UURI No 14 tahun 2005 sangat baik.
Jangan sampai ada modus dan politisasi kelompok dibalik martabat kepala sekolah Indonesia. Semoga para kepala daerah selalu dalam kesehatan dan keberkahan dalam mendukung sukses pendidikan di setiap daerah. Allah membersamai semuanya.