Oleh: HeniI (bu rumah tangga)
Sistem demokrasi bukanlah jalan keluar dan solusi bagi aneka persoalan yang ada, terutama korupsi. Demokrasi yang notabene lahir dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan)justru menjadi biang atau akar segala persoalan yang ada, termasuk korupsi. Alhasil, selama demokrasi bercokol di negeri ini, korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.
Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan Ideologi Islam. Penerapan Ideologi lslam meniscayakan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena itu dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariah Islam.
pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanâ’ah dengan pemberian Allah SWT, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih ridha Allah SWT. Karena itu mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan ‘izzul Islâm wal Muslimîn. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng.
Setelah Rasulullah saw. pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni Khalifah Abu Bakar ra., hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari. Menjelang wafat, beliau berwasiat agar mengembalikan harta dari Baitul Mal itu jika ada kelebihannya.
Pengganti beliau, Khalifah Umar ra., juga hidup sederhana. Khalifah Umar ra. pernah meminta masukan kepada Salman al-Farisi. Apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Khalifah Umar mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada masyarakat yang menggunjingkan Umar yang sering mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan makan. Sejak saat itu Khalifah Umar tidak pernah makan dengan dua macam lauk.
Tidak hanya diri mereka sendiri yang bersih dari korupsi. Mereka juga menjaga agar kerabatnya tidak menggunakan jabatan ayah atau saudaranya untuk memperkaya diri mereka. Suatu ketika Khalifah Umar ra. melihat unta gemuk di padang gembalaan yang sudah diproteksi negara. Ketika dia tahu bahwa itu unta anaknya, beliau menyuruh anaknya untuk menjual unta tersebut. Modal pokok untuk membeli unta tersebut diberikan kepada anaknya. Laba penjualannya dimasukkan ke dalam Baitul Mal kaum Muslim.
Pejabat juga dituntut untuk menjaga harta rakyat,Jika Khalifah Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal.
Ini untuk kasus yang syubhat. Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, hukumannya adalah ta’zir. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati; bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut.
Alhasil, penerapan syariah Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara kâffah.
Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat mereka dikuasai oleh cinta harta dan jabatan.