Oleh : DR.H. Wawan Lulus Setiawan, Ir, M.Sc.AD *)
Pondok pesantren merupakan sebuah pilar pendidikan utama bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Betapa tidak, lembaga pendidikan ini merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang hingga sekarang masih hidup dan berkembang. Kehadiran pesantren di Indonesia jauh lebih daulu dibandingkan kehadiran lembaga pendidikan sekolah yang diintroduksi oleh Belanda di Indonesia. Berdirinya dan perkembangan pesantren, tidak dapat dipisahkan dengan zaman Walisongo, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan pondok pesantren yang pertama kali adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. Syekh Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 12 Rabi‟ul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M adalah orang pertama dari walisongo yang menyebarkan Agama Islam di Jawa, sehingga dapat disimpulkan bahwa lembaga pesantren itu sudah ada sejak abad ke-15. (https://www.literasipublik.com/sejarah-dan-perkembangan-pondok-pesantren-di-indonesia).
Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren di tanah air berkembang dengan baik. Kemajuan peradaban dan termasuk kemajuan lembaga pendidikan formal (baca: sekolah) tidak menyurutkan perkembangan pesantren, karena banyak pesantren kemudian mengadopsi pendikan sekolah di lingkungan pesantren dengan menyelenggarakan pendidikan pesantren sekaligus pendidikan sekolah, baik pendidikan sekolah keagamaan (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ataupun Aliyah), maupun pendidikan umum (Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Mengah Atas atau Kejuruan). Bahkan perkembangan terakhir menunjukkan hal yang luar biasa, karena di banyak pesantren kemudian juga menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pondok Pesantren yang selama ini biasa dikenal sebagai tempat atau lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam telah melakukan transformasi, dari sebuah lembaga tradisional yang mengutamakan penyebaran ilmu agama Islam menjadi pesantren yang lebih modern yang memusatkan pada keseimbangan antara pengetahuan agama dan sains. Hal ini merupakan bentuk andil dan turut bertanggung jawab pesantren dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
Lebih dari itu, perkembangan terakhir menunjukan fenomena bahwa pesantren pun turut andil dalam pengembangan ekonomi baik di lingkungan pesantren, dan juga mencakup lingkungan masyarakat sekitar pesantren secara konkrit dengan cara membangun bisnis di pesantren yang dikelola oleh para pengelola pesantren bersama para santri pesantren.
Kehadiran kegiatan bisnis di pesantren memiliki beberapa maksud: (1) sebagai media pendidikan bisnis (kewirausahaan) bagi para santri. Dengan cara ini para santri secara nyata mengikuti pendidikan bisnis/kewirausahaan dengan utuh mencakup teori dan praktek, (2) sebagai sumber pemasukan dana untuk menopang kegiatan pendidikan di pesantren. Sebagaimana diketahui bahwa pondok pesantren didirikan atas swadaya masyarakat yang diprakarsai oleh tokoh agama, sehingga untuk pendanaan pun para pengelola pesantren harus mengupayakan sendiri. Kehadiran lembaga bisnis di banyak pesantren telah menunjukkan keberhasilannya menopang sumber pendanaan pesantren, dan (3) sebagai media pengembangan eonomi umat sekitar pesantren, karena bisnis pesantren dapat terkait dengan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar dalam kerangka suply-chain.
Pendidikan bisnis yang dikelola pesantren memiliki keunikan diantaranya adalah (1) didasarkan atas prinsip ilmu bisnis berbasis syariat serta nilai-nilai dasar Islam yang dikembangkan di pesantren, (2) berbasis sumberdaya lokal, baik dari aspek sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam, (3) memanfaatkan keunggulan/keunikan lokal untuk menangkap peluang pasar baik domestik maupun ekspor. Dengan mengikuti pendidikan bisnis di pesantren, maka para santri mendapatkan dua pengalaman belajar yaitu belajar “ngaji” (belajar ilmu agama), dan belajar “ngejo” (kata dalam Bahasa Sunda yang berarti makan), yang bermakna bahwa para santri belajar keterampilan sebagai bekal mereka kelak dapat mencari nafkah melalui berwirausaha.
Pada kasus Provinsi Jawa Barat, berdasarkan data Kementerian Agama pada tahun 2016, Jawa Barat memiliki 8.264 pesantren atau sekitar 31,8% pesantren dari total pesantren di Indonesia. Mayoritas pesantren tidak terdaftar secara resmi yang dibuktikan dengan Nomor Standar Pondok Pesantren (NSPP). Hingga tahun 2018, berdasarkan Tim Survey Pesantren Jawa Barat tahun 2018, ada sekitar 12.000 pesantren di Jawa Barat dan 24 % pesantren (sebagian telah memiliki badan usaha Koperasi Pondok Pesantren atau kopontren) yang memiliki bisnis atau produk (Dinas Koperasi dan UKM Jawa Barat, 2020). Berbagai instansi pemerintah maupun swasta telah melaksanakan program pemberdayaan ekonomi di lingkungan pesantren, tetapi hasilnya tidak berkelanjutan. Hasil evaluasi menunjukan bahwa penekanan pada pemberian modal yang bersifat hibah bukan merupakan cara efektif untuk memandirikan pesantren.
Dengan latar belakang tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Koperasi dan UKM Jawa Barat melakukan sebuah program khusus yang sekaligus menjadi unggulan Jawa Barat yang disebut One Pesantren One Product (OPOP). Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2019 hingga sekarang dan telah menunjukkan efektivitasnya sebagai sebuah pendekatan pendidikan (pendidikan kewirausahaan) untuk membangun ekonomi pesantren. Dalam program OPOP ini penulis mendapat kesempatan untuk menjadi Anggota Juri pada kegiatan audisi dan visitasi lapangan.
-
Gambar 2. Suasana di Kampus Pondok Pesantren Puteri Humaira, Cisaat – Kabupaten Sukabumi.
Dari hasil evaluasi lapangan memberikan kesimpulan bahwa Program OPOP yang telah dilaksanakan secara sistematik ini terbukti efektif dalam menggairahkan para warga pesantren untuk mengembangkan kegiatan ekonomi di pesantren. Ini ditunjukkan dengan minat peserta OPOP yang berjumlah 1.074 pesantren pada Tahun 2019, 500 pesantren pada Tahun 2020, dan 1.000 pesantren pada tahun 2021. Dari hasil evaluasi lapangan, kegiatan pengembangan ekonomi pesantren ini telah berdampak ganda pada pengembangan ekonomi warga pesantren serta masyarakat sekitar pesantren.***
*) Penulis adalah Lektor Kepala pada Program Pasca Sarjana Institut Manajemen Koperasi Indonesia, dan Ketua Yayasan Humaira Samawa Internasional, pengelola Pondok Pesantren Puteri Humaira di Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi