Sabtu, Maret 22, 2025

Seribu Satu, Satu Seribu

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua Forum Kepala Sekolah 69 Jawa Barat)

Menurut data UNESCO pada 2016, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Minat baca Indonesia berada di peringkat 60, hanya satu tingkat diatas Botswana, salah satu negara di Afrika yang berada di peringkat 61.

Terlepas dari akurasi data UNESCO terkait minat baca bangsa kita, sungguh menyedihkan. Kita layak peduli dan gelisah bagaimana menaikan indek baca generasi kita. Ini bisa dimulai dari sekolahan, walau agak terlambat. Idealnya dimulai dari rumah, dimana para orangtua menguide anak-anaknya terbiasa membaca.

Ada istilah parenting literasi. Anak mulai membaca sejak dini di keluarga, selanjutnya menjalar ke sekolah. Dalam tulisan ini Saya hendak mengajak para guru dan kepala sekolah untuk sadar literatif. Anak didik di sekolah harus digiring, dipaksa dan dijebak agar mau menjadi bagian dari gerakan literasi sekolah. Setiap anak harus dijebak secara edukatif agar menjadi peminat baca.

Bila hasil survei UNESCO menyatakan bangsa kita dari 1000 orang hanya 1 orang yang membaca sungguh menyedihkan. Sebaiknya dari 1000 orang hanya 1 yang tidak membaca. Seribu Satu, Satu Seribu. Dari seribu sebaiknya hanya satu yang tak suka baca. Jangan sampai dari seribu hanya satu yang suka baca. Seribu Satu, Satu Seribu.

Ada yang menyimpulkan di Indonesia saran dan fasilitas untuk menumbuhkan minatn baca sangat memungkinkan. Masalahnaya ada di motivasi baca. Sejumlah buku di perpustakaan malah tak bermanfaat. Berdebu dan tidak ada yang baca, hanya beberapa yang suka baca. Sindirannya hanya ada 1 dari 1000 orang. Sejumlah 999 buku tak dibaca, hanya satu buku yang dibaca oleh satu orang.

Secara infrastruktur konon katanya bangsa kita sudah sangat baik. Bahkan sejumlah negera Eropa kalah sama negara kita. Namun minat bacanya yang masih zero. Buku menumpuk, ruang perpustakaan cukup namun pembacanya zero. Bahkan katanya bangsa kita adalah bangsa keempat terbesar dalam menggunakan gadget, setelah Amerika, China dan India. Namun daya baca masih rendah. Kecuali daya cerewet bermedsos.

Masyarakat kita malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gadget berjam-jam. Jangan heran jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari untuk langsung like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya. Sungguh luar biasa! Daya baca rendah namun daya sebar dan daya tatap layar tinggi. Daya sebar terutama yang provokatif dan SARA begitu mudah dan bergairah. Ini anomali literasi kita.

Para guru dan para kepala sekolah harus ambil bagian dalam “menumpas” budaya sebar hoak dan rendahnya daya baca. Mulai darimana? Mulai dari anak didik di sekolahan dan para pendidiknya. Kepala sekolah, guru dan anak didik harus jadi entitas literatif yang baik, walau sedikit. Mentalitas literatif adalah sebuah mentalitas yang sangat tak mudah dibangunkan.

Kalau berbicara, teriak-teriak dan cerewet di medsos nampaknya bangsa kita sudah kuat. Masalahnya kekuatan membaca masih rendah. Kurangi bicara, teriak-teriak dan cerewet di medsos, ubah dengan bertutur lebih informatif dan menunjukan wawasan lebih mendalam. Apalagi bila budaya sebar hoaxs berubah menjadi budaya sebar karya tulis atau buah pikiran yang konstruktif.

Alangkah indah bila di sebuah sekolahan ada sejumlah buku karya kepala sekolah, guru dan anak didik. Sungguh realitas “Seribu Satu, Satu Seribu” harus diubah. Kita mulia dari para guru sebagai mentor dan para kepala sekolah sebagai fasilitator. Ubah dunia mulai dari diri kita. Ubah dunia mulai dari pemimpinnya. Air mengalir dari atas, gagasan dan gerakan pun bisa dialirkan dari atas. Mengapa tidak, mari kita coba!

Related Articles

Media Sosial

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Berita Terbaru