Senin, Februari 10, 2025

Nabi Mengingatkan Bahaya Ghadab Menyikapi Problematika Kehidupan

Pewarta: Dwi Arifin

Koran SINAR PAGI (Kabupaten Bandung)-, Dalam rangka menyebar luaskan ajaran islam dengan meneladani Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam. Koransinarpagijuara.com menghadirkan catatan ceramah Ustadz Ruslan Gunawan S.Ag pembina majelis Syubbaanul Uluum bersumber dari rekaman kajian hadist Arbain ke 16 tentang “Larangan Marah”. Kajian ini biasa berlangsung dan berlanjut setiap malam rabu di Masjid Syubbaanul Uluum Margaasih.

Dalam sebuah problematika kehidupan tentulah kiranya kita tak akan jauh dari rasa marah, kesal, dan membawa panas sesaknya dalam hati. Lalu bagaimana sikap marah itu yang dilarang nabi atau dibolehkan pada tempatnya?…

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, yang dinukil dari salah satu kitabnya Sarah Shahih Bukhari menyebutkan bahwa hakikat marah itu memang tidak terlarang karena marah itu adalah tabiat manusia. Namun ini dilihat dari bagaimana kita menerapkan marah itu di dalam diri kita yang mana jangan sampai marah itu menimbulkan mara bahaya dan bencana di dalam kehidupan kita. Di dalam suatu hadits dikatakan bahwa,

“Cinta dan benci itu adalah Sebagian dari keimanan”

Yang dimaksud hadits tersebut bahwa cintanya itu lillah begitupun dengan marahnya juga karena Allah. Sehingga dari sanalah bisa disebut sempurnanya keimanan.

Dari Abu Hurairah, bahwa seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat.” Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan marah!” Ia terus mengulangi pertanyaannya dan beliau tetap menjawab, “Jangan marah.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa yang datang adalah Jaariyah bin Qadaamah dan hadits lain menyebutkan Sufyaan bin Abi Abdullah Ats-Tsaqafi berkata, “Aku berkata, “Ya Rasulullah beritahukan kepadaku suatu ucapan yang dapat bermanfaat untuk diriku.” Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Jangan marah niscaya kamu akan masuk surga.”

Hadits tersebut menunjukkan larangan marah sebagaimana yang disinggung oleh Al-Khaththabi, “Larangan mendekati hal-hal yang menyebabkan timbulnya kemarahan atau hal-hal yang dapat memancing kemarahan. Adapun marah itu sendiri bukanlah sifat yang dilarang, karena marah merupakan sifat yang sudah ada pada diri setiap manusia.

Ulama lain berpendapat bahwa larangan itu terletak pada perkara yang terjadi sejenak sebelum kemarahan mencuat. Ada juga yang berpendapat: larangan terletak pada efek negatif yang mungkin timbul dari kemarahan tersebut. Contohnya seperti sikap angkuh, sikap ini muncul apabila ada yang menyelisihi urusannya sehingga karena keangkuhannya menyeret dirinya pada kemarahan. Namun bagi yang tawadhu’ akan menghilangkan keangkuhan diri dan tidak akan terpancing oleh amarahnya.

Ada pendapat lain yang mengartikan, “Jangan kamu perturutkan nafsu amarahmu.”

Pendapat lain: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencukupkan dengan satu nasehat ini karena si penanya adalah seorang pemarah dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan fatwa sesuai dengan perkara yang paling dibutuhkan oleh masing-masing orang.

Ibnu Sirin berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menghimpun semua kebaikan dunia dan akhirat pada sabdanya: “jangan marah!” sebab marah akan menyeret seseorang untuk memutus tali silaturahmi, tidak mampu bersikap lembut dan akan menyeretnya untuk menyakiti orang yang memancing kemarahannya dengan cara yang tidak dibenarkan, sehingga akan mengurangi nilai agama seseorang. Boleh juga ditafsirkan bahwa larangan ini merupakan larangan untuk perbuatan yang ringan, sebagai peringatan terhadap perbuatan terlarang yang lebih besar, sebab marah berasal dari hawa nafsu dan setan. Barangsiapa yang mampu mengendalikan gejolak amarahnya dan mampu mengobatinya, berarti ia akan lebih mampu untuk mengendalikan dirinya terhadap perkara-perkara yang lain.

Terlebih dahulu kita mesti memahami apa itu makna “Al-Ghadab” supaya kita tidak salah dalam memaknai marah tersebut.

Pengarang kitab jamiul ulum wal hikam yang di maksud Ibnu Razaq Al-Hanbali disini marah itu adalah adanya gejolak / darah di dalam hati untuk menolak gangguan yang di khawatirkan terjadi atau dia ingin membalas dendam kepada orang yang menimpakkan gangguan yang terjadi kepadanya. (Jamiul ulumu wal hikam, hlm. 195)

Marah itu dimana suasana hati naik darah karena khawatir terhadap sesuatu yang akan terjadi sedangkan ia tidak menyenanginya. Yang mana tidak sedikit dari Al-ghadab ini menimbulkaan perbuatan-perbuatan haram seperti memukul, melempar, menyiksa, menyakiti hingga mengeluarkan kata-kata yang kotor, mencaci maki, sampai memunculkan kedzaliman hingga membunuh dan mengakibatkan kekufuran. Sehingga disebutkan bahwa Al-ghadab ini adalah otak dari segala macam keburukan.

Maka kita disarankan agar terhindar dari sifat marah meminta masukan atau nasihat untuk setiap perbaikan diri. Karena hal ini dicontohkan di lingkungan para sahabat nabi.

Dari kalimat laa taghdab itu mencakup dua makna; yang pertama, yang pertama; perintah beliau supaya memiliki sebab akhlak yang baik, berupa kedermawanan, murah hati, penyantun, malu, sopan, sabar, dsb. Dimana ketika dalam jiwa manusia telah terpatri dengan akhlak yang baik, maka tidak akan ada rasa marah di dalam hatinya, sehingga bisa meredam kemarahannya. Yang kedua, engkau jangan melakukan tuntutan dari kemarahanmu apabila marah terjadi padamu bahkan justru yang harus muncul itu dengan mengusahakan diri tidak melakukan hal-hal yang disebabkan dari kemarahan itu sendiri.

Hal itu bukan berarti melarang kita untuk marah, bahkan Rasulullah Saw saja pernah marah. Disebutkan dalam hadits bahwa kemarahan Rasulullah saat itu ketika memasuki rumah Aisyah R.A dan terdapat sesuatu yang bergambar, lalu Rasul marah karena hal itu adalah sesuatu yang tidak Allah senangi. Begitupu dengan kita, tentu saja kitab oleh marah apabila melihat sesuatu yang salah, sesuatu yang terlihat bahwa itu adalah sebuah kemungkaran. Ingatlah jangan marah, karena sifat marah bisa menjadi pemimpin untuk dirinya.

Rosululloh juga menyarankan agar terhindar dari marah. Seperti ada dua orang laki-laki yang saling mencaci, urat lehernya menegang dan wajahnya memerah. Lalu nabi menyampaikan sungguh aku memegang satu kalimat yang apabila diucap akan terhindar dari sifat buruk yaitu Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim. Maka dengan ucapan ini kita berlindung kepada Alloh dan dengan pertolongannya kita akan terhindar dari keburukan.

“Pada suatu hari aku duduk bersama-sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sedang dua orang lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu satu perkataan sekiranya dibaca tentu hilang rasa marahnya jika sekiranya ia mau membaca, ‘A’udzubillahi minas-syaitani’ (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang dialaminya.” (HR Bukhari, no. 3282)

Lalu untuk terhindar sifat marah, perlu merubah sikap tubuh. Dari berdiri ke duduk, karena orang yang duduk akan dilemahkan untuk melampiaskan marahnya.

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud, no. 4782. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Marah juga dapat diredam dengan berwudhu. Dari Athiyyah as-Sa’di Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah bersabda:

Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu.” (HR. Abu Daud, no. 4784. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Disisi lain, pahala orang yang mampu menahan marah harusnya menjadi motivasi untuk meninggalkan marah. Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa menahan amarahnya padahal mampu meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat untuk memberinya pilihan bidadari yang ia inginkan.” (HR. Abu Daud, no. 4777; Ibnu Majah, no. 4186. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sanadnya hasan)

Dari penjelasan diatas disimpulkan bahwa menahan marah itu penting dalam menyelesaikan masalah. Dan kita diperbolehkan marah karena urusan agama, misalnya marah kepada setiap apa yang Alloh murka. Jadi bukan membenci orangnya tapi membenci perbuatannya itu contoh kalau marah kepada pelaku bid’ah.

media cetak & Online
media cetak & Online
Sungguh-sungguh, semangat, hati-hati, berkarya, bekerjasama & Berdo'a

Related Articles

Media Sosial

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Berita Terbaru