OLeh : Dr. Ir. Wawan Lulus Setiawan, MSc.AD( Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN))
Pada awal merebaknya wabah covid -19 di Indonesia, Majelis Ulama Indonsia (MUI) telah mengeluarkan fatwa Nomor 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah covid-19. Sebagaimana layaknya sebuah fatwa agar dapat menjadi sebuah pegangan hukum bagi umat, fatwa tersebut tersusun secara sistematik mengikuti kaidah fatwa, yang kemudian diakhiri dengan 9 (sembilan) point fatwa hukum yang memberikan panduan bagaimana masyarakat melaksanakan ibadah dalam berbagai tingkatan kondisi wabah covid-19 baik yang sedang dialami oleh masing-masing individu maupun yang sedang dialami oleh berbagai tempat/wilayah. Fatwa tersebut saya yakin disusun berdasarkan pertimbangan dan masukan dari para ahli medis yang paham benar tentang wabah covid-19 tsb. Yang menarik kemudian adalah fatwa ini menimbulkan polemik di masyarakat bahkan di antara ulama. Ada yang pro dan ada yang kontra. Terutama di minggu pertama sampai dengan minggu kedua merebaknya wabah di Indonesia.
Pada sholat jum’at minggu lalu tanggal 20 Maret 2020.Walaupun sebenarnya saya waswas , saya tetap melaksanakan sholat jum’at, rasa waswas tersebut maksudnya waswas untuk meninggalkan sholat jum’at karena saya merasa tidak sedang udzur, di sisi lain saya pun waswas untuk berjajar bersama jamaah di mesjid dalam susana wabah tersebut. Namun saya menguatkan tekad untuk tetap sholat jum’at di komplek dimana saya tinggal. Pada saat itu, khatib jum’at menyampaikan pandangannya yang tak sependapat dengan fatwa MUI. Menurutnya fatwa MUI itu menjauhkan umat dari mesjid, itu artinya menjauhkan umat dari Allah swt. Padahal dalam situasi wabah ini umat Islam harus semakin dekat dengan Allah swt, untuk mohon perlindungan-Nya (namun pada sholat Jumat kemarin tanggal 27 Maret 2020 saya pun tidak melaksanakan sholat jumat. Mesjid jami di komplek saya tinggal tidak lagi melaksanakan sholat jumat, mengikuti seruan MUI. Jadi ini menguatkan hati saya untuk tidak waswas lagi).
Pandangan serupa juga banyak ditemui di media sosial dari sebagian ulama (karena mereka mencantumkan nama dengan status ustadz, atau pimpinan yayasan pendidikan Islam), lengkap dengan dalil-dalil Al- Qur’an dan Hadits.
Bukan itu saja, bahkan pada malam tanggal 27 Rajab, di speaker (pengeras suara) sebuah mesjid dekat komplek saya tinggal di KecamatanTarogong, Garut, terdengar acara peringatan Isro Miraj, walaupun saya tidak melihat secara langsung ke dalam mesjid berapa jamaah yang hadir, namun biasanya acara peringatan Isro Miraj dihadiri banyak warga hingga mesjid penuh.
Dari suara speaker terdengar isi ceramahnya yang juga serupa, tidak sependapat dengan fatwa MUI. Ini di mesjid yang kebetulan saja terdengar oleh saya. Padahal Tarogong itu masih termasuk kawasan kota karena hanya sekitar 3 kilometer dari pusat kota Garut. Bagimana dengan mesjid-mesjid yang di pelosok-pelosok pedesaan. Sangat mungkin pandangan ulamanya banyak yang sama.
Ada satu argumen yang sering saya baca dan sering saya dengar, yang bagi saya yang awam dalam ilmu agama pun memandang argumen ini tidak logis digunakan, yaitu bahwa Rosulullah pada saat perang pun tidak menghilangkan kewajiban sholat berjamaah, kemudian argumen ini dipakai dalil tentang larangan meninggalkan sholat jamaah, termasuk sholat jum’at, di mesjid saat wabah corona. Tentang hal ini saya pun dapat berargumen dengan logika sederhana saja, bahwa musuh yang dihadapi oleh para mujahid saat itu adalah musuh yang terlihat , yaitu manusia. Berdasarkan pelajaran yang saya dapat dari guru-guru saya, Rosulullah saat itu mengatur strategi membagi jamaah menjadi dua shift bergantian. Saat sebagian sholat berjamaah, sebagian yang lain bertugas siaga menjaga jamaah. Hikmahnya adalah, saat itu pun Rosulullah mengajarkan untuk senantiasa berihtiar mengutamakan keselamatan. Namun kali ini musuh kita adalah musuh yang tak terlihat oleh mata, yaitu mahluk sangat kecil yang bernama virus. Sangat mungkin virus ini turut serta dalam jamaah karena sudah menempel dalam organ sebagian jamaah. Dan pasti akan menular ke seluruh jamaah. Ini sudah dicontohkan dengan kejadian di majelis tabligh di Malaysia dan mesjid-mesjid lain di Indonesia.
Melalui pesan whats app ini, saya secara pribadi ingin mengajak para ulama untuk kali ini bersatu pandangan dengan fatwa MUI (majelisnya para tokoh ulama, majelis yang diakui keberadaannya oleh masyarakat muslim di Indonesia dan oleh negara, yang organisasinya terstruktur dari pusat hingga ke kecamatan). Bukankah kita punya basis yang sama yaitu ahlussunnah waljama’ah. Perbedaan pandangan di antara ulama dengan MUI selama ini memang acapkali terjadi, namun biasanya terkait dengan perkara ibadah ataupun halal-haramnya suatu amalan, dan perbedaan itu sah-sah saja, karena hal itu terpulang kepada keyakinan masing-masing individu dalam berhubungan langsung dengan Allah swt. Namun perkara wabah ini adalah perkara keselamatan umat. Perbedaan pandangan di antara ulama itu terlalu mahal taruhannya.
Saya ingin mendorong para ulama untuk tidak segan-segan berdiskusi dengan para ahli medis agar memperoleh pemahaman yang utuh tentang wabah corona ini, sebagaimana masyarakat dari berbagai kalangan dan profesi (dokter, dosen, pedagang, pegawai, petani, pejabat atau rakyat, dll) tak segan-segan berdiskusi dan berkonsultasi tentang ilmu agama kepada ulama.
Saya juga ingin mengajak ulama untuk turut mengedukasi masyarakat tentang bagaimana bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari pada saat wabah ini. Suara ulama lebih didengar oleh masyarakat ketimbang suara teriakan Satpol PP yang keliling kota bahkan suara juru bicara istana sekalipun dalam kampanye wabah ini. Umpamanya cukup dengan mengatakan bahwa dalam situasi wabah corona ini masuk dalam kerumunan atau kumpulan dimana pun baik di mesjid atupun di luar mesjid akan mendzalimi diri sendiri dan orang lain. Masih banyak warga masyarakat yang belum memahami dengan baik tentang wabah ini, sebagian masih meremehkan bahkan ada yang berolok-olok.
Saya sangat mengapresiasi kerja keras banyak ulama (yang sepaham dengan MUI) yang telah turut mengedukasi masyarakat melalui berbagai media, termasuk media sosial untuk bersikap dan bertindak bijak dalam menghadapi wabah ini, sesuai syariat.
Boleh jadi wabah ini dapat memberikan hikmah sebagai sebuah momentum agar ulama dapat bersatu pandangan. Semua ulama menjadi sebuah barisan yang kokoh sebagaimana yang dikehendaki oleh Al -Quran dalam Surat Ash- Shaff bahwa umat Islam itu sebaiknya membentuk shaf yang dinyatakan “ka-annahum bunyaanun marshush” (keadaan mereka bagaikan bangunan yang kokoh). Jika ulama dapat membangun barisan yang kokoh, maka umat pun akan mengikuti ulama masuk dalam barisan, dan jika itu terjadi subhanallah, maka umat Islam di Indonesia akan menjadi umat yang kuat dan kokoh dalam berbagai segi kehidupan. Kondisi inilah sesungguhnya sebuah pra- syarat agar umat Islam di Indonesia menjadi umat yang kuat dan jaya. Semoga.