Saatnya Ulama Bersatu Pandangan

  • Whatsapp
banner 768x98

OLeh : Dr. Ir. Wawan Lulus Setiawan, MSc.AD( Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN))

Pada awal merebaknya wabah covid -19 di Indonesia, Majelis Ulama Indonsia (MUI) telah mengeluarkan fatwa Nomor 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah covid-19. Sebagaimana layaknya sebuah fatwa agar dapat menjadi sebuah pegangan hukum bagi umat, fatwa tersebut tersusun secara sistematik mengikuti kaidah fatwa, yang kemudian diakhiri dengan 9 (sembilan) point fatwa hukum  yang memberikan  panduan bagaimana masyarakat melaksanakan ibadah  dalam  berbagai tingkatan kondisi wabah covid-19 baik yang sedang  dialami oleh masing-masing individu maupun yang sedang dialami oleh  berbagai tempat/wilayah.  Fatwa tersebut  saya yakin disusun  berdasarkan pertimbangan dan  masukan dari para ahli medis yang paham benar tentang wabah covid-19 tsb.  Yang menarik kemudian adalah fatwa ini menimbulkan polemik di masyarakat bahkan di antara ulama.  Ada yang pro dan ada yang kontra.  Terutama di minggu pertama sampai dengan minggu kedua merebaknya wabah di Indonesia.

Pada sholat jum’at minggu lalu tanggal 20 Maret 2020.Walaupun sebenarnya saya waswas , saya tetap melaksanakan sholat jum’at, rasa waswas  tersebut maksudnya waswas untuk meninggalkan sholat jum’at karena saya merasa tidak sedang udzur, di sisi lain saya pun waswas untuk berjajar bersama jamaah di mesjid dalam susana wabah tersebut. Namun saya menguatkan tekad untuk tetap sholat jum’at di komplek dimana saya tinggal.  Pada saat  itu,  khatib jum’at   menyampaikan pandangannya  yang tak sependapat dengan fatwa MUI. Menurutnya fatwa MUI itu menjauhkan umat dari mesjid,  itu artinya  menjauhkan umat dari Allah swt. Padahal  dalam situasi wabah ini umat Islam harus semakin dekat dengan Allah swt,  untuk mohon perlindungan-Nya  (namun pada sholat Jumat kemarin tanggal 27 Maret 2020 saya pun tidak melaksanakan sholat jumat.  Mesjid  jami di komplek saya tinggal tidak lagi  melaksanakan sholat  jumat,  mengikuti seruan MUI.  Jadi ini menguatkan hati saya untuk tidak waswas lagi).

Pandangan serupa  juga banyak  ditemui di  media sosial  dari sebagian  ulama (karena mereka mencantumkan  nama dengan status ustadz, atau pimpinan yayasan pendidikan Islam),  lengkap dengan dalil-dalil Al- Qur’an dan  Hadits.

Bukan itu saja, bahkan  pada malam tanggal 27 Rajab, di speaker (pengeras suara) sebuah mesjid dekat komplek saya tinggal di KecamatanTarogong,  Garut,  terdengar acara peringatan Isro Miraj, walaupun saya tidak melihat secara langsung ke dalam mesjid berapa jamaah yang hadir,  namun biasanya acara peringatan  Isro Miraj  dihadiri banyak warga hingga mesjid penuh.

Dari suara speaker  terdengar isi ceramahnya  yang  juga serupa, tidak sependapat dengan fatwa MUI. Ini di mesjid yang kebetulan saja terdengar oleh saya.  Padahal Tarogong itu masih termasuk kawasan kota karena hanya sekitar 3 kilometer dari pusat kota Garut. Bagimana dengan mesjid-mesjid  yang di pelosok-pelosok pedesaan. Sangat mungkin pandangan ulamanya banyak yang  sama.

Ada satu argumen yang  sering saya baca dan sering saya dengar,  yang  bagi saya  yang awam dalam ilmu agama pun memandang argumen ini tidak logis digunakan, yaitu bahwa Rosulullah pada saat perang pun tidak menghilangkan kewajiban sholat berjamaah, kemudian argumen ini dipakai dalil tentang larangan meninggalkan sholat jamaah, termasuk sholat jum’at,  di mesjid saat wabah corona.  Tentang hal ini saya pun dapat berargumen dengan logika sederhana saja, bahwa musuh  yang dihadapi oleh para mujahid saat itu adalah musuh yang terlihat , yaitu manusia. Berdasarkan pelajaran yang saya dapat dari guru-guru saya, Rosulullah saat itu  mengatur strategi membagi jamaah menjadi dua shift bergantian. Saat sebagian sholat berjamaah, sebagian yang lain bertugas siaga menjaga jamaah. Hikmahnya adalah, saat itu pun Rosulullah mengajarkan untuk senantiasa berihtiar mengutamakan keselamatan. Namun kali ini musuh kita adalah musuh yang tak terlihat oleh mata, yaitu mahluk sangat kecil yang bernama virus. Sangat mungkin virus ini turut serta dalam jamaah karena sudah menempel dalam organ sebagian jamaah. Dan pasti akan menular ke seluruh jamaah. Ini sudah dicontohkan dengan kejadian di majelis tabligh di Malaysia dan mesjid-mesjid lain di Indonesia.

Melalui pesan whats app ini, saya secara pribadi  ingin mengajak  para  ulama untuk kali ini bersatu pandangan dengan fatwa MUI (majelisnya para tokoh ulama, majelis yang diakui keberadaannya oleh masyarakat muslim di Indonesia dan oleh negara, yang organisasinya terstruktur dari pusat hingga ke kecamatan). Bukankah kita  punya basis yang sama yaitu ahlussunnah waljama’ah. Perbedaan pandangan di antara  ulama dengan MUI selama ini memang acapkali  terjadi,  namun  biasanya  terkait dengan perkara ibadah ataupun halal-haramnya suatu amalan, dan perbedaan itu sah-sah saja, karena hal itu terpulang kepada keyakinan masing-masing individu dalam berhubungan  langsung dengan Allah swt. Namun perkara wabah ini adalah perkara keselamatan umat. Perbedaan pandangan di antara ulama itu terlalu mahal taruhannya.

Saya  ingin mendorong para ulama untuk tidak segan-segan berdiskusi dengan para ahli medis agar memperoleh pemahaman yang utuh tentang wabah corona ini, sebagaimana masyarakat dari berbagai kalangan dan profesi (dokter, dosen, pedagang, pegawai, petani, pejabat atau rakyat, dll) tak segan-segan  berdiskusi dan berkonsultasi tentang ilmu agama kepada  ulama.

Saya juga ingin mengajak  ulama untuk turut mengedukasi masyarakat tentang bagaimana bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari pada saat wabah ini. Suara  ulama lebih didengar oleh masyarakat ketimbang suara teriakan Satpol PP yang keliling kota bahkan suara  juru bicara istana sekalipun dalam kampanye wabah ini. Umpamanya cukup dengan  mengatakan bahwa dalam situasi wabah corona ini masuk dalam kerumunan atau kumpulan dimana pun baik di mesjid atupun di luar mesjid akan mendzalimi diri sendiri dan orang lain. Masih banyak warga masyarakat yang belum memahami dengan baik tentang wabah ini, sebagian masih meremehkan bahkan ada yang berolok-olok.

Saya sangat mengapresiasi  kerja keras  banyak ulama (yang sepaham dengan MUI)  yang telah turut mengedukasi masyarakat melalui berbagai media,  termasuk media sosial untuk bersikap dan bertindak bijak dalam menghadapi wabah ini, sesuai syariat.

Boleh jadi wabah ini dapat memberikan hikmah sebagai sebuah momentum agar  ulama  dapat bersatu pandangan. Semua ulama menjadi sebuah barisan yang kokoh sebagaimana yang dikehendaki oleh Al -Quran dalam Surat Ash- Shaff  bahwa umat Islam itu sebaiknya membentuk shaf  yang  dinyatakan “ka-annahum bunyaanun marshush” (keadaan mereka bagaikan bangunan yang kokoh). Jika ulama dapat membangun barisan yang kokoh, maka umat  pun akan mengikuti ulama masuk dalam  barisan, dan jika itu terjadi subhanallah, maka umat Islam di Indonesia akan menjadi umat yang kuat dan kokoh dalam berbagai segi kehidupan. Kondisi inilah sesungguhnya sebuah pra- syarat agar umat Islam di Indonesia menjadi umat yang kuat dan jaya. Semoga.

banner 728x90

Pos terkait

banner 728x90