Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Praktisi Pendidikan)
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas (63) meninggal di Yogyakarta, Kamis (02/01/20). Almarhum dikenal sebagai pengusung Islam moderat. Di kalangan Muhammadiyah, Yunahar dikenal memiliki ilmu keislaman tinggi, moderat, menghargai perbedaan, dan diterima oleh semua kalangan. Adem saat menyelami pemikiran dan ijtihad para ulama moderat. Sebaliknya agak kaget kalau mencerna pemikiran ulama yang non moderat, tegas dan keras.
Ulama moderat diterima semua kalangan. Ulama moderat punya keberanian memoderasi penafsiran tentang agama. Wajah agama menjadi adem dan lentur terhadap ekstrimitas dinamika pemahaman dan fakta keagamaan di lapangan. Agama adalah pembeda. Agama adalah jalan keluar. Agama adalah solusi. Agama adalah toleransi. Agama adalah cinta kasih. Agama adalah pengusung kesejahteraan bersama.
Agama adalah “Bagaimana memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan”. Saya adalah kamu dan kamu adalah Saya. Itulah agama! Kamu dan Saya adalah gen Adam AS. Bapak kita sama namun kepala kita berbeda. Tuhan ciptakan kepala kita terpisah agar kita punya perbedaan untuk saling melengkapi. Termasuk dalam pemahaman spiritualitas, budaya dan agama. Sungguh perbedaan itu sejatinya adalah pembelajaran agar otak manusia kaya akan warna kehidupan.
Agama adalah kebalikan dari kejahilan dan kejahiliahan. Jangan sampai gaya jahiliah hinggap dalam praktek keberagamaan. Jangan sampai radikalisme, teror, bom bunuh diri, menyerang petugas keamanan dan makar lahir dari komunitas orang beragama. Sekali lagi agama adalah jalan terbaik yang Tuhan berikan melalui para Nabi, akan abadi sebagai jalan terang berkehidupan. Dimana pun dan kapan pun. Beragama itu keberuntungan bukan kebuntungan nalar dan dogmatis buta. Agama sajian “spesial” bagi orang yang berakal sehat!
Hadirmya ulama-ulama moderat di negeri “Bhineka Tunggal Ika” adalah wajib. Idealnya negeri ini surplus ulama-ulama moderat. Negeri ini sangat membutuhkan ulama-ulama moderat. Makin banyak ulama moderat, gaul, cendikia dan memahami dunia keberagamaan makin baik. NU adalah bagian dari pemberi iklim moderat di negeri ini. NU adalah rumah bagi para ulama moderat. Mereka memahami ke Indonesiaan dengan kental. Jangan sampai para ulama lupa karakter ke Indonesiaan dan lebih mengagungkan karakter non Indonesiaan, ke Barat-baratan atau ke Arab-araban.
Di Jakarta pernah berlangsung International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) dengan tujuan untuk membentuk ulama-ulama moderat yang dapat menjadi tauladan umat Islam diberbagai penjuru dunia. Acara yang digagas oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menghadirkan kurang lebih 400 ulama yang berasal dari berbagai belahan negara di dunia. Ini sangat wow dan positif. PBNU adalah salah satu atau salah utama asset keberagamaan terbaik di negeri ini.
Negeri ini tanpa NU atau PBNU rasanya berisiko melemahnya kadar keberagamaan berbasis budaya Indonesia. Kacang lupa kulit itu tak terlalu bahaya. Hal yang bahaya adalah para penganut agama lupa kesejatian karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Para wali sudah mencontohkan bagaimana da’wah beragama di Indonesia. Faktanya budaya sudah hadir sebelum agama-agama ada. Maka keberadaan kebudayaan harus menjadi katalisator membumikan agama. Agama tanpa budaya tak bisa hidup. Budaya adalah rumah manusia dan agama adalah aturan berumah tangga. Aturan rumah tangga tanpa rumah akan jadi gelandangan. Rumah tanpa aturan pun sama liaranya akan broken home.
Agama dan budaya itu kopel. Agama tanpa melalui budaya tak bisa diterima. Budaya tanpa agama jadi jahil dan tak punya arah spiritualitas. Sungguh indah peradaban tinggi dengan praktek agama yang baik. Sungguh buruk peradaban tinggi namun agama diabaikan. Sungguh ngeri bila ada peradaban maju tetapi praktik ritual agamanya hilang. Sungguh ngeri pula bila ada negara atau bangsa yang ritual agamanya ta’at dan ketat tetapi miskin dan terbelakang. Ada yang salah keduanya.
Surplus ulam-ulama moderat di negeri ini bahkan di dunia sangat-sangat dibutuhkan. Sosok Gus Dur adalah icon ulama moderat. Hidupnya memang kontroversial tetapi daya ademnya luar biasa. Bahkan makamnya pun sampai saat ini masih dikunjungi ribuan umat manusia. Daya adem dan “pema’afan” atau toleransi Gus Dur pada perbedaan dan ekstrimitas pemahaman agama sangat wow.
Ungkapan “Kok repot-repot” ala Gus Dur adalah representasi bahwa agama ini jangan di bawa repot. Sejatinya agama membawa kemudahan. Pemahaman Gus Dur agama itu untuk manusia bukan manusia untuk agama. Entitas manusia harus ditempatkan di posisi termulia.
Bila kita memahami ajaran agama yang “mengiyakan” bahwa ciptaan Tuhan paling sempurna adalah manusia. Tak dapat dibantah bahwa segala sesuatu atau entitas segala sesuatu berada di bawah kualitas penciptaan manusia. Surga neraka diciptakan untuk manusia. Bumi alam jagat raya pun diciptakan untuk manusia. Bahkan dunia dan seisinya diciptakan dahulu oleh Tuhan sebelum Adam dan Hawa di turunkan ke bumi. Segalanya sudah “dikhidmatkan” untuk manusia. Sederhanya manusia adalah “bintang tamu” di dunia ini dan “Nikmat apalagi yang akan umat manusia dustakan”.
Manusia tinggal hidup dengan baik. Ikuti perintah Tuhan yang sudah dicontohkan para Nabi. Keberadaan manusia adalah keberadaan ciptaan Tuhan terbaik. Ia harus berperforma manusiawi bukan hewani. Manusia yang sebenarnya manusia adalah manusia yang berusaha memberikan manfaat pada sesama tanpa batas diskriminasi.
Agama dan urusan dunia adalah pilihan. Bahkan seseorang beragama pada umunya adalah keturunan. Plus di negara mana kita dilahirkan identik dengan agama yang dianut negara tersebut. Bila kita lahir di Brunai kemungkinan kita beragama Islam. Bila kita lahir di Bali kemungkinan kita beragama Hindu. Jangan salahkan orang menganut agama apa. Salahkan saja orang yang menganut agama tetapi salah memahami ajaran agamanya.
Kelahiran, kehidupan, kematian dan agama seseorang sangat dominan campur tangan Tuhan. Mari kita menjadi penganut agama yang moderat. Memahami keberagamaan, melek agama dan tidak menutup wawasan dari pemahaman agama lain. Hidup adalah proses belajar, termasuk dalam keberagamaan. Hidup kurang belajar bisa menghadirkan sikap dan sifat kurang ajar. Kurang ajar pada diri, keluarga bahkan pada penganut agama yang lain.
Sifat moderat dari para ulama moderat semoga menjadi bekal bermasyarakat bagi kita. Semoga akan lebih banyak ulama moderat di negeri ini. Semoga Siapa saja yang mengajak radikalis dan menjelekan pemimpin di sebuah negeri yang sedang berusaha memperbaiki makin lenyap, menguap. Amiiin ya robal alamiin.