Senin, Februari 10, 2025

Desa Agro-ekowisata, Sebuah Konsep Terobosan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan

Oleh: Dr. Ir. Wawan Lulus Setiawan, MSc.AD*)

Masalah utama dalam perekonomian Indonesia adalah   kemiskinan.  Pada  tahun 2017,  Data BPS (2017) menunjukkan bahwa jumlah orang miskin  (orang-orang yang memiliki pengeluaran di bawah garis kemiskinan) mencapai 26,58 juta (10,12 persen dari populasi ). Jumlah orang miskin di daerah pedesaan (13,93 persen) lebih besar daripada di daerah perkotaan (7,72 persen).  Sedangkan  mayoritas penduduk adalah petani yang dominan dicirikan dengan  skala kecil kepemilikan tanah (kurang dari 0,5 ha) dan akses terbatas terhadap  sumber daya yang diperlukan dan  pasar. Agro – ekowisata merupakan salah satu upaya untuk mengurangi  kemiskinan melalui sektor pariwisata yang  dikenal sebagai Community Based Tourism  (CBT). Kegiatan pariwisata tersebut melibatkan masyarakat setempat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat selain menjaga nilai-nilai budaya dan lingkungan setempat. Hal ini sejalan dengan Kercher (2003) bahwa dalam pengembangan berkelanjutan industri tourism, ada tiga faktor yang tidak dapat diabaikan, yaitu (1) pemeliharaan masalah ekologi, (2) hubungan dengan masyarakat lokal dan (3) kepuasan wisatawan.

Konsep agro-ekowisata menarik untuk dinilai seberapa jauh hal itu bisa menurunkan kemiskinan di daerah pedesaan. Berdasarkan latar belakang tersebut, konsep ini diterapkan oleh penulis di Desa Lebakmuncang Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Lebak Muncang  memiliki  alam dan tampilan yang menarik karena terletak di perbukitan daerah pertanian. Daerah ini mencakup area  sekitar 9 , 659 ha, meliputi  3.477 ha dari perumahan, 3574 ha  perkebunan, dan 2,511 ha sayuran dan palawija . Komoditas pertanian dibudidayakan oleh penduduk desa di lokasi yang jagung, ubi jalar, paprika, bawang, bawang putih, tomat, kubis, kentang, seledri, dan lain-lain.

Kerangka Konseptual      

Konsep agro- ekowisata adalah pengembangan  dari agritourism dan ekowisata yang menawarkan pengalaman kepada pengunjung tentang kehidupan daerah pertanian. Pengunjung mendapat kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh petani dan nelayan. Agro – ekowisata merupakan upaya untuk mengembangkan  pariwisata  yang menekankan prinsip-prinsip konservasi, pendidikan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat  lokal. Sementara ekowisata berbasis alam dan agrowisata berbasis pertanian, agro-ekowisata merupakan kombinasi keduanya.

Bank Dunia menangani masalah kemiskinan melalui sektor pariwisata yang kemudian dikenal sebagai Communitu Based Tourism (CBT). Kegiatan pariwisata tersebut melibatkan masyarakat setempat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat selain menjaga nilai-nilai budaya dan lingkungan setempat. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mc. Kercher (2003) dalam pengembangan berkelanjutan industri pariwisata, ada tiga faktor yang tidak dapat diabaikan, yaitu (1) pemeliharaan masalah ekologi, (2) hubungan dengan masyarakat lokal dan (3) kepuasan .

Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) memberikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dari industri pariwisata dengan memberikan keseimbangan antara pengembangan aspek lingkungan , ekonomi terutama ekonomi masyarakat lokal, dan sosial dan budaya. Dalam industri pariwisata, pengembangan pariwisata, pengembangan lingkungan, dan pembangunan sosial-ekonomi adalah hubungan sirkuler dan kumulatif (Cater dan Goodall, 1997: 85).

Agro – ekowisata pada dasarnya adalah industri agro yang dikelola dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi, tetapi juga memberikan nilai tambah lainnya seperti rekreasi luar ruangan (ekowisata), nilai keindahan, estetika, nilai ilmu pengetahuan dan pendidikan, dan nilai-nilai sosial lainnya, dalam arti menggerakkan partisipasi masyarakat dan lembaga ekonomi ( UKM dan koperasi). Dengan demikian, agro – ekowisata memiliki nilai ganda jika dikelola dengan baik (Setiawan dan Alikodra, 2001 : 39-46 ).

Ringkasan kerangka konseptual agroekoturisme yang telah dijelaskan di atas dapat diulangi dengan paradigma ekowisata dari Ross dan Wall, 1999 seperti yang disajikan pada Gambar 1. sebagai berikut:

Gambar 1 Paradigma Agro-ekowisata (Ross and Wall, 1999 : 129)

Studi  ini  dilakukan mulai Juli 2010 sampai dengan Desember 2010 dengan metode participatory action research, untuk 30 petani  dan dievaluasi dari 5 Mei 2018 sampai dengan 12 Mei 2018, delapan  tahun kemudian setelah program dilaksanakan.   Studi ini dilakukan bekerja sama dengan Pusat Inovasi UMKM  – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Peserta program ini masyarakat dari tiga kampung, yaitu Huluwotan, Pameuntasan, dan Nanjung. Di setiap kampung , kami  10 keluarga / rumah tangga   yang dipilih berdasarkan proses seleksi yang diikuti oleh tokoh masyarakat setempat , dengan kriteria sebagai berikut: (a) memiliki rumah tinggal, dan (b) memiliki lahan pertanian sendiri.

Adapun tahapan kegiatan pembangunan Desa Wisata Lebak Muncang adalah disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Tahapan Kegiatan Program Desa Wisata Lebak Muncang

Kekuatan utama dari program ini adalah pada pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Desa Wisata. Tugas Pokja adalah melakukan pengaturan kegiatan wisata mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi. Keunikan kegiatan wisata ayang dilakukan oleh wisatawan di desa wisata Lebak Muncang  adalah sebagai berikut:

  1. Home-stay : Turis tinggal di rumah penduduk setempat (peserta program)
  2. Berkebun: turis menanam sayuran (strowberry, tommato, dll) di kebun para peserta
  3. memasak makanan: turis berlatih membuat makanan lokal dan tradisional
  4. Tracking: turis berjalan -jalan di sepanjang jalur menuju bukit.
  5. Penampilan seni : turis membawakan pertunjukan musik tradisional yang disebut bangkong reang .
  6. Pendidikan seni: praktik wisata  instrumen musik tradisional degung / gamelan .
  7. pengolahan  kopi luwak  : praktek pengolahan kopi, mulai dari kopi biji seleksi, yang dilakukan oleh hewan Luwak, pengeringan, dan penggilingan biji kopi.
Gambar 2. Pendidikan agrowisata dilaksanakan outdoor di halaman rumah warga (foto doc pribadi) Gambar 3. Wisatawan Papua sedang berlatih seni “bangkong reang” (foto doc pribadi) Gambar 4. Wisatawan Papua sedang praktek budidaya strobery (foto doc. Pribadi)

Hasil Evaluasi

Angka pariwisata di lokasi berdasarkan evaluasi akhir yang dilakukan dari 4 April 2018 hingga 6 April 2018. Ada tiga poin evaluasi, (1) jumlah rumah tangga sebagai peserta kelompok, (2) jumlah wisatawan dalam 2017 dan (3) dampak pariwisata terhadap ekonomi peserta program (kelompok sasaran).

Jumlah rumah tangga sebagai peserta  kelompok agroekowisata di lokasi telah meningkat dari 30 pada awalnya menjadi 67 rumah tangga. Jumlah wisatawan yang mengunjungi lokasi pada tahun 2017 adalah 1.810 orang ( dalam  21 kelompok , berkisar antara 30 sampai 250 orang per kelompok ). Mereka tidak hanya berasal dari Jawa Barat, tetapi juga dari provinsi lain di Indonesia, dan dari negara lain, seperti Malaysia, Singapura, dan Itali .

Turis yang akan menikmati agroecotourism di lokasi harus membayar Rp 400.000. 00 untuk homestay untuk satu hari tinggal, untuk dua orang turis, dan Rp 150,000.00  untuk praktek pertanian. Selain itu, mereka juga harus membayar  kepada pokja  untuk kegiatan pariwisata lainnya seperti tracking, praktik pengolahan makanan, praktik pengolahan kopi, dan pertunjukan seni  sebesar Rp 10.000,00 untuk setiap orang wisatawan. Dengan demikian agrowisata di Desa Lebak Muncang telah mampu memberikan penghasilan tambahan keluarga bagi para peserta program.

Desa Wisata Lebak Muncang, kini menjadi desa wisata unggulan di Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat, dan dikutsertakan dalam lomba desa wisata tingkat nasional mewakili Jawa Barat.

Program Tindak Lanjut .

Berdasarkan temuan yang diperoleh dari langkah terakhir, maka kita dapat menemukan ada kebutuhan untuk mengembangkan lembaga pokja, sehingga menjadi lembaga berbadan hukum. Dengan lembaga yang berbadan hukum mereka akan memiliki lebih banyak akses untuk kolaborasi dengan lembaga-lembaga formal lainnya, sebagai sumber teknologi, sumber keuangan,  pasar, sumber informasi, dan lembaga pemerintah. Lembaga yang sesuai untuk mereka adalah lembaga koperasi, Pengembangan kelembagaan koperasi ini harus melalui langkah-langkah pengembangan pra-koperasi, kemudian pembentukan koperasi, agar koperasi yang dibentuk dapat berjalan dengan mapan.

*) Dr.Ir. Wawan Lulus Setiawan, MSc.AD, Lektor Kepala pada Program Pasca Sarjana Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN)

Related Articles

Media Sosial

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Berita Terbaru