Boydo Panjaitan Berang, Tantang Pemko Apakah Berani Menggusur Center Point dan Merdeka Walk
Pewarta : Ester
Koran SINAR PAGI, Kota Medan,- Ketua Komisi C DPRD Medan Boydo HK Panjaitan SH berang melihat perwakilan Bappeda Ratri Utami yang ngotot dengan sikapnya bahwa pedagang kaki lima diberi ruang berjualan jika ada peraturan daerah (Perda) PKL. Padahal Boydo tidak memungkiri kalau Perda itu harus ada, tapi jika PKL warkop Elisabeth yang sudah puluhan tahun berjualan lalu digusur, harus ada solusi bagaimana mereka bisa berjualan kembali.
“Mereka sudah dilegalkan oleh Wali Kota Medan Rahudman Harahap dengan membentuk koperasi pedagang. Kenapa tiba-tiba mereka digusur? Berarti kebijakan Rahudman waktu itu salah. Kalau mau jujur, 80 persen di medan ini melanggar perda, kalau berani, gusur saja Center Point dan Merdeka Walk yang berdiri tanpa perda dan IMB,” kata Boydo ketika rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi C, Bappeda, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Koperasi dan UKM, Satpol PP dan eks pedagang kaki lima depan RS Elisabeth, Rabu (28/08/19) di Komisi DPRD Medan.
Lalu Ratri menjawab sesuai Perda nomor 9 tahun 2009, tidak dibenarkan ada mendirikan bangunan di badan jalan dan di atas parit. Kalau PKL sampai mengganggu lalulintas tidak bisa ditolelir, tapi kalau tidak mengganggu lalulintas masih bisa dimaklumi. Pihaknya belum bisa menerima PKL sebelum ada regulasi sebagai paying hukum memperbolehkan PKL berjualan di dalam taman.
Mendengar jawaban Ratri, Boydo makin berang, dengan suara tinggi dia mengatakan, kalau untuk pedagang kecil tidak pernah ada solusi yang bisa dilakukan pemko. Tahunya hanya menggusur, padahal orang berjualan untuk menghidupi keluarga, tapi berdalih menegakkan perda. Padahal jika untuk pengusaha berduit, Satpol PP tidak berani melakukan penindakan.
“Lima tahun saya di DPRD Medan, hampir setiap hari pedagang datang dengan menangis ke Komisi C ini. Persoalan pedagang Aksara, Kampung Lalang, Sukaramai, Marelan, selalu bermasalah, tidak ada solusi apapun yang dilakukan pemko. Kami hanya butuh solusi agar pedagang tidak terlantar. Warung remang-remang di jalan Juanda apakah pemko berani menggusur?” ucap Boydo dengan nada tinggi.
Dikatakan politisi PDI Perjuangan ini, pihaknya tetap akan merekomendasikan kepada pemko agar eks PKL warkop RS Elisabeth bisa berjualan lagi dengan menggunakan beberapa meter lahan di taman Ahmad Yani. Karena para pedagang sangat dibutuhkan terutama keluarga pasien yang dirawat inap di RS Elisabeth. RDP turut dihadiri anggota DPRD lainnya seperti Beston Sinaga dan Modesta Marpaung.
Pihak Dinas Kebersihan dan Pertamanan juga keberatan Taman Ahmad Yani dipakai untuk pedagang. Karena sesuai UU, harus ada20 persen ruang terbuka hijau di Medan. Apalagi di dalam taman sudah dibangun sejumlah asset milik pemko dan jogging track serta alat-alat olahraga lainnya. “Segala kegiatan berupa acara tidak kami perkenan di taman, kecuali orang untuk berkunjung dan berolahraga. Apalagi sampai membongkar pagar dan menebang pohon,” kata Surya Darma dari Dinas kebersihan dan Pertamanan.
Beston Sinaga meminta agar Dinas Kebersihan dan Pertamanan lebih memintingkan kepentingan rakyat banyak. Karena taman tidak salah dipakai untuk pedagang kalau ditata dengan baik, apalagi sifatnya tidak permanen. Boydo juga mencontohkan Wali Kota Bogor waktu masa Ridwan Kamil menata PKL di pinggir jalan sampai di bawah jalan tol, begitu juga di Surabaya.
Menurut Boydo, wali kota harus mensyukuri ada perputaran ekonomi yang tinggi di malam hari. Karena akan menghasilkan PAD untuk pemko dari retribusi dan parkir. “Apakah harus kita gusur ketika ada kegiatan ekonomi hanya karena PKL tidak ada diatur dalam perda. “Rekomendasi kami bukan untuk melanggar hukum, tapi kami dari dewan berhak mengaturnya kembali untuk keepentingan orang banyak. Kalau wali kotanya cerdas, tidak mungkin keramaian yang menghasilkan transaksi ekonomi yang besar digusur,” tegasnya.