Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PB PGRI)

Bagi kalangan umat muslim dan mungkin juga penganut agama lainnya ada sebuah kebiasaan bangun malam. Melakukan ritual tengah malam, berdoa dan berdialog dengan Tuhan. Nampaknya bagi sebagian orang sudah menjadi kebiasan. Ini habituasi yang sangat baik. Bangun malam untuk shalat dan berdzikir adalah hal yang wow.

“Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu…”(Al-Israa’/17:79). Sungguh sangat istimewa bangun malam untuk sholat. Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam (HR Muslim). Bahkan sejumlah orang mengatakan bahwa mengapa shalat malam jauh lebih khusu?

Malam yang hening dan jiwa yang tenang sesudah melintasi istirahat bisa membuat shalat dan dzikir menjadi khusu. Khusu dan jiwa yang bersih bisa menyebabkan “koneksi” pada Ilahi lebih terasa. Ibarat membuka akses internet di siang hari dengan tengah malam sangatlah berbeda.

Sebagai muslim yang masih belajar dan penuh dosa Saya pun merasakan dahsyatnya shalat malam. Sang Malam dan dzikir malam adalah paduan wow bagi pengalaman spiritual.

Spiritulitas seseorang akan sangat menentukan bagaimana Ia hidup di alam realitas. Bukankah konon para sahabat Nabi saat malam suka menangis dihadapan Tuhannya namun siangnya bagaikan singa yang ganas?

Melow saat malam berhadapan dengan Tuhannya namun gesit dan tangkas pada siang hari saat berhadapan dengan tantangan kehidupan. Bahkan para sahabat bagaikan “singa” pada siang hari dalam mengawal da’wah. Mengapa tidak kita pun meniru apa yang dilakukan para sahabat Nabi.

Andaikan semua warga negara bangsa Indonesia apa pun agamanya terbiasa bangun malam dan menghadap Tuhannya sungguhah indah. Kehalusan rasa, kedekatan dengan Ilahi dan mencintai kehidupan dan sesama mungkin akan lebih baik. Radikalisme, hujat, hoaxs, kebencian dan merasa paling benar berangsur akan minimize dengan reflektif bangun malam, amin.

Semua akan sepakat bahwa bangun malam berdzikir pada Ilahi melakukan reflektif akan sangat baik. Evaluasi duniawi dan rohani bisa dilakukan seseorang saat bangun malam dan berhadapan dengan Tuhannya. Ia bisa mendapatkan pencerahan dan menyimpulkan diri bahwa betapa hidup ini hanya sebentar dan harus bermanfaat.

Sebagai penulis, pendidik dan pengurus organisasi profesi guru (PGRI) Saya mengajak konsep “BANGUN MALAM PLUS.” Apa itu bangun malam plus? Sederhana saja. Setelah kita bangun malam, sholat dan berdoa lakukan sebuah tambahan. Insyaallah akan sangat bermanfaat yakni menulis. Menuliskan ide dan gagasan cerdas pasca shalat malam.

Ada gagasan atau ide apa pasca shalat malam yang akan bermanfaat bagi umat manusia? Tuliskan! Kalau hanya shalat malam dan berdoa itu sangat mainstream. Semua orang bisa melakukannya. Bisakah anda kemudian menuliskan ide atau sebuah substansi kehidupan dari puncak dzkir anda dihadapan Tuhan?

Begawan dan maha guru Prof.Surya menyatakan bahwa tulisan itu sangat bermanfaat melintasi ruang dan waktu. Tulisan menembus silaturahmi lintas generasi. Orang yang sudah meninggal bahkan bisa “bersilaturahmi” dengan generasi yang masih hidup melalui hasil tulisannya. Bukankah kita bisa membaca sebuah kitab hasil tulisan orang yang sudah tiada?

Faktanya ada “silaturahmi” intelektual antara Si Pembaca yang masih hidup dengan Si Penulis yang sudah tiada. Betapa indahnya bila pasca shalat malam, reflektif malam, setiap orang menuliskan temuan reflektif tansendennya untuk orang lain. Hidup yang baik adalah hidup yang bermanfaat bagi orang lain.

Bangun malam plus harus menjadi agenda kita semua. Terutama bagi para guru dan pengurus organisasi profesi guru (PGRI). Para guru harus memperbanyak bangun malam begitu pun para pengurus organisasi PGRI. Mengapa? Agar ada ide-ide segar, lebih kreatif dalam mengajar dan lebih dedikatif dalam mengurus organisasi PGRI. Tidak jumud dan sisa waktu.

Faktanya bisa terjadi penulis yang baik bukan pembangun malam yang baik. Atau pembangun malam yang baik bukan penulis yang baik. Idealnya pembangun malam yang baik plus penulis yang baik. Pepatah bijak mengatakan “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan tulisan yang bermanfaat”.

Sehebat dan sesoleh apapun kita bila “best practicenya” tidak didokumentasi pada sebuah tulisan maka akan raib dan hilang sayup-sayup. Namun sebaliknya sesederhana apapun “best practice” yang telah kita lakukan akan bermanfaat bila dituliskan. Setiap pengalaman lahir dan bathin tentu ada manfaatnya.

Bila para sahabat Nabi dahulu (zaman budaya lisan bukan budaya menulis) di ujung malam cukup dengan menangis maka kita saat ini harus cukup ditutup dengan menulis. Bangun malam, shalat, berdzikir, berdoa, menangis plus menulis. Tulisan itu bisa abadi, dibaca dan hidup dalam pemikiran kolektif umat. Usia itu terbatas, tuntas dan berakhir di pembaringan abadi.

Sungguh indah bila bangsa kita tidak hanya agresif di siang hari namun aktif bangun malam, plus menulis. Budaya bangun malam dan literasi dini hari akan sangat positif. Manusia adalah mahluk hidup di malam dan siang hari. Malam reflektif, siang aktif. Bangsa yang besar adalah bangsa yang kaizenis, memperbaiki diri terus menerus.