Oleh : Dimasmul Prajekan
(Praktisi Pendidikan)
Kongres PGRI 2019,merupakan Kongres yang sangat strategis. Sebab Kongres ini berada pada peralihan pemerintahan lama ke pemerintahan baru. Siapapun Presiden yang terpilih diharapkan memberikan spirit baru terhadap pertumbuhan dan eksistensi PGRI.
Saling lirik dan saling sorot diantara kader untuk dicalonkan dan mencalonkan sebagai Kandidat Pengurus Besar PGRI kian ramai mewarnai grup – grup wathapp yg ada. Analisis plus minus, bedah rekam jejak terhadap Sang Kandidat semakin nyaring terdengar.
Sebagai organisasi profesi yang dinamis, PGRI tak boleh menutup diri dari denyut nadi perubahan. PGRI yang berada di dalamnya harus mengikuti lika liku perubahan.yang menggelinjang. Kendati kita tetap berhati – hati dan berada pada jalur on the track sesuai ADART. Perubahan yang dimaksud tak harus mengubah jatidirinya sebagai organisasi profesi.
Belakangan ini semakin santer kritikan yang dialamatkan kepada PGRI, karena organisasi para guru, tapi pengurusnya justru bukan guru. Bahkan di beberapa kabupaten kota, PGRI diurus oleh orang – orang yang tidak memiliki latar belakang guru.
Secara jujur ini ironi. Keadaan yang kian menyulitkan para kader di bawah, sebab keinginan di atas tidak berjalan paralel dengan harapan di akar rumput. Kritikan bahwa organisasi guru harus diurus oleh guru ada benarnya. Mengapa muncul organisasi tandingan, salah satu penyebabnya adalah PGRI belum mampu mengakomudasi keinginan keinginan untuk kian profesional di akar rumput.
Maka kata kuncinya, PGRI harus berubah. Penguruspun harus berubah. Kaderpun wajib berubah. Anggotapun harus berubah. Sebagai upaya untuk menyambungkan aspirasi yang tengah berkembang dan menjadi ‘mainstream’ para kader benar -benar mempersiapkan para kandidat yang mumpuni sesuai karakter zaman. Berikan panggung yang cukup bagi para guru untuk berkiprah. Pilihlah wajah – wajah terbaik guru yang merepresentasikan suara guru.
Secara pribadi saya menginginkan kepengurusan mendatang adalah kepengurusan yang fresh, lincah,trengginas,inovatif, dan benar benar tulus mewakafkan paruh waktunya untuk memikirkan PGRI. Oleh sebab itu kehadiran orang – orang yang enerjik, lincah,dan berprestasi harus diberi kesempatan mengabdi lebih banyak di PGRI.
Pada saat yang bersamaan, PGRI ke depan diharapkan terlepas dari kepentingan politik manapun. Disinilah kita butuh figur yang mendarahdaging pikirannya hanya untuk PGRI. Bukan PGRI politik praktis. Bukan pengurus yang berorientasi pada kepentingan politik sesaat. Apalagi PGRI hanya menjadi ‘terminal transit’ untuk menunggu gerbong yang memuat kepentingan yang lebih menggiurkan.
PGRI sudah tak boleh lagi terkontaminasi oleh virus – virus kepentingan jangka pendek dan murahan. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membawa PGRI lebih berkibar dan diakui keberadaannya oleh pemerintah. Ironi bukan jika sampai saat ini PGRI belum legitimate sebagai organisasi profesi. Inilah tugas mulia para pengurus di PB PGRI agar PGRI benar benar diakui keberadaannya.
Hangatnya para kader merespon gawe lima tahunan Kongres PGRI adalah dinamika yang wajar. Saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri, bahwa masa depan PGRI terletak pada Sang Pewaris Pengurus terpilih,bukan orang lain.
Membaca semangat perubahan yang ada prakongres, kita mulai membaca banyak harapan kaum muda bahwa Kongres nanti menjadi era peralihan dari generasi tua kepada generasi milenial.??? Demikian pula kaum muda PGRI yang memiliki potensi mumpuni untuk menakhodai PB PGRI harus diberi ruang yang cukup untuk mengabdi di PGRI.
Tentu semua harapan kaum muda itu terpulang pada setiap peserta Kongres.
Pilihan akan terpulang kepada hati nurani. Sosok milenial seperti Adinda DNK, Budi Setia Baskara, Syam Zaini dan sederet sosok muda lainnnya. Secara kasat mata sosok seperti itulah terbukti ampuh untuk menjadikan PGRI berwajah muda. Lihatlah di media sosial PGRI menjadi trending topic di saat mereka berkomentar. PGRI kian bertambah genit dan menjadi magnet bagi kaum muda PGRI lainnya.
Keberhasilan DNK saat memimpin PGRI Sukabumi, contohnya, telah mampu mengelaborasi peran PGRI di kotanya. Hal ini tentu cukup menjadi bekal hijrah ke Tanah Abang.Sosok yang low profile lincah, mudah bergaul, punya kekuatan literasi, menjadi modal awal untuk berinteraksi pada lahan yang lebih luas di ibukota.
Saya yang berada di plosok, jauh dari denyut Ibukota, hanya berharap PGRI ke depan PGRI mampu memainkan peran yang menggairahkan. PGRI harus menjadi teman yang kritis bagi setiap pengambil kebijakan.
Saya cukup intens berkomunikasi dengan kader PGRI, rata – rata diantara mereka berharap PGRI menjadi semakin lincah dan gesit. Kelincahan itu akan berjalan paralel dengan semangat milenial. Bukankah Bung Karno sendiri yang mengelu – elukan kaum muda, yang dianggap mampu menghancurkan puncak Gauri Sangkar ketimbang orang tua.
Pada sisi lain, kita sudah bisa memulai proses abdikasi.Dengan jiwa tawadduk, karena faktor – faktor fisik dan psikis yang terus menunjukkan penurunan, siap untuk memberi panggung bagi kaum muda. Betapa Gus Dur begitu memanjakan kaum muda saat jadi Presiden. Mahfud MD yang masih muda saat itu didapuk menjadi Menteri Pertahanan padahal ia tak berpengalaman dalamjabatan baru itu.
Setelah sekian periode mengukir pengabdian lewat PGRI, ada saatnya kita untuk menjadi Semar dan Bapak Bangsa. Ada saatnya kita mengabdi dan berkompetisi, ada saatnya kita melakukan abdikasi, dengan tulus memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk mengukir kreasi dan prestasi. Siapkah kaum muda untuk berkreasi dan Mengabdi? Atau yang lain akan melakukan Abdikasi.? Entahlah.Semua terpulang kepada hati nurani.
Selamat berkongres!!!!