Oleh:
Wawan Lulus Setiawan*)
Kita bersyukur bahwa pada tahun 2017, Indonesia sudah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah dengan rata-rata pendapatan nasional kotor (GNP) perkapita 3.604 dolar AS. Namun sejauh ini, Indonesia pun masih menghadapi benerapa persoalan pokok dalam pembangunan ekonomi. Masalah-masalah tersebut yaitu pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa jumlah rakyat miskin Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 % total penduduk) berdasarkan garis kemiskinan BPS 92017) sebesar Rp 370.910/orang/bulan. Sedangkan atas dasar garis kemiskinan internasional (2 dolar AS/orang/hari) jumlahnya mencapai 110 juta orang atau 40 % total penduduk. Jumlah pengangguran terbuka dan setengah menganggur masih sangat tinggi, sekitar 40 juta orang atau 31,25 % dari total angkatan kerja 128 juta (BPS, 2018). Ketimpangan ekonomi antara kelompok miskin dan kaya juga sangat tinggi yang tercermin dari koefisien Gini sebesar 0,391.
Apabila tiga masalah pokok tersebut yang berupa pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi itu tidak teratasi, dikhawatirkan Indonesia akan gagal mengambil manfaat dari bonus demografi pada tahun 2020 – 2040 dan terjebak sebagai negara berpendapatan menengah alias tidak bisa menjadi negara yang maju, adil makmur dan berdaulat sesuai cita-cita kemerdekaan NKRI.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memutuskan mata rantai ketiga masalah pokok tersebut adalah menumbuhkan wirausaha-wirausaha muda. Para wirausaha muda ini diyakini di masa yang akan datang akan menjadi pelaku ekonomi tangguh yang mampu menciptakan peluang-peluang usaha baru yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, memanfaatkan sumberdaya alam Indonesia secara optimal dan produktif, dan memperkuat posisi ekonomi Indonesia di pasar internasional.
Saat ini jumlah wirausaha Indonesia baru mencapai 3.1 persen dari jumlah penduduk (BPS 2017). Indonesia masih tertinggal dari negara lain seperti Malaysia (5 %), China (10 %), Singapura (7 %), Jepang (11 %) maupun Amerika Serikat (12 %) (Menteri Koperasi dan UKM dalam https://kumparan.com.). Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya penumbuhan wirausaha baru tersebut.
Pihak Pemerintah Indonesia telah memahami hal ini. Maka semenjak beberapa tahun gterakhir Pemerintah telah giat melaksanakan program pendidikan kewirausahaan bagi generasi muda termasuk bagi para siswa di sekolah menengah, baik Sekolah Menengah Umum (SMA) maupun Kejuruan (SMK). Untuk maksud tersebut Pemerintah telah menerbitkan landasan hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2011 Tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dimnaa di dalamnya tercantum kompetensi kewirausahaan sebagai salah satu kompetensi yang diharapkan oleh Standar Kompetensi Lulusan, khususnya di sekolah menengah. Dengan landasan hukum tersebut, saat ini pendidikan kewirausahaan sudah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di SMA dan SMK sehingga menjadi pendidikan wajib bagi para siswa.
Dalam tahu akademik 2018/2019 yang lalu selama dua semester Penulis melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di Kabupaten Garut untuk sosialisasi pendidikan kewirausahaan bagi Guru-guru dan siswa sekolah menengah, baik SMA dan SMK. Kegiatan pengabdian masyarakat ini mendapat sambutan yang sangat baik, baik dari guru-guru maupun para siswa. Dari kegiatan ini ada dua masukan penting yang didapat dari para guru, yaitu; (1) di SMA dan SMK saat ini masih kekurangan guru bidang studi kewirausahaan yang memang memiliki kompetensi sebagai guru kewirausahaan, dan (2) para guru belum memiliki metode pendidikan yang tepat untuk pendidikan kewirausahaan bagi para siswa.
Terkait persoalan yang kedua, yaitu metode pendidikan kewirausahaan di sekolah, Penulis pada saat lokakarya pendidikan kewirausahaan dengan guru-guru mengajukan sebuah metode pendidikan kewirausahaan yang telah lama dilakukan di Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN) yaitu metode Inkubator Bisnis. Bahkan metode ini telah digunakan pula di banyak perguruan tinggi di Indonesia bahkan di dunia.
Tentang inkubator bisnis, Penulis telah berpengalaman selama 10 tahun menjadi Direktur Pusat Inkubator Bisnis IKOPIN (PIBI), dan karena itu merasa sangat yakin dari pengalaman yang telah dilakukan bahwa metode ini efektif sebagai metode pendidikan kewiraushaan di kampus bagi para mahasiswa dan masyarakat pengusaha yang menjadi binaan. Namun Penulis juga yakin bahwa metode inkubator bisnis juga dapat diterapkan di sekolah menengah bagi para siswa.
Apa Inkubator Bisnis itu?
Setiawan, Wawan Lulus (2004) menjelaskan bahwa secara sederhana inkubator bisnis adalah fasilitas kecil dengan sedikit staf manajemen yang terlatih dengan baik dan menyediakan tempat / ruang untuk bisnis, fasilitas bisnis bersama, dan akses ke layanan teknis dan bisnis dalam satu paket yang terjangkau. Dukungan ini diperlukan untuk memulai bisnis karena dapat mengurangi beban biaya awal dengan penggunaan sistem berbagi biaya di antara para tenant. Selanjutnya, jika Inkubator Bisnis dipandang sebagai suatu proses sistem, maka dalam inkubator bisnis akan ditemukan berbagai indikator sebagai berikut:
(1) Para calon wirausaha, sebagai hasil seleksi, kemudian disebut tenant.
(2) Fasilitas yang diperlukan untuk pengoperasian inkubator dan untuk layanan tenant;
(3) Staf manajemen yang bertindak sebagai fasilitator atau pelatih / konsultan untuk tenant;
(4) Kurikulum manajemen, teknis atau kewirausahaan sesuai dengan kebutuhan tenant;
(5) Metodologi pelatihan atau mentoring
(6) Lingkungan lokal di mana inkubator bisnis melaksanakan kegiatan, seperti lingkungan masyarakat petani, komunitas pengrajin, pedagang dan sebagainya;
(7) Output yaitu tenant yang telah lulus dari program inkubator bisnis dan telah siap menjadi wiraswasta mandiri.
Secara konsepsi peranan inkubator sangatlah penting bagi usaha kecil pemula. Menurut Hon. Peter Reith, MP (2000), bahwa inkubator dirancang untuk membantu usaha baru dan sedang berkembang sehingga mapan dan mampu meraih laba dengan menyediakan informasi, konsultasi, jasa-jasa, dan dukungan yang lain. Secara umum inkubator dikelola oleh sejumlah staf dengan manajemen yang sangat efisien dengan menyediakan layanan “7S”, yaitu: space, shared, services, support, skill development, seed capital, dan synergy. Space berarti inkubator menyediakan tempat untuk mengembangkan usaha pada tahap awal. Shared ditujukan bahwa inkubator menyediakan fasilitas kantor yang bisa digunakan secara bersama, misalnya resepsionis, ruang konferensi, sistem telepon, faksimile, komputer, dan keamanan. Services meliputi konsultasi manajemen dan masalah pasar, aspek keuangan dan hukum, informasi perdagangan dan teknologi. Support dalam artian inkubator membantu akses kepada riset, jaringan profesional, teknologi, internasional, dan investasi. Skill development dapat dilakukan melalui latihan menyiapkan rencana bisnis, manajemen, dan kemampuan lainnya. Seed capital dapat dilakukan melalui dana bergulir internal atau dengan membantu akses usaha kecil pada sumber-sumber pendanaan atau lembaga keuangan yang ada. Synergy dimaksudkan kerjasama tenant atau persaingan antar tenant dan jejaring (network) dengan pihak universitas, lembaga riset, usaha swasta, profesional maupun dengan masyarakat internasional.
Sebagai sebuah sistem komunikasi pendidikan, inkubator bisnis dapat digambarkan sebagai berikut:
Melihat bahwa inkubator bisnis telah berhasil digunakan sebagai metode pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi, khususnya di IKOPIN, maka tidak berlebihan jika Penulis merekomendasikan agar inkubator bisnis dapat diterapkan dan dikembangkan juga di sekolah menengah.***
Dr. Ir. Wawan Lulus Setiawan, MSc.AD. Lektor Kepala pada Institut Manajemen Koperasi Indonesia *)