Oleh : Dudung Nuruluh Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Sungguh beda kepala itu beda pemikiran, lain ladang lain belalang, lain latar belakang lain pula perspektif. Ada “keunikan” dalam diri kita semua. Kelainan itu adalah sebuah perbedaan yang menunjukan kita ini tidak sempurna dan memiliki keterbatasan. Allah tunjukan kesempurnaan-Nya melalui ketidaksempurnaan semua makhluknya. Kesempurnaan milik Allah, ketidaksempurnaan dan kefanaan milik makhluk-Nya. Malaikat, Jin, Syeitan, anda dan Saya adalah makhluk yang sama-sama fana dan tidak sempurna.
Sejak pra dan pasca Pilpres dunia medsos benar-benar rame, heboh dan selalu menarik menjadi kajian sosial. Terutama bagi para guru sebagai pendidik. Setidaknya dunia medsos menjadi wajah dan karakter sebagian bangsa Indonesia.
Ungkapan bijak mengatakan, “Bila ingin melihat masa depan sebuah bangsa, lihat apa yang terjadi di ruang kelas.” namun pepatah ini sudah tidak terlalu sahih lagi. Ada pepatah baru yang mengatakan, “Bila ingin melihat masa depan sebuah bangsa, lihat narasi dan dinamika yang terjadi di dunia medsos”.
Sahabat pembaca yang budiman. Saat ini ada dua tokoh yang seleb banget. Pertama Menteri Puan Maharani dan kedua Ketua Umum PB PGRI Prof.Dr.Hj.Unifah Rosyidi,M.Pd. Dua tokoh ini sedang menjadi “trendsetter” dunia maya saat ini. Mengapa menjadi orang yang sangat beken saat ini ? Terkait dengan pernyataan Menteri Puan Maharani dan diapresiasi oleh Prof.Unifah Rosyidi. Dikalangan publik terjadi salpam (salah paham), plus terjadi gorengan yang digoreng.
Dalam bahasa Sunda goreng itu artinya jelek. Mengoreng sebenarnya bermakna menjelek-jelekan. Ibu Puan Maharani cucu Pahlawan Nasional dan Prof.Unifah pejuang guru ini telah salah dipersepsi. Bahkan tidak sedikit tokoh organisasi profesi diluar PGRI ikut bernarasi. Perkataan Bu Puan itu tidak salah Ia berpendapat “mengundang” guru-guru atau instruktur dari luar negeri untuk TOT. Prof.Unifah sebagai Ketua PB PGRI tentu setuju bila ada rencana peningkatan kompetensi guru.
Justru ada sebuah fakta sejarah atau jejak digital yang unik. Coba kita baca di dunia maya sangat banyak beritanya sebagai berikut, “Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi Mardani Ali Sera mengatakan, impor guru demi “memperbaiki kualitas pendidikan.” Politikus asal PKS ini menyebut guru bisa didatangkan dari “Finlandia, Eropa, dan Amerika. “Ini adalah wacana BPN. Kalau tidak salah dalam debat Capres Parabowo pun mengatakan rencana impor guru. Mengapa tidak ada yang menggoreng ? Mayoritas guru tidak seheboh saat ini ? Unik kan ?.
Mengapa pernyataan impor guru dari BPN pada tahun 2018 minus protes ? Jawaban sederhananya adalah masalah like and dislike. Goreng dan gorengan. Sekali orang tidak suka pada regim maka apa pun yang dilakukan salah serba, serba salah, disalah-salahin. Padahal Menko Puan Maharani hanya mengatakan rencana “mengundang” bukan menjadikan pekerja tetap di Indonesia. Akan lebih parah lagi bila Bu Puan Maharani mengatakan mengundang dari China. Wah bisa-bisa bledug dar der dor. Kita sedang Chinaphobia. Padahal Arab Saudi sendiri menggunakan tenaga bangsa China untuk kelancaran transfortasi haji dan umroh.
Kembali ke laptop! Diksi “mengundang” guru menjadi “guru impor” adalah bahasa media. Memang mengundang itu identik dengan mendatangkan. Mendatangkan memiliki padanan kata dengan mengimpor. Impor identik dengan barang. Guru bukan barang. Diksi jurnalistik ini telah menjadi penghangat diskusi saat ini.
Publik dan entitas guru pun terbagi ke dalam tiga persepsi. Sangat tersinggung, apresiasi dan apatis. Ada yang sewooot. Ada yang mendukung dan ada yang cuek ayam. Maksud Saya cuek bebek. Semua tanggapan tergantung apa yang ada diisi kepala dan rasa hati.
Substansi. Sekali lagi SUBSTANSI apa yang digagas Bu Puan Maharani dan diapresiasi Ibu Ketua Umum PB PGRI adalah mendukung peningkatan kompetensi guru. Faktanya mendatangkan guru-guru hebat itu sudah berjalan lama di Kemdikbud. Mengirimkan guru guru Indonesia yang hebat pun sudah lama dilakukan Kemdikbud. Buktinya, Saya DNK pernah dikirim ke Australia selama 21 hari. Pemerintah Australia tidak membayar Saya. Begitu pun kalau guru luar negeri datang ke Indonesia belum tentu dibayar oleh APBN. Negara asal bisa membiayai dalam misi pertukaran guru.
Berikut Saya tulis fakta yang benar. Sekali lagi ini fakta yang benar. Khusus Ketua Umum PB PGRI malah orang terdepan dalam menolak “guru impor” saat BPN menggagas 10 atau 20 persen hadirnya guru impor. Baca medkom.id tanggal 27 November 2018 pukul 15:46. Ketik judul “PGRI: Wacana Impor Guru Tak Bisa Diterima”. Silahkan klik. Jangan lupa jelajah situs lainnya. Ini jejak digitalnya, “Terus terang (impor guru) sangat tidak bisa diterima secara akal. Kalau sampai ada impor guru sementara guru honorer atau yang baru lulus masih mengantre begitu panjang, (kami) merasa sangat dilukai,” ujarnya dalam Metro Pagi Primetime, Selasa, 27 November 2018.
Nah…. Saya sampaikan juga apa yang menjadi pemikiran Mendikbud saat ini terkait “guru impor”. Ini narasi yang Saya terima, Mendikbud menuliskan sebagai berikut: “Bapak dan ibu yang terhormat : Bu Menko PMK melalui saya meminta diluruskan pemberitaan yang agak menyesatkan, beliau tidak mengatakan “impor” tetapi “mengundang” guru atau instruktur untuk TOT (Training of Trainers) Dengan mendatangkan instruktur/guru dari LN untuk meningkatkan kemahiran instruktur/guru Indonesia lebih efisien dari pada mengirim instruktur/guru Indonesia ke LN.
Tidak hanya untuk sekolah tetapi juga untuk lembaga pelatihan yang berada di kementerian lain. Misalnya BLK. Sasaran utama adalah utk peningkatan kapasitas pembelajaran Vokasi di SMK dan STEM (science, technology, Engineering and mathematics). Namun demikian pengirim guru ke LN utk kursus jangka pendek juga tetap dilakukan. Setelah sebanyak 1.200 orang, mudah mudahan bisa segera diberangkat kan kembali. Sehingga target pengiriman guru kursus ke LN 7.000 orang tahun ini bisa tercapai.”
Semoga narasi yang Saya tulis ini memberi informasi lebih clear. Pepatah bijak mengatakan, “Tidak ada gedung yang tak retak, tidak ada orangtua yang tak botak”, apalagi Saya DNK akan sangat penuh “keretakan”, namun sebagai sesama pendidik mari kita hindari keretakan. Keeratan jauh lebih baik. Saya sedang belajar dan akan terus belajar.
Bila saat belajar Saya agak terasa, terasa kurang ajar. Maafkan Saya. Kemuliaan pembaca dan ketinggian wawasan pembaca semoga dapat mengkritis tulisan di atas.
Salam Ramadhan!