Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Menjelang Kongres PGRI Juli tahun 2019 saat ini sedang berkembang dinamika positif dalam tubuh PGRI. Mulai dari tingkat cabang sampai PB PGRI bergeliat berbagai aspirasi dan harapan terkait Kongres PGRI. Kongres adalah ritual lima tahunan, kecuali tahun ini menjadi lebih dari lima tahun, dampak dari perpanjangan masa bakti.
Hal yang menarik selain akan adanya peluang “amandemen” AD ART adalah akan hadirnya suasana kontestasi untuk “Ketua Umum Terpilih PB PGRI” yang baru. Syahwat atau birahi ingin menjadi Ketua Umum atau jajaran pengurus inti mulai menggeliat. Berbagai pertemuan, silaturahmi, komunikasi WA dll. telah dibangun sejumlah tokoh yang berniat melaju ke Gedung Guru Tanah Abang III No.24.
Berbagai langkah, kiat dan modus sudah mulai dijalankan oleh berbagai pihak yang ingin “menduduki” Gedung Guru. Ada pejuang PGRI senior yang sudah lama di PB ingin tetap duduk terpilih. Ada pejuang PGRI senior yang sudah habis periode di daerah ingin tetap terhormat, maju di PB. Ada pula pejuang PGRI senior yang gagal nyaleg. Ada pula sejumlah generasi muda yang mulai gatel ingin ada perubahan dan kebaruan di PB PGRI.
Wah, geliat, giat dan manuver mulai berkembang dengan hangat. Sejumlah nama sudah mulai didaftarkan ke PB PGRI. Semoga tidak ada daftar nama caleg gagal yang akan menularkan kegagalan di rumah perjuangan PB PGRI. Khas unitaristik, independen dan non partisan PGRI, semoga menjadi pertimbangan para pengaju nama-nama ke PB PGRI.
Terutama prinsip NON PARTISAN. Jangan ada tokoh afiliator partai politik didaftarkan! Usahakan nama-nama yang didaftarkan adalah nama-nama pejuang PGRI yang memenuhi kriteria berdasarkan kebathinan para guru. Plus tidak bertentangan dengan AD ART tentunya. Idealnya representatif proporsional sehingga peluang kolaboratif dan sinergi multitalenta lebih memungkinkan.
Organisatoris, akademisi, guru, birokrat, ahli hukum, ahli keuangan dan bahkan ahli lainnya dibutuhkan oleh PB PGRI. PB PGRI harus tampil multitalenta. Saling melengkapi satu sama lainnya. Bukan saling menyalip untuk duduk dan mencari kehormatan. Akhirnya tidak bekerja hanya ingin duduk. Niatnya mencari kehormatan bukan mau mengerjakan sesuatu. Salah alamat seperti ini bisa terjadi.
PB PGRI adalah tempat berjuang, bergerak dan dinamis melayani nasib guru se Indonesia. Ingat potensi diri dan jangan lupa ingat umur. Cocokah kita ikut berkontestasi? Pantaskah bila pasca nyaleg DPRD/DPR RI kemudian ikut “nyaleg” lagi di Gedung Guru? Rasanya kurang elok atau sangat tidak elok menurut Saya. Kecuali menjadi anggota kehormatan dan sesepuh PGRI saja.
Pemerintah akan sangat alergi pada PB PGRI bila dalam rumah guru yang idealnya independen dan non partisan ternyata ada “Veteran” Caleg. Apalagi bila muncul dari partai oposan pada pemerintah. Habis nama baik PB PGRI. Kita akan kesulitan bersinergi. Paradigma koalisi dalam politik itu niscaya. Termasuk PB PGRI harus “berkoalisi” dengan pemerintah yang berkuasa. Syaratnya jangan ada “noktah” politik oposan di dalamnya.
Sahabat juang PGRI sesuai judul di atas setidaknya syarat memilih Ketua Umum PB PGRI ada sembilan alasan. Pertama, Ketua Umum sebaiknya memiliki gelar akademik tertinggi. Mengapa demikian? Karena PGRI adalah organisasi profesi yang mengusung dunia pengetahuan. Menjadi teladan pembelajar dan teladan pendidikan formal. Faktanya semua anggota PGRI adalah sarjana. Ketua Umum PB PGRI wajib memiliki gelar akademik tertinggi.
Kedua, Ketua Umum harus berpengalaman di organisasi PGRI. Lebih pas lagi bila pernah menjadi Ketua Umum. Pengalaman adalah guru yang paling baik. Best practice menjadi Ketua Umum atau pengurus PB PGRI akan menjadi modal mental dan modal pengetahuan tentang PB PGRI. Sosok yang berpengalaman mengurus PB PGRI, 50 persen akan mampu membawa amanah. Orang baru? Perlu diuji!
Ketiga, Ketua Umum harus memiliki kecakapan berbahasa Inggris dan IT secara mendasar. Ini sangat penting mengingat pergaulan di revolusi industri 4.0 akan menuntut Sang Ketua Umum berkomunikasi dan bergaul dengan dunia global. Dunia global di organisasi profesi guru dunia membutuhkan kemampuan komunikasi. Citra PGRI akan bersinar di luar bila Sang Ketua Umum pasih berbahasa Inggris. Tidak bengong dan belepotan.
Keempat, Ketua Umum harus terbebas dari keanggotaan partai politik. Ia tidak boleh memiliki pengalaman menjadi kontestan politik praktis. Ini sangat bahaya bagi masa depan PGRI. Mengapa? Sudah Saya jelaskan di atas, pemerintah dan publik akan nyinyir anyir melihat PGRI yang identik dengan pendidik. Kok partisan. Aneh dan anomalis. Jangan coba-coba memilih Ketua Umum PB PGRI “veteran” partai politik. Anggota akan sangat kecewa.
Kelima, Ketua Umum idealnya punya rumah di Jakarta, atau dekat Jakarta. Mengapa demikian? Agar kinerja dan gerak PB PGRI tidak terkendala tempat tinggal. Tidak nomadik dan memakan biaya tinggi. Bila punya tempat tinggal secara mandiri di Jakarta atau sejenis apartemen akan memudahkan perjuangan dan layanan Sang Ketua Umum. Sang Ketua Umum idealnya memahami medan Ibu Kota Jakarta.
Keenam, memiliki kedekatan emosional dengan penguasa. PB PGRI harus menjadi mitra manis bagi pemerintah. Bukan hanya mitra kritis melainkan manis mitra, mitra manis. Ketua Umum harus seorang aspirator, diplomator, negosiator, mediator dan sosok yang sangat diterima oleh penguasa. Makanya hindari orang partai, timses atau tim pemenangan menjadi ketua atau Ketua Umum. Resisten tinggi. Risiko tinggi.
Ketujuh, lebih baik punya pengalaman menjadi pengurus organisasi profesi guru dunia. Bila seorang calon Ketua Umum sudah dikenal di dunia internasional maka gerak dan perjuangan PGRI akan mendapatkan sokongan dunia. Orang lokalan akan memiliki handicap bila Ia harus bergaul berjuang di dunia internasional. Sang Ketua Umum adalah representasi dari wajah guru Indonesia. Ia harus memesona publik internasional. Ia adalah duta guru Indonesia.
Kedelapan, sosok Ketua Umum harus orang totalis. Seutuhnya diri dan hatinya hanya untuk PGRI. Ini agak sulit. Namun kita harus menemukan sosok ini. Ia harus flow, glow tetapi jangan melow. Ia harus strongest. Ia harus paling bermental diantara para pejuang guru lainnya. Ia harus menikmati “penderitaannya” dalam berjuang di PGRI. Leiden Is Lijden, pemimpin itu menderita. Ia harus siap menderita demi kebahagiaan anggota. Bukan malah sebaliknya duduk manis tapi anggota bernasib tragis. Sebaiknya meniru spirit seorang Ibu biasanya berani menderita asal anak-anaknya bahagia.
Kesembilan, Ketua Umum adalah sosok yang terbuka dan membuka diri bagi semua anggota. Tidak paternalistik, konservatif dan status quotic. Ia harus membuka jalan bagi perubahan. Ia harus menjadi akses aspirasi bagi semua anggota PGRI. Ia tidak hanya membuka pintu bagi pengurus elit tetapi bagi pengurus alit. Ketua Umum yang diharapkan anggota adalah Ketua Umum yang memiliki kebaruan dan pembaharuan bagi para anggota. Tidak ada jarak dan berprinsip kekerabatan. Membukan jalan bagi anggota atau pengurus potensial untuk tumbuh dedikatif di organisasi.
Sahabat juang PGRI dimana pun berada narasi di atas hanya mengisi waktu di bulan sucib Ramadhan. Ingat sahabatku bulan suci Ramadhan. Bulan ini sangat sakral. Ini bulan suci. Ingat juga sahabatku bahwa jauh ada yang lebih istimewa dari bulan suci Ramadhan. Apa itu? Pribadi yang berkarakter, berkhidmat untuk orang lain. Mengabdi untuk orang lain dan rela menderita demi orang banyak. Itulah manusia suci yang derajatnya di atas Sang Bulan Suci Ramadhan. Wallahualam.