Oleh:
Drs. Iwan Kurniawan*)
Kepala SMAN 1 Kertasari Kabupaten Bandung
Pendidikan saat ini, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia, sedang dilanda krisis moral yang diakibatkan dari pengaruh globalisasi. Bagi Indonesia sendiri, globalisasi ini tidak hanya memiliki dimensi domestik, akan tetapi juga dimensi global.
Dari segi dimensi domestik, globalisasi memberi peluang positif terutama untuk mengadopsi dan menerapkan inovasi yang datang dari luar untuk meningkatkan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat. Di samping itu, dari segi keuntungan domestik, pengaruh globalisasi ini dapat mendidik masyarakat untuk memiliki pola pikir kosmopolitan dan pola tindak kompetitif, suka bekerja keras, mau belajar untuk meningkatkan keterampilan, dan prestasi kerja.
Dari segi global, kita hidup di dalam dunia yang terbuka, dunia yang tanpa batas. Perdagangan bebas serta makin meningkatnya kerjasama regional memerlukan manusia-manusia yang berkualitas tinggi. Kehidupan global merupakan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan bagi pengembangan SDM Indonesia yang berkualitas tinggi. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia, baik untuk memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas bagi kebutuhan domestik maupun global.
Hal yang sangat dirasakan sebagai dampak dari globalisasi ini adalah ikatan nilai-nilai moral yang mulai melemah. Multikrisis dalam berbagai dimensi mulai merasuki masyarakat kita.
Krisis ekonomi yang kita alami yang kini merambat ke krisis kepercayaan kepada pemerintah, sebagiannya diakibatkan oleh akhlak pelaku bisnis – dan orang-orang yang berhubungan dengan itu – yang kurang baik. Mereka adalah lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Artinya, sekolah dan perguruan tinggi kita ikut ambil bagian sebagai penyebab terjadinya krisis yang kita alami sekarang.
Thomas Lickona pernah mengungkapkan bahwa akan terdapat sepuluh tanda-tanda zaman di masa yang akan datang yang harus diwaspadai. Jika tanda-tanda in terdapat dalam sebuah bangsa, berarti ia sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut di antaranya adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan sekes bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayakan ketidakjujuran, (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Dan tanda-tanda tersebut rasanya sudah mulai tampak di hadapan kita.
Dampak langsung dari proses globalisasi tersebut nampak nyata di tengah masyarakat di antaranya tawuran pelajar, maraknya seks bebas, peredaran narkoba, peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar dan sebagainya. Menurut beberapa data yang dihimpun Kompasiana (http://sosbud.kompasiana.com), tawuran pelajar tidak terjadi satu atau dua kali di Indonesia, melainkan sudah terjadi puluhan bahkan ratusan kali. Pada 2010, tawuran pelajar tercatat berjumlah 28 kasus, sedangkan pada periode Januari – Agustus 2011, tawuran pelajar di Jakarta sudah tercatat sebanyak 36 kasus, dengan wilayah paling banyak di Jakarta Pusat (Tempo). Selanjutnya, hasil penelitian di Yogyakarta tahun 2010 (BKKBN,2010), dari 1.610 mahasiswa, sekitar 37% mengalami kehamilan sebelum menikah. Selain itu, data tentang penyalahgunaan narkoba menunjukkan bahwa dari 3,2 juta jiwa yang ketagihan narkoba, 78% adalah remaja.
Dalam menyikapi persoalan di atas, pendidikan di seluruh dunia saat ini mulai memfokuskan kajiannya pada pendidikan moral yang perlu dibangkitkan kembali. Ada 3 pertimbangan yang mendasari pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pendidikan budi pekerti sebagaimana diungkapkan Zuriah (2007:10), yaitu:
- Melemahnya ikatan keluarga. Fungsi keluarga sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anak mulai memudar. Kesibukan dan tuntutan ekonomi yang melibatkan seluruh elemen keluarga menyebabkan intensitas perhatian dan komunikasi yang terbangun dalam keluarga sangat minim. Hal ini dapat menyebabkan kekosongan moral dalam perkembangan kehidupan anak. Oleh karena itu peran sekolah saat ini berfungsi juga sebagai pengganti keluarga dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak.
- Kecenderungan negatif di dalam kehidupan remaja dewasa ini. Perilaku remaja saat ini memang sudah dirasa semakin akut, nilai-nilai moral dan norma-norma agama seakan sudah semakin jauh dari dunia remaja kita. Fenomena tawuran antar siswa sekolah, perkelahian di kalangan mahasiswa, pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obat terlarang, krisis kejujuran, dan sebagainya sudah bukan merupakan hal yang asing bagi dunia remaja. Agaknya memang para remaja kita sudah kehilangan pegangan dan keteladanan dalam menemukan model yang etis. Oleh karena itu, saat ini penting kiranya sekolah mulai menggalakkan kembali nilai-nilai moral yang sudah kian terkikis dari dunia remaja kita.
- Suatu kebangkitan kembali dari perlunya nila-nilai etik, moral, dan budi pekerti dewasa ini, telah timbul suatu kecenderungan masyarakat yang mulai menyadari bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kearifan mengenai adanya suatu moralitas dasar yang sangat esensial dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Konflik-konflik sosial, tindakan-tindakan diskriminasi, perilaku yang eksklusif dan primordial muncul karena belum semua masyarakat merasa, menghayati, dan bangga sebagai insan Indonesia. Dan di sinilah para pemimpin formal dan informal pada semua aspek kehidupan harus menjadi teladan.
Krisis moral multidimensi inilah yang memicu keresahan bangsa Indonesia sehingga muncul wacana mengatasai masalah tersebut melalui dunia pendidikan, karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Salah satu langkah nyata yaitu dilaksanakannya pendidikan budaya dan karakter bangsa di sekolah.
Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, ahlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ”positif” bukan netral. Sedangkan Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Keempat proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan olahrasa dan karsa) tersebut secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur.
Pendidikan karakter oleh pusat kurikulum dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai- nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warganegara yang religius, naisonalis, produktif, dan kreatif.
Pendidikan karakter mempercayai adanya keberadaan moral absolute, yakni bahwa moral absolute perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Pendidikan karakter kurang sepaham dengan cara pendidikan moral reasoning dan value clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolute (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”. Contohnya adalah berbuat hormat, jujur, bersahaja, menolong orang, adil dan bertanggung jawab
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (domain perilaku). Jadi pendidikan karakter terkait erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan atau dilakukan.
Karakater menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, dapatlah dikatakan orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, bertanggung jawab, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulya. Istiah karakter juga erat kaitannya dengan ’personality’. Seseorang baru bisa disebut ’orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Dengan demikian, pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek ”pengetahuan yang baik” (moral knowing), tetapi juga ”merasakan dengan baik” atau ”loving the good” (moral feeling) dan ”perilaku yang baik” (moral action).
Shalat sebagai Salah Satu Model Pendidikan Karakater
Anak-anak sampai umur tujuh tahun biasanya lebih terpengaruh oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah, ia akan terbina oleh gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik, maka insya Allah jiwa anak terbina dengan baik. Sebaliknya, kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk, maka si anak terbentuk (terformat) dalam pola yang kurang baik.
Di saat seperti itu, pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si anak selama 7 tahun itu lambat laun terkikis, lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut, atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan. Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan, pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya sekadar menyampaikan pelajaran yang sasarannya hanya membekali otak dengan ilmu, teori, dan itupun sifatnya lebih menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani, akhlaq, jiwa, hati, keimanan, keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan.
Secara Islami, anak-anak wajib dibina fitrahnya agar menjadi Muslim yang shalih. Maka ketika anak umur 7 tahun, orang tuanya disuruh oleh Nabi ` untuk memerintah anak-anaknya shalat. Nabi ` bersabda: “Perintahkanlah anak itu (mendirikan) shalat ketika ia telah sampai (umur) tujuh tahun. Dan jika telah sampai sepuluh tahun maka pukullah dia” (kalau meninggalkan shalat dengan sengaja). (Hadits Riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim, shahih atas syarat Muslim).
Dalam Hadits lain Rasulullah ` bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu sekalian shalat sedang mereka (berumur) tujuh tahun, dan pukullah mereka (kalau meninggalkan shalat dengan sengaja) ketika (berumur) sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka tempat tidurnya” (pada umur 10 tahun itu). (Hadits Shahih Riwayat Ahmad (2/187) dan Abu Daud (495).
Salah satu model pengembangan pendidikan berkarakter yang dapat dikembangkan di sekolah yaitu model 4-D (four D model) yang terdiri dari empat tahap, yaitu: tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design), tahap pengembangan (development), dan tahap penyebaran (disseminate).
- Tahap pendefinisian (define)
Tujuan tahap pendefinisian adalah menetapkan dan mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan pembuatan model pendidikan karakter dengan menganalisis tujuan dan batasan-batasan pendidikan karakter. Tahap pendefinisian terdiri atas lima langkah sebagai berikut.
- Analisis awal-akhir
Analisis awal-akhir dilakukan untuk menetapkan masalah dasar yang menjadi latar belakang perlu tidaknya dikembangkan model pendidikan karakter di sekolah.
- Analisis siswa, meliputi:
- Analisis latar belakang pengetahuan siswa tentang shalat
- Analisis aspek psikologis siswa
- Analisis aspek moral siswa
- Analisis konsep
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi, merinci, dan menyusun secara sitematis konsep-konsep yang relevan dengan fokus pendidikan karakter berdasarkan analisis awal-akhir. Dalam pedoman pendidikan karakter yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa strategi pendidikan karakter di tingkat satuan pendidikan dapat dilakukan melalui tiga kegiatan:
- Kegiatan pembelajaran
- Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar melalui kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengkondisian.
- Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler
- Analisis tugas
Berdasarkan analisis siswa dan analisis konsep pendidikan karakter, maka tugas-tugas yang akan dilakukan siswa selama proses pengembangan model pendidikan karakter adalah diwajibkan mengikuti program-program pendidikan karakter baik yang terprogram berupa shalat berjamaah maupun yang bersifat insidental dan ketelandanan.
- Analisis spesifikasi tujuan program
Tujuan program pendidikan karakter yang dikembangkan di sekolah adalah agar para siswa memiliki dan mengembangkan nilai-nilai karakter sebagai berikut:
- Religius
- Kedisiplinan
- Peduli lingkungan
- Peduli sosial
- Kejujuran
- Tahap perancangan (design)
Tujuan dari tahap perancangan adalah merancang model pendidikan karakter dengan mengimplementasikan shalat berjamaah sehingga diperoleh prototype. Rancangan awal pendidikan karakter di sekolah dapat dibagi menjadi dua program utama sebagai berikut.
- Model pendidikan karakter yang dilaksanakan melalui pembiasaan rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan terjadwal, berupa shalat zhuhur berjamaah.
- Model pendidikan karakter yang dilaksanakan melalui pembiasaan spontan, yaitu kegiatan tidak terjadwal dalam kejadian khusus, meliputi: pembentukan perilaku memberi senyum, salam, sapa, membuang sampah pada tempatnya, budaya antri, mengatasi silang pendapat (pertengkaran), saling mengingatkan ketika melihat pelanggaran tata tertib sekolah, kunjungan rumah, kesetiakawanan sosial, anjangsana.
- Model pendidikan karakter yang dilaksanakan melalui pembiasaan keteladanan, yaitu kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari, meliputi: berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan keberhasilan orang lain, datang tepat waktu.
- Tahap pengembangan (development)
Tujuan dari tahap pengembangan adalah untuk menghasilkan draft model pendidikan karakter yang telah direvisi berdasarkan masukan para ahli, simulasi, dan data yang diperoleh dari uji coba. Kegiatan pada tahap ini adalah penilaian para ahli (validasi), simulasi, dan uji coba terbatas.
- Tahap penyebaran (disseminate)
Setelah melewati tiga tahap sebelumnya, maka langkah terakhir adalah melakukan penyebaran (diseminasi), yaitu menerapkan program pendidikan karakter dengan melaksanakan shalat berjamaah disertai dengan pembiasaan menerapkan nilai-nilai karakter berupa perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Media yang paling ampuh untuk mengubah mentalitas bangsa adalah lewat pendidikan dan keyakinan agama. Pendidikan yang mampu mengubah mentalitas adalah pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, bukan hanya sekedar formalitas atau kepura-puraan. Keyakinan agama juga besar pengaruhnya bagi mentalitas bangsa. Karena itu melalui pendidikan karakter yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar, dan akhlakul karimah, niscaya akan menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat bagi orang lain melalui amal shalehnya.
Pembiasaan ibadah shalat yang diikuti dengan pembiasaan akhlakul karimah di sekolah diyakini dapat memperbaiki mentalitas generasi muda yang mengalami degradasi karena berbagai pengaruh negatif. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar” (Q.S. Al Ankabut:45).
Shalat yang dimaksud dalam pendidikan karakter di sekolah bukanlah shalat sebagai ritual ibadah semata, namun shalat yang diikuti dengan penekanan pemahaman kepada para peserta didik sebagaimana dikemukakan oleh Abul ‘Aliyah dalam Tafsir Al Quran Al Azhim bahwa “Dalam shalat ada tiga hal dimana jika tiga hal ini tidak ada, maka tidak disebut halat. Tiga hal tersebut adalah: ikhlas, rasa takut, dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Alquran yang memerintah dan melarang sesuatu.
Al Hasan berkata, “Barangsiapa yang melaksanakan shalat, lantas shalat tersebut tidak mencegah dari perbuatan keji dan munkar, maka ia hanya akan semakin menjauh dari Allah”.
Keterangan *}
Guru Bahasa Inggris
Guru Berprestasi Tingkat Kabupaten Bandung thn. 2011
Penulis terbaik Forum Ilmiah Guru 2012 Tingkat Kabupaten Bandung