Pewarta : Lina
Koran SINAR PAGI, KBB,- Keputusan Bawaslu Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang menetapkan kasus video Bupati Aa Umbara Sutisna tidak memenuhi unsur pelanggaran Pemilu, dinilai sebuah kemunduran penegakan hukum di KBB, pasalnya keputusan itu dinilai mengulang hal sama, seperti kasus pertama yang juga menjerat Aa Umbara, dimana dalam kasus pertama itu, Bupati juga dilaporkan terkait dugaan pelanggaran Pemilu, namun kasusnya juga dianggap tak memenuhi unsur seperti yang dituduhkan pelapor.
“Keputusan dua kali berturut-turut, kasus Bupati dianggap tidak memenuhi unsur menjadi pertanyaan masyarakat. Bisa jadi itu karena ada intervensi atau ketakutan kepada penguasa sehingga keputusannya tidak obyektif,” kata politisi PDI Perjuangan yang juga anggota DPRD KBB Jejen Zaenal Arifin, Rabu (23/01/19).

Jejen mengaku, sejak awal telah menduga kasus kedua ini pun akan berakhir sama dengan yang pertama dan hal itu terbukti. “Hasil ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum Pemilu dan menjadikan Bawaslu KBB kehilangan kepercayaan serta wibawanya,” ucapnya.
Menurutnya, dampak dari keputusan itu akan menjadikan peserta pemilu (calon legislatif) di KBB tidak takut untuk melanggar hukum.
Bawaslu KBB, ujar dia, bermain-main dengan kekuasaan dan sumpah jabatan yang diucapkan. Apalagi kasus ini sudah menjadi isue nasional, mengingat video bupati yang mengkampanyekan anak dan adiknya telah tersebar luas dan sempat viral di masyarakat.
Jejen menyatakan, Bawaslu KBB seakan tumpul ke atas dan tajam ke bawah, bisa tegas dalam menertibkan atribut caleg, tetapi ketika berhadapan dengan penguasa justru menjadi ewuh pakewuh.
“Saya memberikan raport merah terhadap kinerja Bawaslu KBB. Jadi sebaiknya para pejabatnya mundur. Mereka takut kepada penguasa tapi tidak takut terhadap sumpah jabatan di hadapan-NYA (Allah),” ujar dia.
Dalam video yang jadi bukti, tutur Jejen, jelas-jelas terucap bahwa Aa Umbara minta dukungan untuk pencalonan anak dan adiknya, bahkan saat dikonfirmasi oleh teman-teman media pun, dia mengakui itu meskipun tidak disengaja.
“Artinya, sebuah pengakuan bahwa itu terjadi dan ada, sehingga secara delik hukum bisa dijerat,” tutur Jejen.
Sementara itu, Muhamad Raup, selaku pelapor mengaku kecewa dengan keputusan Bawaslu. Menurut Raup, publik bisa menilai dari video yang beredar, sehingga jelas ketika keputusannya tidak memenuhi unsur, itu jadi sebuah pertanyaan.
“Ya jelas saya kecewa kenapa keputusannya seperti itu, padahal masyarakat awam saja bisa menilai isi percakapan di video seperti apa,” kata Raup.