Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Praktisi dan Politisi Pendiikan)
Semua manusia adalah makhluk modus. Seribu cara kadang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Manusia inginnya diberi dan cenderung pantang memberi. Manusia inginnya dihargai dan terkadang kikir menghargai. Manusia inginnya dilayani namun malas melayani. Manusia inginnya jadi raja dan merajai. Alergi menjadi pelayan dan melayani.
Manusia makhluk mulia yang cenderung menjauhi kemuliaan. Inginnya dimuliakan. Manusia lupa bahwa sesungguhnya yang paling mulia itu justru yang malayani. Para Nabi adalah para pelayan umat. Mengabdi untuk jama’ah. Para pemimpin hakekatnya adalah pelayan. Seseorang yang selalu mengurus hajatan orang lain, melayani kepentingan orang lain justru lebih wow.
Pepatah religis mengatakan “Setiap orang yang bahagia melayani hajatan orang lain maka hajatannya akan diurus langsung oleh Tuhannya.” Keren kan? Kita mengurus dan melayani orang lain dengan sungguh-sungguh dan urusan kita Tuhan langsung yang mengurusnya. Subhanallah. Beruntung kan? Kita diurus Tuhan. Dahsyat kan?
Nah mengapa mayoritas manusia inginnya mendapatkan sesuatu bukan memberikan sesuatu? Padahal sudah jelas Si Pemberi jauh lebih mulia dari Si Peminta. Allah itu bukan peminta, Ia pemberi. Manusia itu identik peminta-minta. Namun bila ada manusia cenderung berkarakter pemberi maka Ia sudah mengimitasi sifat-sifat ketuhanan.
Dahsyat kan menjadi pemberi itu? Allah itu pemberi, Nabi itu palayan. Ayo kita menjadi pemberi dan pelayan. Kemuliaan manusia diantaranya karena memberi dan melayani. Diantara kehinaan manusia adalah meminta-minta dan keinginan dilayani. Mari kita agak menjaga jarak atau agak menjauh dari mentalitas meminta-minta dan keinginan dilayani.
Mentalitas kita harus dermawan dan jauh dari manja. Memberi dan melayani adalah sifat yang wow. Sifat ini kalau kita cobakan dalam seumur hidup kita pasti akan mendatangkan keajaiban. Sebaliknya bila seumur hidup kita hanya meminta dan ingin selalu dilayani maka dipastikan akan mendatangkan sesuatu yang tak baik.
Sahabat pembaca, anjing saja melayani majikannya. Ia najis dalam ajaran agama Islam jilatannya. Sejumah orang Barat “memanusiakan” anjing. Anjing dianggapnya setia dan jauh dari khianat. Kadang manusia itu khianat, anjing tidak khianat. Bahkan dalam ajaran agama, seekor anjing bisa masuk surga karena melayani. Kisah ashabul kahfi memberikan pesan moral tentang persahabatan sekelompok pemuda dan seekor anjing yang melayani.
Satu kisah lagi dalam ajaran agama Islam tentang Si Pelacur yang baik hati. Si Pelacur yang penuh dengan dosa telah menjadi Si Mulia dan inspiring. Ia “melayani” seekor anjing yang kehausan. Seekor anjing yang akan mati kehausan telah diselamatkan oleh Si Pelacur. Betapa dahsyatnya bila kita Si Palaku dosa banyak melayani dan membantu derita orang lain. Sayang sekali “ruang dedikasi” melayani, membantu dan berkhidmat pada orang lain ini masih menjadi “ruang kosong”.
Justru ruang yang penuh adalah ruang KKN, ruang berburu ghonimah dan ruang keduniawian beraroma finansial. Ruang dedikasi masih kosong melompong dalam kehidupan kita. Ruang penuh sesak dan sangat antri adalah ruang beraroma tahta, harta dan wanita. Antrian panjang menjadi caleg, kepala daerah dan jabatan tertentu menghiasi dunia kita. Antrian keduniawian menjadi hingar bingar.
Coba kita lihat! Ratusan ribu baliho dengan foto yang gagah berjajar di setiap ruang pubik di negeri ini. Tua dan muda ingin dipilih sebagai anggota legislatif dan kepala daerah. Pada dasarnya mereka semua ingin berkuasa. Sebagian mungkin ingin mengabdi dan melayani. Namun bila kita lihat dari fakta OTT mayoritas hanya mencari “kue” duniawi. Mayoritas ingin menjadi “pengepul” hal duniawi.
Ruang pubik penuh sesak dengan gambaran orang-orang yang mencari sesuatu, bukan memberi sesuatu. Mayoritas kita inginnya menduduki sesuatu agar mendapatkan sesuatu. Bukan merelakan sesuatu untuk memberikan sesuatu. Semangat meminta pantang memberi. Ini mentalitas kolektif kita. Bahkan bisa jadi kikir memberi namun agresif meminta setoran dari bawahan.
Politik ghonimah, bagi-bagi kue, bagi-bagi gundik dan bagi-bagi jabatan menjadi khas para penguasa. Sang kepala daerah terpilih seolah menjadi pembagi kue pada timses yang haus sejak pencalonan. Memang sejak zaman Nabi Muhammad, para sahabat mencontohkan dalam “tragedi Uhud”. Ini pembelajaran bahwa ghonimah orientied menjadi sandungan dalam kehidupan kita.
Kosongnya ruang dedikasi, ruang pelayanan dan ruang perbuatan ikhlas menjadi indikasi bahwa wajah kolektif masyarakat kita berkiblat ke urusan material duniawi. Egois, pragmatis, dehumanis dan terkadang sadis. Mungkin ruang dedikasi hanya tersisa di para marbot, muadzin dan imam sholat. Ia bekerja dan berbuat semata-mata hanya dedikasi dan pengabdian kepada masyarakat dan Tuhannya.
Bila ruang dedikasi dan keikhlasan hanya ada di mesjid dan di para marboter, maka bagaimana dengan ruang publik dan kehidupan bermasyarakat? Sungguh berbahaya bila ruang kehidupan bermasyarakat, berbangsa bernegara adalah ruang berebut kekuasaan dan saling hujat dan jegal. Si Penguasa menjadi lalim, Si Oposisi menjadi dholim. Saat berebut kekuasaan akhirnya saling menjelekan dan menjatuhkan. Mayoritas kita beragama tetapi praktek politik praktisnya memunggungi agama.
Ayo siapa yang mau mengisi ruang kosong dedikasi? Kalau bukan kita siapa lagi. Minimal mulai dari diri sendiri. Di keluarga, di pekerjaan, di masyarakat. Apa yang sudah anda berikan untuk negara? Mungkin anda bingung menjawab. Apa prestasi anda? Anda akan mudah menjawab ketika ditanya apa yang sudah anda dapatkan dari negara? Atau ketika ditanya, apa yang sudah Anda rampok dari negara? Mungkin Anda tidak langsung jawab tetapi Anda hanya menatap mobil, rumah dan sejumlah properti lainnya.