Oleh : Dudung Nurulah Koswara,
Ketua PGRI Kota Sukabumi
Ungkapan cukup menarik dari Prof.Dr.Daniel M.Rosyid yang tersebar di jejaring WA. Ia menuliskan, “Jika kebohongan dibiarkan merajalela maka iman apapun diam-diam akan pergi”. Iman pergi? Wow, sungguh musibah terdahsyat bagi bangsa beriman. Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang agamanya kuat?
Bukankah saking kuatnya keberagamaan bangsa kita agamapun jadi alat politik? Bukankah menggunakan agama sebagai media meraih kekuasaan sangat efektif? Kuatnya keberagamaan bangsa kita menjadikan “lahan agama” sebagai pemantik suara pendukung pihak tertentu.
Seolah semua calon penguasa di negeri ini mesti “berselancar” dalam fanatisme agama. Memanfaatkan keberagamaan warga bangsa sebagai penyulut suara dan dukungan pada partai politik tertentu atau calon penguasa terentu. Agama dan penganutnya terkadang menjadi “korban” politisasi pihak-pihak tertentu.
Munculnya FPI (Front Pembela Islam) terkait dengan kuatnya keberagamaan dan rasa bela kita pada agama. Lebih unik lagi bila kelak muncul FPH (Front Pembela Hindu), FPB (Front Pembela Budha), FPN (Front Pembela Nasrani), FPSA (Front Pembela Semua Agama) dstrnya. Unik kan? Ini semua terkait kuatnya fanatisme keberagamaan kita. Salah tidak ? Tentu tidak karena hak warga negara, hak warga beragama.
Agama menjadi komoditas banyak kepentingan. Mulai dari bisnis sampai ke urusan politik. Karena agama, karena beda agama, karena abangan atau santri maka politik demokrasi di negeri kita menjadi sangat riuh rendah. Namun semua yang beda agama, seagama bahkan siapapun yang tidak taat beragama semuanya ingin masuk surga. Semua memuja surga dan menghindari neraka.
Negeri kita unik dan menarik dipelajari. Semua bangsa kita memuja surga karena semuanya beragama. Hanya beberapa mungkin yang atheis. Hanya beberapa yang ragu atau masih mencari-cari agama mana yang paling pas untuk dipilih. Terdapat beberapa yang pindah agama. Namun sekali lagi semuanya memuja surga.
Pasca kasus HRS (Hoaxs Ratna Sarumapet) seolah menjelaskan sebuah wajah bangsa kita yang cenderung suka berbohong. Merasa tidak bersalah saat berbohong. Ketidakjujuran menjadi bagian yang melekat kuat dalam berkehidupan bangsa kita. Oknum polisi, jaksa, guru, TNI, pengusaha, yang mengaku ulama, artis, biroktat dan politisi semua profesi ini masih terjerat dalam kebohongan.
Aneh tapi nyata bangsa pemuja surga yang mengimani adanya surga bahkan jutaan bidadari cantik tapi budaya bohongnya masih kuat. Prof.Daniel bahkan menyebutkan “pelajaran kebohongan dimulai dari sekolah”. Guru lebih suka jawaban yang benar bukan jawaban yang jujur. Jawaban benar walau hasil nyontek mendapatkan penghargaan.
Masih ingat “Tragedi UN”? Anak paling ajur, tidak jujur mencontek total mendapatkan juara nilai UN tertinggi. Ia dapat penghargaan didepan ribuan orang dan bahkan masuk koran. Dalam diri anak terjadi dualisme. Mungkin Ia berpikir, ternyata bersahabat dengan Syeitan di negeri ini dapat penghargaan. Temannya yang jujur dari komunitas remaja mesjid, duduk di sudut tak dapat apa-apa. Jujur dieksekusi sebagai orang bodoh.
Ingat “Tragedi SD Gadel 2” seorang anak dan Ibu Siami, keluarga yang jujur diusir dari kampung halaman. Si Anak SD yang jujur dalam UN jadi momok masyarakat. Orangtua dan anak mungkin bingung, kok kejujuran malah dimusuhi. Dalam pikiran Bu Siami mungkin bergumam “Ini negeri Syeitan atau negeri dongeng ?, Semua ingin masuk surga tapi ketidakjujuran lebih mengemuka. Parakteknya dimulai sejak anak SD.
Ridwan Kamil mengatakan, “Dulu musuh kita adalah kebodohan karena penjajahan, sekarang musuh kita adalah dibohongi karena hoaxs digital”. Hoaxs adalah kebohongan. Ini menjadi musuh baru yang memunggungi kejujuran. Ajaran Nabi Muhammad tentang kejujuran bersaing ketat melawan hoaxs digital. Pengajian kejujuran terkadang hanya sebulan sekali di mesjid atau di gereja tetapi hoaxs digital setiap menit hadir dalam genggaman gadget kita.
Hai bangsa pemuja surga mari lawan kebohongan. Mari kita memuja kejujuran. Kuatkan khidmat jauhi khianat. Kuatkan penegakan hukum, politik sehat, pendidikan berkualitas dan menguatkan pendidikan karakter. Para Nabi diutus untuk memperbaiki akhlak/karakter. Kebohongan, hoax, fitnah dan segala bentuk penistaan pada nilai-nilai kebaikan adalah bentuk perilaku yang menolak surga.
Idealnya kita memang memuja Allah bukan surga semata, karena surga adalah makhluk dan bernuansa imbalan dan kesenangan. Karena imbalan, terkadang seorang manusia menjadi berbohong. Allah lebih indah dari segala bentuk rayuan kemakhlukan. Ia Khalik, bukan makhluk. Mari jauhi kebohongan karena Allah bukan karena makhluk, apapun bentuk makhluknya.