Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Setahun yang lalu saya sudah menulis bahwa Pilkada Kota Sukabumi tahun 2018 akan menggugurkan mitos. Mitos tentang “Setiap Wakil Walikota di Kota Sukabumi tidak akan unggul dalam Pilkada.” Masyarakat Kota Sukabumi sudah tangung percaya bahwa setiap Sekda akan menjadi pemenang dalam Pilkada.
Sebagai Ketua PGRI Kota Sukabumi Saya katakan sesungguhnya tidak ada mitos dalam Pilkada. Justru yang ada adalah kemana suara para guru menentukan pilihan? Masyarakat Kota Sukabumi lupa, kemenangan Muslikh dan Muraz bukan karena Ia sekda melainkan karena suara guru. Karena bersatu dan pecahnya suara guru.
Tulisan sebelumnya Saya katakan, mengapa Muslikh meninggalkan Iwan dan “meminang” Mulyono yang saat itu adalah Kadisdik? Karena Mulyono adalah representasi guru. Maka Muslikh unggul memenangkan Pilkada karena suara guru mengalir pada Muslikh Mulyono. Selanjutnya, mengapa Muraz Famhi unggul? Kembali karena suara guru, asbab suara guru.
Muraz menjadi Walikota karena suara guru terpecah tiga. Paslon yang ingin menjadi walikota dari guru saat itu ada dua, Mulyono dan Sanusi. Mulyono incumben Wakil Walikota dan Sanusi “incumben” Ketua PGRI Kota Sukabumi. Mengapa Muraz unggul, bahkan unggul sangat tipis? Karena PGRI dan guru suaranya terpecah tiga. Muraz punya wakilnya Fahmi, seorang guru.
emenangaan Walikota Muslikh dan Muraz dalam Pilkada masa lalu tidak ada kaitan dengan mitos bahwa setiap sekda akan unggul dalam Pilkada. Saat ini Pilkada tahun 2018 telah dibuktikan. Mitos tidak ada. Suara guru, menggugurkan mitos. Pendidikan harus membuang mitos dari masyarakat, dan Pilkada adalah media efektif menggugurkan mitos yang tak sehat dan jauh dari nalar.
Mengapa Sekda Moly, Sekda Muslikh dan Sekda Muraz menjadi Walikota? Jawabannya bukan karena mitos. Sekali lagi mitos adalah perspektif tradisional yang menyesatkan. Sebagai pendidik dan Ketua PGRI sudah lama Saya ingin “menggugurkan” mitos. Sudah lama Saya ingin buktikan bahwa suara guru adalah penentu Pilkada Kota Sukabumi. Sampai kapanpun.
Mitos adalah kepercayaan yang tak nalar, bertabrakan dengan dunia pendidikan dan guru. Suara guru adalah realitas dan fakta politik yang tak dapat dibantah. PGRI dan guru adalah ormas dan kekuatan sosial politik yang harus “dikuasai” oleh siapapun yang ingin menjadi kepala daerah. Mengabaikan PGRI dan suara guru adalah tindakan politik paling bodoh.
Kita lihatbrealitas politik yang terdekat. Mengapa Walikota Bekasi Unggul? Kabupaten Bekasi unggul? Mengapa Bupati Sukabumi unggul? Mengapa Bupati Cianjur unggul? Mengapa Walikota Sukabumi unggul? Sebagai pendidik, semua pasalon yang unggul terkait dengan “guyuran” suara guru saat Pilkada. Bahkan realitas politik yang jauh di Kabupeten Demak, Ketua PGRI nya menjadi Bupati. Artinya, suara guru adalah penentu Pilkada hampir di semua daerah. Bila suara guru mampu disatukan maka setiap kepala daerah akan mudah memenangkan Pilkada dimanapun.
Prinsip dan rahasia perjuangan guru dan PGRI adalah siapa yang berkomitmen pada dunia pendidikan dan guru maka akan didukung. Terutama paslon yang ada gurunya. Paslon yang ada “mantan” gurunya. Para guru secara emosional akan memilih paslon yang berasal dari guru. Guru tidak terlalu suka politik dan partai politik. Guru lebih melihat pigur bukan partai. Partai politik, tak laku bagi para guru.
Kiat sederhana menjadi pemenang dalam Pilkada adalah sayangi guru. Perhatikan kebutuhan pendidikan, sejahterakan guru honorer dan “kuasai” PGRI sebagai basis pergerakan guru. Guru ibarat finsihing dalam membangun sebuah “rumah kekuasaan”. Guru adalah kekuatan jejaring yang mayoritas sarjana. Ia bekerja, tinggal dan berperan di semua tempat wilayah Pilkada.
Bahkan guru memiliki sejumlah pemilih pemula di jenjang SMA/SMK. Sebagai Ketua PGRI Saya banyak mendapatkan inbox dari guru-guru yang belum punya pilihan. Seorang guru senior dari Kota Bandung inbox pada Saya. Ia meminta saran terkait Pilgub. Guru sebagai ormas dan organisasi profesi terbesar sangat masif berselancar dalm dunia maya. Ia adalah realitas politik yang strategis yang sangat menentukan kemenangan setiap Pilkada.
Ungkapan “Guru harus netral dan tak boleh berpolitik” adalah klasik, lagu lama dan membunuh hak politik edukatif guru. Guru tak boleh berpolitik adalah sebuah ungkapan yang mempolitisasi kekuatan suara guru. Ini pembodohan dan “mitos modus” dari penguasa di negeri ini. Guru wajib, harus dan halal berpolitik. Politik edukatif, politik santun dan politik mewaraskan.
Karena suara guru adalah penentu maka “perhatikan selalu para guru.” Guru adalah pelayan masyarakat yang mencerdaswaraskan generasi bangsa. Segalannya berawal dari pendidikan. Setiap kepala daerah cederung dipersepsi sebagai petugas partai. Agar stigma petugas partai ini tidak dominan maka layani pendidikan dan guru dengan baik karena mereka adalah pelayan rakyat dalam pendidikan. Kepala daerah pelayan pendidikan, pelayan guru dan pelayan masyarakat akan jauh lebih indah di dengar.
erakhir Saya salut, kagum dan bangga kepada sosok Mulyono dan Hikmat yang telah berjuang ikut menjadi paslon dalam Pilkada Kota Sukabumi. Mereka berdua adalah guru. Mereka berdua adalah pejuang guru, guru pejuang yang luar biasa. Akan tercatat kuat dalam lembaran sejarah Kota Sukabumi nama Mulyono dan Hikmat sebagai guru yang pernah berusaha menjadi kepala daerah.
Semoga Walikota Sukabumi terpilih dapat “memanfaatkan” potensi Mulyono dan Hikmat untuk menjadi bagian dari membangun Kota Sukabumi yang lebih baik. Mulyono, Hikmat dan sejumlah tokoh guru lainnya semoga dapat dirangkul menjadi kekuatan potensial menuj Kota Sukabumi lebih baik. Takbir!