Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Ungkapan guru digugu dan ditiru dan ungkapan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa merupakan sebuah pemeo menyentuh hati pada zamannya. Hari ini zaman now, zaman disrupsi, segalanya terjadi pergeseran paradigma dan harus adaptif terhadap kencangnya perubahan zaman.
Guru digugu dan ditiru relitasnya sudah tak demikian lagi, bahkan beberapa kasus guru diburu, dipukuli dan dianggap pembantu terjadi hampir di semua daerah. Guru pahlawan tanpa tanda jasapun sudah berubah menjadi guru tanpa SK dan NUPTK, khususnya para guru honorer.
Melihat dinamika perubahan tuntutan zaman terhadap realitas guru perlu kiranya kita para guru untuk sadar diri dan sadar kolektif akan pentingnya merevitalisasi peran dan posisi guru. Guru realitasnya sudah tidak terlalu digugu dan ditiru lagi dan bukan lagi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Guru saat ini harus cerdas, jauhkan dari terkesan lugu dan ambigu. Bahkan dalam realitas tahun politik saat ini guru harus memberikan makna dan penguatan pada politik yang baik. Ungkapan guru tidak kemana-mana, guru ada dimana-mana adalah ungkapan lama yang realitasnya sudah tidak demikian. Ungkapan ini adalah ungkapan ambigu, “cari aman” dan ungkapan yang memposisikan guru tidak terlibat kuat dalam politik.
Resiko ketika guru mengatakan “tidak kemana-mana dan berada di mana-mana” menjelaskan bahwa guru tidak “berkeringat” memperjuangkan hak politiknya. Ini sebuah keadaan yang menguntungkan pihak lain. Pihak lain yang memiliki agenda politik dengan mudah dapat memecah kekuatan hak politik para guru karena guru dipersepsi bisa kemana saja. Bisa digimana-gimanain, bisa diapa-apain. Artinya dipoitisir bukan mempolitisir.
Prof.Dr.Nurcholis Majid mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No” sempat menggetarkan jagat raya politik negeri ini terutama yang beragama Islam. Ini sebuah ungkapan cerdas yang memberikan pewarasan agar para penganut agama Islam tidak terpecah belah dalam kepartaian. Ini adalah kritik terhadap partai-partai yang identik dengan Islam.
Nah dalam tubuh PGRI bisa juga muncul ungkapan, “Politik Guru Yes, Politik Praktis No”. PGRI harus mampu memainkan peran politiknya terkait subsatansi pendidikan dan nasib para guru. Bila guru berprinsip “Tidak kemana-mana dan ada dimana-mana” sungguh sangat menguntungkan pihak lain dan merugikan bagi guru. Tidak ada daya dukung dan daya tawar politik. Realitasnya dunia politik berpihak pada yang mendukung.
PGRI tidak berkeringat dalam politik maka Ia tidak akan mendapatkan upah keringat politik. Politik kekuasaan akan memberi solusi pada kelompok yang berkeringat dan telah memberi dukungan serta pasokan suara. Hak politik guru tidak harus diberikan kemana-mana dan dimana-mana melainkan berikan pada satu terget terbaik paling bermakna bagi perbaikan nasib pendidikan. Politik PGRI dan guru sebaiknya bermain secara senyap namun efektif.
Guru hampir semuanya sarjana. Ia harus mampu menempatkan diri dalam perjuangan politik yang berorientasi memperbaiki nasib para guru. Guru adalah kekuatan moral intelektual dalam tubuh masyarakat kita, plus kekuatan politik dalam tubuh demokrasi masyarakat kita. Hak politik dan suara keluarga besar guru akan sangat signifikan menentukan sukses demokrasi bila dikelola secara efektif dan cerdik.
Saatnya guru mengubah pola perjuangan politiknya dengan pola yang lebih baik. Bukan lagi ada dimana-mana dan tak kemana-mana melainkan kemana-mana guru akan diperhitungkan. Kemana-mana guru akan diikuti. Dimana-mana guru memenangkan politik yang terbaik bagi masyarakat. Kemana guru menentukan hak politiknya maka disitu ada kemenangan dan sukses politik demi nasib para guru. Guru harus menjadi perestu suksesnya demokrasi politik.
Jangan takut dan ambigu terkait risiko politik. Sukses itu bersisiko tinggi. Tak mau mengambil risiko sama dengan tak mau mengambil sukses. Para guru harus ambil risiko. Manfaatkan hak suara sebaik-baiknya. PGRI sebagai organisasi profesi yang berfungsi memberikan perlindungan, siap memberi jaminan pada setiap guru untuk memberikan hak politiknya dengan baik.
Bersatulah guru, ambil risiko karena dibalik risiko ada nasib lebih baik dan sekaligus tantangan. Guru selamanya dibutuhkan oleh rejim manapun. Tanpa guru sebuah rezim akan sepi dan gagal mensukseskan pendidikan. Guru sangat strategis dalam memberikan kontribusi pembangunan pendidikan dan layanan publik. Tanpa guru pemerintah daerah manapun akan gagal membangun.
Guru lebih kuat dari pemerintahan yang berbasis politik konspiratif. Tanpa guru Jepang saja tak mungkin bangkit dari radiasi bom atom. Guru ada sebelum negeri ini merdeka. Semangat dan bersatulah menuju guru yang lebih baik.
Seandainya ada dampak atau “radiasi” dari limbah politik lokal karena guru salah memberikan suara hak berpolitik, itu sebuah risiko perjuangan. Guru pada hakekatnya adalah pejuang. Pejuang perbaikan kehidupan dan berpihak pada masyarakat.
Guru bukan pelayan pemerintah daerah dan bukan pelayan politik. Guru adalah pelayan peserta didik di setiap daerah dan merupakan harta termahal dari setiap daerah. Guru memegang masa depan setiap daerah karena ditangannya ada generasi daerah sekaligus pemilik masa depan suatu daerah. Guru sejatinya harus dilayani dengan baik oleh setiap pemerintah daerah dan pusat.
Ditangan guru negeri ini membaik atau memburuk, bukan hanya ditangan penguasa. Mengapa demikian? Karena setiap penguasa dan siapapun terlahir dari tangan guru dan setiap guru harus merdeka dari setiap penguasa. Guru harus merdeka karena Ia pemerdeka, termasuk dalam dinamika tahun politik saat ini. Guru lugu, masa lalau. Zaman now, bersatu dan bermutu.