Minggu, November 10, 2024

Derita Profesi Guru Honorer

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi))

Hadits riwayat Ibnu Majah menyatakan “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak Si Pekerja setelah selesainya pekerjaan. Ini sebuah hadits yang sahih yang dianut oleh semua penganut agama Islam. Agama Islam membawa pesan “segera” membayar upah para pekerja tepat pada waktunya yakni sebelum keringat mereka mengering.

Ajaran agama Nasrani dalam Yakobus 5:4 dijelaskan “Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan…” Pesan Yakobus menjelaskan bila upah ditunda maka para pekerja “menjerit” maka Tuhanpun mendengarnya. Menunda upah “urusannya” dengan Tuhan.

Sahabat pembaca semua ajaran agama dan pepatah bijak dari peradaban manapun akan memiliki spirit yang sama yakni “bayarkan segera upah terhadap pekerja bila pekerjaannya sudah selesai”. Spirit di atas adalah sebuah etika bayar upah yang beradab dan adil. Bila realitasnya ada sebuah proses pembayaran upah yang ditunda dan bahkan melintasi beberapa bulan maka kesimpulanya tak beradab.

Adakah manajemen upah yang tak beradab? Bila saya lihat dari “cuitan” status di facebook seorang guru honorer SMA di salah satu kota di Jawa Barat menjelaskan derita itu ada dan sedang terjadi. Curhatnya dalam status facebook seolah “teriakan” seperti yang tertulis dalam Yakobus 5:4. Dimana Tuhan mendengarnya.

Wajarkah seorang guru honorer mendapatkan upah per triwulan? Haruskan seorang guru honorer pinjam sana pinjam sini untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama tiga bulan? Apakah pembayaran gaji per triwulan bertabrakan dengan anjuran Nabi Muhammad dan anjuran Nabi Isa? Apa namanya sebuah kebijakan birokrasi yang bertabrakan dengan etika pengupahan dan norma agama.

Kebijakan yang dipersepsi tak beradab hanya keluar dari para penentu kebijakan yang tak faham realitas kebutuhan dunia pendidikan para pendidik. Guru honorer sebagai pendidik tidaklah mungkin harus “berpuasa” selama tiga bulan sementara disampingnya para guru PNS setiap bulan dapat gaji dan bahkan pertriwulan dapat TPG. Mengapa guru honorer bekerja di tempat yang sama, tanggung jawab sama, sama-sama sarjana namun waktu menerima gaji atau upah diperlakukan berbeda? Selain jumlahnyapun sudah jauh berbeda.

Sila Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab” tidak menyentuh guru-guru honorer. Guru honorer adalah guru paling menderita. Mengapa demikian? Karena Ia dalam upah jauh tidak normal dibanding buruh upah lulusan SD yang berada di pabrik-pabrik. Sampai kapan guru honorer ini akan “diperlakukan” diskriminatif? Sebaiknya tidak menunggu kiamat baru kemudian guru honorer diperhatikan.

Sahabat pembaca yang budiman tahukah anda realitas derita guru honorer yang sebenarnya? Saya coba beri sedikit informasi sekaitan diskriminasi terhadap guru honorer di negeri ini. Diskriminasi itu terjadi dari: 1) pemerintah, 2) masyarakat, 3) sekolahan, 4) rekan sejawat, dan 5) anak didik. Lima dimensi ini masih mendiskriminasi guru honorer.

Pertama dari pemerintah, selain upah guru honorer belum mencapai upah minimum penghasilan (UMP) pemerintahpun mendiskriminasi guru honorer terutama yang di sekolah negeri yakni “tak boleh” ikut PPG dan tak dapat NUPTK. NUPTK bisa didapatkan bila honorer di negeri dapat SK Kepala Daerah. Sementara guru honorer di sekolah swasta bisa ikut PPG dengan SK dari yayasan.

Kedua dari masyarakat. Masyarakat memandang guru honorer adalah guru kelas empat bukan kelas dua lagi. Tidaklah heran penganiayaan pada guru honorer banyak terjadi karena guru honorer tidak dianggap sebagai guru sebenarnya guru. Ia dianggap oleh sebagian oknum masyarakat sebagai “budak” buruh pendidikan yang bisa dianiaya. Puluhan guru mendapatkan intimidasi, diskriminasi dan kekerasan dari masyarakat.

Ketiga di internal sekolahan. Tidak sedikit kultur sekolah negeri terutama menganggap guru honorer sebagai “pelengkap penderita” dalam menjalankan roda pendidikan. Guru honorer dianggap tak pantas menduduki tugas tambahan tertentu dan bahkan tidak sedikit guru honorer yang mendapat diskriminasi dari kebijakan sekolahan. Seolah kesejahteraan prioritas bagi guru PNS, untuk honorer nanti dulu. Padahal mereka jauh lebih membutuhkan kesejahteraan.

Keempat rekan sejawat, diantara guru masih terdapat perlakuan yang kurang pada tempatnya terhadap guru honorer. Bukankah ada guru honorer di Garut yang ditampar oleh kepala sekolah? Bukankah ada guru honorer yang diberhentikan oleh satuan pendidikan demi mengamankan jumlah jam guru PNS? Bukankah masih ada guru honorer yang diperlakukan tak adil dalam hal hak mendapatkan fasilitas sekolah. Seolah wajib guru PNS dahulu dalam berbagai hal.

Kelima perlakuan anak didik. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana respon anak didik terhadap guru honorer. Mereka cukup cerdas dalam memilih-milih guru, mana yang PNS mana yang honorer. Di Sampang Ahmad Budi Cahyono adalah representasi diskiriminasi anak didik terhadap guru honorer. Di Kota Sukabumi Agung Aditya sobek mukanya karena pukulan anak didiknya. Anak realitasnya “membedakan” guru honorer dan guru PNS.

Terakhir, melihat diskriminasi terhadap guru honorer dari perlakuan dan hak menerima upah benar-benar getir. Haruskah derita guru honorer ini terus berlanjut? Stop! Segera pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah, satuan pendidikan dan masyarakat untuk empati dan waras dalam memperlakukan para guru honoirer. Mereka bukan pelengkap derita pendidikan melainkan melengkapi kekurangan negeri ini dalam memenuhi rasio pendidik. Mari kita hargai guru honorer. Subhanallah.

Related Articles

Media Sosial

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Berita Terbaru