Senin, Januari 13, 2025

Salah Pola Didik, Lahirkan Tragedi !

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)

Bulan ini adalah bulan tragedi bagi dunia pendidikan khususnya. Mengapa disimpulkan demikian? Karena di bulan-bulan ini beberapa tragedi kemanusiaan di dunia pendidikan terus terjadi di dalam dan luar negeri.

Didalam negeri wafatnya guru honorer Ahmad Budi Cahyono oleh anak didiknya di Sampang Madura. Menyusul seorang Kepala Sekolah di Bolang Mangondow, Asri Tampi luka sobek di muka dan tangan memuncratkan darah memenuhi bajunya oleh orangtua siswa.

Hari kemarin di luar negeri seorang pria Nikolaus Cruz (19), melepaskan tembakan ke sebuah sekolah di Florida pada Rabu pagi tanggal 14 Februari 2018. Aksi menewaskan 17 siswa, 14 terluka serta membuat ratusan siswa panik dan melarikan diri ke jalanan, sementara yang lain meringkuk di kelas saat polisi memburu pelaku. Puluhan polisi mengepung sekolah Marjory Stoneman Douglas High School di Parkland, Amerika Serikat.

Fakta menjelaskan pelaku di dalam dan luar negeri adalah pribadi-pribadi bermasalah. Nikolaus Cruz pelaku penembakan dan HI pelaku penyebab wafatnya Ahmad Budi Cahyono adalah dua sosok anak didik yang bermasalah, keduanya adalah siswa dari sekolah terjadinya tragedi dan tercatat sebagai anak didik yang masuk kategori bandel.

Ada apa dengan mereka? Ada apa dengan pola didik mereka? Bagaimana pola didik di rumah, di sekolah ataupun non formal di masyarakat?

Tentu orangtua penganiaya kepala sekolahpun adalah pribadi “sakit”. Tidaklah mungkin orang sehat menganiaya guru yang dititipi anaknya untuk dididik dan saat dididik malah pendidiknya dianiaya. Simpulan sederhananya para pelaku adalah sosok bermasalah. Sampai kapan dunia pendidikan akan terhindar dari “penjagalan” yang memuncratkan darah di sekolah?

Sebagai “Best Practice” pribadi, Saya Dudung Nurullah Koswara adalah guru SMA yang pernah mau dibunuh oleh murid bandel bernama A dan sekelompok preman mengaku LSM C di Kota Sukabumi Jawa Barat. Kalau Tuhan mengijinkan kita selamat, tetap hidup sekalipun ujung senjata sudah beberapa jengkal dari badan. Pengalaman tahun 2009 satu siswa mengancam pembunuhan dan tujuh preman sebagian bertato mengepung saya di sekolahan, Tuhan selamatkan saya.

Sesungguhnya diantara beberapa faktor yang mendorong saya mengurus organisasi PGRI adalah keinginan “sapu bersih” segala bentuk premanisme, kriminalisasi dan pelecehan yang keterlaluan pada profesi guru. Guru dengan segala keterbatasan, kekurangan dan kesalahannya perlu diberi perlindungan. Gurupun memang harus terus meningkatkan profesionalisme dan terutama kompetensi pedagogik.

MOU antara PB PGRI dengan Mabes Polri, PGRI dengan Polda, PGRI Kota/Kab dengan Polres adalah sebuah tindakan dini yang baik dan strategis dalam melindungi para pendidik dari para “penyamun” yang menjadikan sekolah sebagai objek, plus gerakan PGRI dari pusat dan daerah berusaha meningkatkan profesionalisme guru adalah sebuah tanggung jawab internal pendidik.

Melindungi pendidik dengan MOU bersama Kepolisian, meningkatkan profesionalisme pendidik melalui MOU dengan berbagai pihak yang kompeten bidang peningkatan mutu pendidik.

Layanan pola didik guru terhadap anak didik saat ini harus diubah, dari layanan orientasi kognitif angka ke layanan orientasi afektif akhlak. Gerakan Revolusi Mental Jokowi dengan “eksekusi” PPK [Pengutan Pendidikan Karakter] di sekolah adalah tepat dan mendasar. Ini sebuah refleksi cerdas yang akan dapat mengubah masa depan generasi bangsa yang lebih waras dan beradab, bukan hanya cerdas dan terampil yang ujungnya koruptif.

Waspadalah wajah pendidikan kita cenderung “memuja” angka namun mengabaikan akhlak. Era UN dulu adalah era kelulusan 100 persen, bukan era kejujuran karena membungkam kejujuran 100 persen. Wabah UN sistemik dan telah melahirkan jutaan generasi tanpa kewarasan. Rame-rame dahulu keroyokan antar para Kepala Daerah dan Kadisdik menekan para kepala sekolah dan guru agar menjadi “Tim Sukses UN” sebuah ritual menyimpang memuja angka.

Kembali pada tragedi di dunia pendidikan kita sesungguhnya tak lepas dari pola didik yang masih mencari bentuk dan terkadang trial and error. Pola didik mana yang pas, tepat dan efektif untuk memperbaiki bangsa ini dan seluruh bangsa di dunia ini. Terbunuhnya Ahmad Budi Cahyono, tewasnya 17 anak didik di Florida dan luka parah seorang kepsek di Sulawesi Utara adalah buah dari pola didik yang dialami si Pelaku. Seseorang adalah buah dari pola didik dan pengalaman mas lalunya.

Mendikbud Prof.Dr.Muahadjir Effendy mengatakan dalam Konkernas V PGRI di Batam, bahwa anak pelaku penganiayaan pada Ahmad Budi Cahyono adalah anak berkebutuhan khusus. Artinya pelaku adalah anak yang sebenarnya inklusif, difabel dan memiliki keberbedaan mental, tetapi kita para guru mungkin agak abai terhadap keberbedaan dan lebih mengejar angka di raport atau di ijazah.

Begitupun pelaku pembantaian di Florida dan orangtua pelaku penganiayaan dipastikan memiliki “kelainan” sehingga komunikasi, pendekatan, penanganan dan layanan pada mereka harus khusus karena mereka adalah “makhluk khusus”.

Bahkan dahulu kita dengar tragedi Emon pelaku sodomi terhadap sejumlah anak adalah anak inklusif berdasarkan hasil kajian para pendidik dan psikolog. Salah kita para pendidik pada saat Ia sekolah di SD, SMP dan SMK tidak dilayani sebagai anak inklusif.

Sahabat pembaca saya tutup tulisan ini takut terlalu panjang dan berputar-putar padahal substansinya sama. Stop kekerasan, kriminalisasi dan segala bentuk aneksasi eksternal pada pendidik dan satuan pendidikan. Terutama para “preman” baik yang berdasi ataupun bertato mohon berperilaku edukatif bila masuk dilingkungan pendidikan.

Politisasi, kriminalisasi harus jauh dari dunia pendidikan karena dari dimensi pendidikanlah politisi dan keamanan negeri ini bisa dibentuk melalui edukasi calon penghuni masa depan.

Gerakan memuliakan guru jauh lebih baik dari gerakan memuliakan para pejabat dan para seleb. Karena para pejabat, para seleb terlahir melintasi tangan-tangan guru dengan segala keterbatasannya.

Mulai dari guru, oleh guru, bersama guru negeri ini akan jauh lebih baik. Bila kriminalisasi, politisasi dan diskriminasi mulai dari guru maka semuanya akan ambruk dan berakhir. Guru adalah benteng terakhir pertahanan bangsa. Jebol gurunya, banjir anomali dan segala bentuk kemudharatan akan menimpa. Takbir!!!

Related Articles

Media Sosial

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
Google search engine

Berita Terbaru