Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Judul “Koalisi PKS dan PDIP Sangat Berisiko” di halaman 3 salah satu media cetak cukup menarik bagi penulis untuk dihidangkan dalam opini edukasi berikut. Sebagai pendidik saya ingin memberikan apresiasi pada siapapun yang tampil beda melawan arus namun di dalamnya ada sisi edukasi dan idealisme.
Emha Ainun Najib mengatakan “Hidup Itu Melawan Arus, Hanya Sampah Dan Ikan Mati Yang Mengikuti Arus”. Ini sebuah ungkapan yang cukup fondasional bagi para pelawan arus. Adalah sosok Netty Heryawan saat ini terlihat “melawan arus”. PKS dan PDIP adalah dua kutub politik yang berbeda. Koalisi PDIP dan PKS dengan hadirnya “Jilbab Merah” Netty Heryawan adalah realitas pragmatis menurut analisis Firman Manan pengamat politik dari Unpad.
Firman Manan menyatakan PDIP dan PKS akan kehilangan pemilih fanatik. Ungkapan ini cukup beralasan mengingat dalam setiap partai politik segmen pemilih fanatik adalah modal partai yang setia. Pemilih fanatik adalah bagian dari kekuatan sebuah partai. Bagi Manan mungkin *idealnya* partai agamis dan partai nasionalis tidak perlu bersinergi.
Sebagai pendidik saya melihat sosok Netty telah memberikan warna edukasi dan rekonsiliasi walau harus menggerus perasaan pemilih fanatik dalam tubuh internal PKS. Netty adalah sosok cerdas, pewaras, dan berusaha menghilangkan handikap mental antara dua entitas partai politik demi Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya.
Netty telah memilih jalannya sendiri seperti Dewi Sartika dan Raden Ajeng Kartini pada zamannya. Zaman kolonialisme Belanda dan Arab jahiliyah perempuan “diharamkan” tampil menjadi sosok pemimpin menebar pesona di ruang publik. Perempuan harus tersembunyi di ruang privat dan dianggap properti. Netty berusaha mengedukasi publik bahwa sosok perempuanpun mampu menjadi peneduh dan berkhidmat di ruang publik.
Kehadiran Netty dalam acara peringatan Sumpah Pemuda yang digelar DPD PDI Perjuangan Jawa Barat di Gedung Sabuga, menjelaskan sisi lain kapasitasnya sebagai warga negara, warga politik yang memiliki spirit kebangsaan bukan hanya motif kepartaian saja. Mardani Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera mengatakan “Bu Netty tokoh kebanggaan PKS. Beliau sangat layak untuk dimajukan pada medan pilkada.”
Seirama dengan Mardani, Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat Tubagus Hasanuddin memuji Netty tampil lebih cantik dan memberi warna baru, warna jilbab merah persahabatan. Tepuk tangan ratusan anggota simpatisan PDIP dan tamu undangan di Gedung Sabuga ITB, Sabtu 28 Oktober 2017 adalah simbol penerimaan publik terhadap Netty.
Ungkapan Mardani dan TB Hasanudin adalah sebuah restu dan realitas adanya transformasi dalam tubuh PKS. Bila semua partai politik lebih menguatkan sinergi dan saling memberi bukan saling menghujat maka negeri ini jauh akan lebih “adem”. Netty memberi stimulus bagi pemilih moderat PKS agar kenyal dan adaptif dalam berpolitik.
Sebagai pendidik saya melihat positif setiap upaya sinergi dan koalisi dibanding berhadapan dan terus menggaduh saling menghujat. Pengikut panatik PDIP melihat PKS sebagai partai munafik dan pemilih fanatik PKS melihat PDIP sebagai partai penista. Dua realitas perspektif subjektif dari para pemilih yang cenderung suudhon.
Sekali lagi kehadiran Netty dengan jilbab merah memberikan “emansipasi” baru dalam dunia politik PKS. Memang “ideologi” PKS yang agamis sangat menutup sosok perempuan sehebat apapun untuk menjadi “imam” dalam sebuah pemerintahan. Berbeda dengan PDIP yang nasionalis, perempuan dan laki-laki sama punya hak untuk menjadi “imam” tergantung kapasitas.
Harus difahami di negeri ini konstitusi di atas semua aturan dan kepercayaan setiap warga negaranya. Semua yang memiliki kepercayaan dan aliran apapun empat pilar kebangsaan adalah “konstitusi” kita. UUD 45, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI adalah ruh keindonesiaan kita. Hal lain yang datangnya dari Amerika, Arab, Mesir dll. adalah dinamika ideologi yang mewarnai atau bahkan merusak warna keindonesiaan kita.
Mari kita rawat keindonesiaan kita dengan bersinergi, adaptif dan mengutamakan kesejahteraan bersama demi suksesnya masa depan bangsa. Partai hanyalah kendaraan politik yang muaranya adalah kejayaan bangsa. Tidaklah salah hadirnya “Jilbab Merah” saat ini sebagai dinamika dan realitas poilitik. Semoga tidak ada niatan pragmatis melainkan niatan strategis bagi “kebangsaan” Jawa Barat.
Diantara puluhan sosok hebat di Jawa Barat versi penulis selain Ahmad Heryawan adalah “kebetulan” istrinya gubernur Jawa Barat saat ini yakni Netty Heryawan. Selain kekaguman penulis pada kemampuan komunikasi dan orasi saat dihadapan publik, kini satu hal yang menarik adalah “jilbab merahnya”.
Netty Heryawan saat ini menjadi menarik dikaji kematangan personalnya. Dalam tulisan beberapa bulan yang lalu penulis berharap kelak sosok Netty mampu menjadi seorang Menteri sesuai kapasitas keilmuannya. Penulis tidak meragukan kapasitas Netty Heryawan.
Bukankah Gubernur Jabar saat ini sukses memimpin terkait dengan keunggulan dirinya sebagai pendamping? Ini pasti. Ungkapan bijak mengatakan “Dibalik suami yang sukses terdapat istri yang hebat.” Netty telah hadir “dibalik layar” kesuksesan sosok Ahmad Heryawan.
Hilbab Merah ditengah “konfrontasi” politik PDIP dan PKS kini hadir menjadi warna baru dalam percaturan arah politik di Jawa Barat. Netty telah menjadi “Duta” penyejuk kedua partai walau sebagian “jamaah” sumbu pendek dari keduanya akan sangat menolak. Realitas politik dilapangan menjelaskan “Orang PDIP menyebut politisi PKS munafik dan orang PKS menyebut PDIP penista agama.”
Seolah dua muka saling “menistakan” berhadapan selama ini antara PDIP dan PKS. Kini Netty benar-benar menjadi sosok unik dan lain dari yang lain. Netty mengungkapkan bahwa koalisi Nasionalis-Religis adalah hal yang baik. Ia telah menjadi Dewi Sartika Zaman Now. Ia telah berda,wah membawa pesan persahabatan sekalipun harus menyebrangi arus publik yang deras *menerpa.*