Penerbitan Sertifikat PRONA-BPN Marak Pungli
Pewarta : Tim Liputan Khusus
Ilustrasi
Koran SINAR PAGI,Kab.Bandung,- Program Pemerintah Pusat yang diluncurkan melalui Badan Pertanahan Nasional {BPN} yaitu Prona setiap tahunnya digulirkan bertujan untuk memberikan pelayanan penerbitan sertifikat tanah bagi masyarakat tidak mampu. Untuk pengurusan penerbitan sertifikat tanah melalui Prona pemerintah membebaskan biaya pengursannya atau gratis,.
Dalam prakteknya ternyata masyarakat pemohon sertifikat prona tetap harus mengeluarkan biaya pengurusannya yang besarnya bervariasi. Dasar hukum munculnya biaya dan nilai yang harus dibayar jelas tidak ada, karena secara tegas pemerintah menyatakan bebas biaya atau gratis. Dapat dipastikan bahwa pungutan seperti itu adalah Pungutan Liar (PUNGLI). Dasar dari pungutan tersebut jelas merupakan kepentingan oknum pejabat atau individu untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompok. Pungutan Liar tersebut dilaksanakan secara sistemik yakni dilakukan oleh oknum aparat ditingkat desa yang berhubgungan lansung dengan masyarakat pemohon sertifikat prona. Meski tahu bahwa pungutan tersebut tidak mempunyai dasar hukum namun tetap saja diberlakukan. Variasi nilai pungutan yang ditetapkan cukup tinggi, Seperti yang yang terjadi di sejumlah Desa di Wilayah Kecamatan Cimaung dan Pangalengan Kab.Bandung.
Di Desa Cikalong, Kecamatan Cimaung yang mendapat Prona sebanyak 750 bidang. Kepala Desa Cikalong, kab.Bandung, Iis, yang mengakui adanya biaya yang dipungut kepada 750 bidang/pemohon, kisarannya antara Rp 500.000, – Rp 1000.000,-Selanjutnya Iis mengatakan “besarnya pungutan tersebut tergantung kriteria kelengkapan pemohon, ada yang belum punya AJB dan pemberkasan pemohon untuk biaya administrasi, meterai dan akomodasi petugas, yang pada akhirnya ada taksiran nilai biaya yang disebut sebagai kesepakatan pemohon dengan petugas. Yang pasti tidak gratis yakni minimal Rp 500 ribu, maksimum Rp 1 Juta,” kata Iis
Menjadi paradoks pernyataan Kades Iis bahwa pungutan dasarnya sukarela dilandasi musyawarah, tidak ada paksaan, tapi kenapa ada penetapan nilai minimal dan maksimal, alih-alih pungutan tersebut untuk biaya operasional panitia. Yang dimaksud Panitia apakah termasuk petugas BPN? Disatu sisi Kades Iis mengetahui bahwa pembiayaan sertifikat melalui program prona sudah disosialisasikan gratis. Di akhir penjelsannya Kades Iis menyatakan bahwa Desa lainnya juga melakukan kegiatan pungutan seperti yang dilakukan di Desanya
Sama halnya dengan pungutan yang terjadi di Desa Pasir Huni, Kecamatan Cimaung. Namun ketika Koran SINAR PAGI melakukan konfirmasi melalui sambungan telepon genggam dengan kepala Desa, Dadang emosi, dengan sikap arogan Dadang berujar.
“Ada apalagi dengan masalah prona semuanya kan sudah jelas, dan sudah beres, ada Pajak yang harus dibayar. Besok saja ketemu di kantor dengan saya,” ujar Dadang dengan nada tinggi.
Penelusuran Koran SINAR PAGI di Kecamatan Pangalengan, dari empat Desa yang mendapat Prona, seperti Desa Pangalengan 300 Bidang, Desa Sukamanah,Desa Tribaktimulya 400.Bidang, Desa Warnasari, menurut pengkuan Kepala Desa dan perangkat Desanya semua Dikenakan biaya minimal Rp 500.000 untuk operasinal.
Ironis, program pemerinteh yang sejatinya Gratis masih disiasati dengan cara Pungli yang pelesetkan jadi Pungutan Lillahita”ala. BPN sebagai leading sektor terkesan membiarkan terjadinya indikasi pungli akibat oknum petugasnya larut dalam kegiatan tersebut, sehingga fungsi pengawasan program Prona mandul.?
(172)