Lima Masalah Guru Indonesia

  • Whatsapp
banner 768x98

Oleh : Dr. Dudung Nurullah Koswara, M.Pd
(Praktisi Pendidikan)

Nadiem Makarim mengatakan ada tiga dosa besar di dunia pendidikan kita yakni : intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan. Mas Menteri menyebutkan sudah terjadi puluhan tahun. Dalam dunia guru pun ada lima masalah besar yang harus dibenahi. Lima masalah ini sudah puluhan tahun terjadi.

Apa lima masalah besar itu? Saya identifikasi lima masalah besar itu adalah terkait : 1) kesejahteraan guru, 2) perlindungan hukum profesi guru, 3) peningkatan kompetensi guru, 4) politisasi profesi guru dan 5) Sengkarut organisasi profesi guru. Mari kita diskusikan lima masalah besar profesi guru ini.

Pertama, terkait kesejahteraan. Bisa jadi satu juta lebih guru honorer secara kinerja baik atau standar tetapi secara kesejahteraan dibawah standar. Bahkan sejumlah guru honorer banyak yang meraih prestasi serta bekerja melebihi kinerja guru ASN. Namun sekali lagi kesejahteraannya jauh dibawah standar.

Pemerintah, pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), pemimpin yayasan, pemimpin satuan pendidikan negeri dan swasta harus mengupayakan dengan maksimal kesejahteraan guru honorer. Terutama guru honorer di jenjang TK/SD/SMP sangat mengkhwatirkan secara finansial. Kecuali di sejumlah kota besar yang APBDnya tinggi, lebih baik.

Sebagai contoh, guru honorer SMAN/SMKN/SLBN di Jawa Barat sudah lebih baik dan “menormal”. Dulu, sebelum alih kelola sama saja. Kecuali di daerah kabupaten kota yang APBDnya besar. Misal Kota Bekasi, punya kisah lebih sejahtera. Apalagi DKI Jakarta, tentu lebih sejahtera. Ini realitas disparitas kesejahteraan profesi guru.

Kalau kita mau hitung hitungan antara pemerintah dengan guru honorer maka pemerintah punya utang besar pada entitas guru honorer. Tanpa guru honorer sejumlah sekolah bisa lumpuh karena kekurangan guru. Beberapa sekolah negeri ada yang hampir 80 persen anak didik dilayani guru honoerer. Dalam satu sekolah ada yang ASNnya hanya dua, itu pun dengan kepala sekolah.

Rekrutmen PPPK saat ini yang masuk gelombang tahap dua semoga lebih humanis afirmatif. Faktanya dilapangan sejumlah sekolah kekurangan guru. Loloskan sejumlah guru honorer yang sudah lama mengabdi. Kecuali bila negara ini kelebihan guru ASN. Karena kekurangan maka segera afirmasi para guru honorer tua dan sudah lama mengabdi.

Ingat amanah UU RI No 14 Tahun 2005 pasal 24 ayat 1, 2 dan 3 jelas dikatakan bahwa “Pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota “wajib” memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.”

Ingat pula UU RI No 14 Tahun 2005 pasal 36, ayat 1 mengamanahkan bahwa “Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan”, Ini amanah undang-undang, menegaskan bahwa guru berpresatsi, berdedikasi berhak memperoleh penghargaan. Mendesak, “penghargaan” itu terjemahkan dalam pengangkatan ASN/PPPK bagi para guru honorer yang dedikatif prestatif.

Kedua terkait perlindungan hukum profesi guru. Sejumlah kisah “mengerikan” terjadi pada profesi guru. Ada pejabat sok jagoan acungkan senjata dan intimidasi guru. Ada pejabat sok jagoan cukuri rambut guru. Ada pejabat dengan lebaynya mengintervensi peran guru sebagai pendidik. Belum lagi oknum LSM, Ormas, Jurnalis Bodrek dan sejumlah personal premanik yang memperlakukan guru dengan arogan. Ini terjadi dilapangan pendidikan kita.

Sebuah kisah cukup memilukan menimpa seorang guru agama di salah satu SMPN. Ia menegur dan berusaha mendidik anak dengan baik. Ia seorang guru agama, punya misi memperbaiki akhlak seorang anak didik. Ia memang melalukan tindakan fisik, tentu tidak keterlaluan dan terukur. Namun apa yang terjadi ? Sang Guru diadukan ke pihak berwajib dan digeruduk sejumlah preman.

Sang Guru Agama menjadi trauma mendidik akhlak anak karena Ia pernah disel di Polsek dan tentu harus mengeluarkan sejumlah anggaran untuk biaya kompromi. Inikah wajah guru Indonesia? Mau memperbaiki akhlak anak didik malah mendapatkan serangan dan intimidasi dari pihak orangtua dan oknum masyarakat. Perlindungan hukum terhadap guru masih sangat lemah.

Sang Guru Agama pasca kejadian mungkin karena trauma akhirnya meninggal. Ia meninggalkan istri tercinta dan anak peremuan yang masih kecil. Haruskah kisah tragis ini menimpa profesi guru. Apakah kisah Sang Guru Agama ini adalah sebuah fenomena gunung es ? Bisa jadi demikian dan masih banyak kisah lain yang tidak terungkap. Tak tersingkap karena diredam dengan berbagai alasan.

Padahal dalam UU RI No 14 Tahun 2005 pasal 39 jelas sudah tertera bahwa guru “wajib dilindungi oleh pemerintah”. Faktanya ? Faktanya masih banyak guru yang tak terlindungi dan sejumlah guru pun tewas meregang nyawa terkait dengan tugas mengajar dan mendidiknya. Haruskah ini terus terjadi ? Mendesak perlindungan profesi guru harus diupayakan dengan maksimal. Wajib !

Ketiga terkait peningkatan kompetensi guru. Kembali dalam UU RI No 14 Tahun 2005 pasal 33 dan 34 jelas bahwa pemerintah “wajib” membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Entitas guru wajib dirangkul dan diberdayakan oleh pemerintah agar kapasitas diri guru terus berkembang sesuai tuntutan zaman. Berbagai pelatihan, beasiswa dan bantuan pengembangan diri bagi guru dari pemerintah wajib diberikan. Guru punya “hak” mendapatkan fasilitas pengembangan diri dari pemerintah.

Tentu pihak guru sendiri secara personal harus punya niat kuat untuk terus belajar. Terus “mendaki” bukit pengetahuan layanan pendidikan. Mengapa ? Agar menjadi guru yang lebih baik. Guru adalah penentu masa depan bangsa. Gurunya hebat, anak didik akan hebat. Gurunya loyo, lola, lelet dan pemalas maka anak didik pun akan lembek dan kalah dalam persaingan di masa depan.

Peningkatan kompetensi guru di abad 21 dan era disrupsi setidaknya wajib memiliki sembilan keunggulan selain kompetensi guru sesuai Permendiknas No 16 Tahun 2007 yakni : 1) komunikatif, 2) kritis, 3) kreatif, 4, inovatif, 5) kolaboratif, 6) inspiratif, 7) komputasional, 8) kompasional dan 9) religious. Sembilan kemampuan ini harus dimiliki entitas guru. Bila tidak maka guru tak nyambung dengan zamannya.

Peningkatan kompetensi guru adalah hal yang sangat penting. Selain karena zaman begitu cepat menuntut perubahan, juga karena guru adalah “pawang” peradaban dan perubahan. Guru jangan tertinggal dan tanggal karena perubahan zaman yang terlalu cepat. Guru 24 jam harus belajar dan “terjaga” dari hiruk pikuk dinamika dan tuntutan perubahan zaman.

Keempat dinamika politisasi guru terjadi dimana-mana. Entitas oknum kepala daerah, mulai dari Gubernur, Bupati dan Walikota cenderung menyalahgunakan kekuasaan untuk “mengekslorasi” peran guru dalam Pilkada. Terutama para kepala sekolah di daerah tertentu dimanfaatkan menjadi “Kepala Sekolah Penggerak Politik” yang menggiring suara guru memilih pasangan tertentu.

Dalam koran cetak Pikiran Rakyat, Saya pernah menulis “Guru Adalah Entitas Politik Yang Unik” dalam tulisan itu dijelaskan posisi guru yang menjadi “rebutan” politik para calon kepala daerah. Bahkan ada seorang oknum guru yang “sukses” mendukung seorang kepala daerah. Ia pun sukses meraih karir. Guru adalah entitas pendidik yang punya hak politik.

Unikasi guru diantaranya adalah : 1) punya organisasi profesi guru, 2) punya anak didik sebagai pemilih pemula, 3) punya keluarga dan jaringan masyarakat, 4) punya wawasan cukup untuk memengaruhi orang lain dan 5) punya keinginan politik memenangkan tokoh yang sayang pada guru. Itu diantara unikasi entitas guru. Tak heran entitas guru terdampak politisasi politik.

Faktanya secara alami gegara politik guru pun terpecah ke dalam tiga wajah bau-bau politik. Pertama guru berwajah Kadrun. Kedua guru berwajah cebong. Ketiga guru tak peduli hingar bingar politik, walau jumlahnya sangat sedikit. Terbanyak adalah guru Kadrun, sesuai beberapa sumber yang dapat dipercaya. Itulah diantara dampak politik dan politisasi entitas guru.

Kelima sengkarut organisasi profesi guru. Sengkarut dan “kekacauan” organisasi profesi guru nampak sangat jelas. Guru adalah profesi terhormat dan mulia. Sejatinya semua guru satu padu dalam sebuah wadah organisasi profesi guru. Mengapa ? Menimbang, mengingat banyaknya masalah guru, maka guru harusnya bersatu dalam satu wadah organisasi yang sama. Faktanya terpecah.

Sengkarut organisasi profesi guru terlihat dari puluhan organisasi profesi guru yang hadir di negeri ini. Disisi lain menjelaskan adanya kebebasan dan demokrasi bagi guru dalam menentukan pilihan organisasi profesi, sesuai selera. Disisi lain menjelaskan sengkarut dan ketidakompakan. Lebih para lagi sejumlah organisasi guru diurus bukan oleh orang yang berasal dari guru. Ini anomali.

Sebaiknya para pengurus organisasi profesi guru adalah guru. UURI No 14 Tahun 2005 mengamanahkan organisasi profesi guru harus diurus oleh guru. Faktanya sejumlah organisasi profesi guru malah “menyimpangkan” ruh UURI No 14 Tahun 2005 dalam AD ARTnya. Ini sebuah modus eksploitasi entitas guru demi kepentingan pribadi, kelompok dan mencari hidup di organisasi dengan “jualan” nasib guru.

Idealnya para pengurus organisasi profesi guru harus punya pengalaman menjadi guru setingkat TK/SD/SMP/SMA. Mengapa ? Karena ruh guru, derita guru dan keseharian guru hanya bisa diterjemahkan dengan baik oleh orang yang dekat, terlibat dan mengalami pahit manis dunia profesi guru. Bukan “orang asing” yang tidak pernah menjadi guru TK/SD/SMP/SMA.

Fakta idealnya sebuah profesi itu berkumpul sejenis. Tidak boleh campur aduk, aduk campur antara caleg gagal, mantan politisi dan birokrat di organisasi profesi guru. Ini jadi aneh dan terkesan “memanfa’atkan” organisasi profesi guru untuk kepentingan non guru. Ini bahaya dan keluar dari ruh UURI No 14 Tahun 2005. Sudah puluhan tahun sengkarut ini terjadi dan dijadikan demikian.

Era Nadiem Makarim dengan ruh Merdeka Belajar sebaiknya menyelesaikan lima masalah guru di atas. Nadiem Makarim berupaya “mewaraskan” dunia pendidikan dengan segala risiko dan kontroversinya. Ia tak punya kepentingan politik, selain mau membenahi agar dunia pendidikan yang menurutnya sudah puluhan tahun gagal move on.

Dunia pendidikan kita kini bahkan disalip Vietnam dalam beberapa hal. Kalau Malayasia jelas sudah menyalip duluan. Nah hal ini adalah sebuah kemunduran di dunia pendidikan kita. Mendesak pemerintah serius, focus, cius dan tulus benahi lima masalah besar di atas, agar dunia pendidikan dan guru Indonesia bisa berkembang lebih baik. Masa depan bangsa ada di tangan guru saat ini.

banner 728x90

Pos terkait

banner 728x90